"Kakak!" Pekik anak lelaki berumur 10 tahun lalu memeluk Rose erat.

Dan anak tampan itu adalah Ray, adik Rose.

Ray melepaskan pelukannya lalu menatap kantong roti yang biasa Rose bawa. Wajah Ray murung seketika dan Rose hanya tersenyum getir.

"Besok Ray bisa makan apa saja, kakak janji!" Ucap Rose penuh tekad.

Senyuman bocah polos itu merekah dan menggenggam tangan Rose lalu mereka melangkah bersama untuk pulang.

Rose menatap adik kecilnya lalu air mata yang ia tahan mengalir lalu dengan cepat gadis itu menghapusnya.

-

"Bagaimana tadi malam? Apa kau mengencani seseorang?"

Pertanyaan itulah yang menyambut Matt saat pria itu baru saja membuka pintu mansion mereka.

"Mom, aku lelah. Aku mencintaimu."

Matt mencium pipi Tayana lalu melangkah pergi melangkah menuju kamarnya dan bersiap untuk berangkat sekolah.

Tayana tersenyum miring dan memicingkan matanya.

"Yes! Putraku normal!" Pekik Tayana senang sambil menari.

"Aku harus menelpon Dinda dan Araxi."

-

"Woah, penjantan tangguh kita akhirnya melepas kesuciannya!" Pekik Darren senang saat Matt baru saja memasuki kelas.

Tak ada yang berani menyambut ucapan Darren dan masih mengunci bibir mereka.

Matt di kenal dengan sifat dinginnya, IQ  nya yang tinggi dan aura wibawa yang melekat. Hal itulah yang membuat seluruh murid di Wills School sangat menghormatinya dan enggan mencari masalah dengan murid sempurna itu.

Matt melangkah dengan santai dan duduk di bangkunya. Zara teman sebangku Matt sudah duduk manis disana.

Zara dan Matt adalah perpaduan yang sempurna, Zara sangat di kenal di kalangan pria karena kecantikan dan prestasinya di bidang musik, Zara adalah pianis yang sudah memenangkan banyak piala. Wajahnya yang natural dan sifatnya yang ramah dan lembut membuat seluruh pria kalangan atas menginginkannya, kecuali Darren dan Matt. Dua pria mematikan di Wills School itu tampak tidak selera dengan gadis sempurna itu.

"Kau sudah selesai mengerjakan proyek kita?" Zara membuka obrolannya dengan Matt.

"Sudah, kita batalkan pertemuan kelompok itu." Jawab Matt singkat lalu mengambil ponselnya.

"Bagaimana?"

"Baiklah, ikuti dia kemana pun."

Matt mematikan telpon itu lalu menatapi foto seseorang di ponselnya. Dan, tanpa Matt sadari, Zara memperhatikannya dan tersenyum manis.

-

"Bibi Jane, ada apa?" Ucap Rose terkejut saat Jane datang dengan langkah terburu-buru lalu mengunci pintu rumah kumuh Rose.

"Kita bersembunyi dulu." Ucap Jane mengajak Rose ke kamar.

Mereka duduk di pinggir ranjang lalu Jane menarik nafas dalam-dalam.

"Lihat ini! Pria itu benar-benar gila!" Ucap Jane histeris sambil menunjukkan layar ponselnya.

Rose yang bingung langsung menatap layar ponsel dan disana tertulis nominal 1 miliar. Rose masih tak mengerti dan menatap Jane bertanya-tanya.

"Dia memberimu 1 miliar Rose! 1 miliar!"

'Deg'

Waktu seolah berhenti dan air mata Rose menetes. Apa yang ia harapkan melebihi dari yang ia kira, walaupun dengan cara terpaksa.

"Bibi, Ray bisa selamat! Ray akan sembuh bi!" Ucap Rose senang.

'Drrttt.... Drrttt.....'

Ponsel June mendadak berdering dan tertera nomor tak asing bagi June.

"Halo"

"Aku ingin berbicara dengannya."

June menatap Rose yang menatapnya penuh tanya.

"Ini, dia ingin berbicara." June memeberikan ponselnya kepada Rose. Dan Rose mengambil ponsel itu ragu.

"Halo," ucap Rose.

"Aku menginginkanmu. Aku akan memberikan semua yang kau minta bahkan lebih dari itu."

"Terima kasih tapi aku tidak menginginkannya."

"Aku bisa memberikan apapun padamu, termasuk kebahagiaan."

Rose tertegun lalu mengingat kembali kapan ia merasakan bahagia.

"Apapun itu? Tetapi maaf, lebih baik kau mencari wanita lain."

"Aku akan menunggu, aku sudah mengirimkan alamatnya, datanglah jika kau ingin bahagia."

Rose mematikan ponsel itu cepat lalu menarik nafas dalm-dalam.

"Apa yang dia katakan?" Tanya Jane.

"Dia masih mengatakan hal itu? Sudah aku duga pesonamu itu berbahaya untuk pria kaya sepertinya." Ucap Jane khawatir.

Rose hanya menunduk dengan tatapan sendu. Ia kembali mengingat malam yang tak pernah ia lupakan. Sentuhan dan suara pria itu masih jelas melekat padanya. Dan karena hal itu, Rose harus menjauhi pria itu.

-

"Permisi, apa kakak sendirian disini?" Tanya seorang wanita dengan dua temannya dengan senyuman manis.

Pria yang tengah duduk itu adalah Matt, ia menatap dingin tiga wanita itu lalu berkata.

"Pergilah, kekasihku di sana." Ucap Matt sambil menunjuk gadis yang tengah memesan ice cream cake.

Wajah tiga gadis itu mendadak muram lalu pergi tanpa pamit.

"Makanan datang!" Pekik seorang gadis lalu duduk tepat di samping Matt.

Matt tersenyum tipis lalu mencubit pipi gadis itu gemas.

"Ahk! Kakak, aku benci kau mencubit pipiku! Lihat, pipiku semakin chubby." Protes gadis yang tak lain adalah Kasey.

"Aku dengar semalam kakak melepas kesucian kakak." Ucap Kasey lalu memasukkan ice cream cake itu ke dalam mulutnya.

Dahi Matt mengkerut lalu memegang rahang Kasey untuk menatapnya.

"Apa kau sudah mengatakannya kepada Mommy dan Daddy?" Tanya Matt.

Kasey menggeleng lalu berkata,

"Aku belum mengatakannya tetapi Darren sudah."

Matt memejamkan matanya kesal lalu memakan ice cream cakenya penuh amarah.

"Mommy dan Daddy sangat senang kak, karena putra tampan mereka normal." Tambah Kasey yang membuat Matt mengumpat di dalam hati.

-

"Kakak, aku bisa naik taksi atau angkutan umum." Kasey mengeluh saat Matt memaksanya pulang bersama supir.

"Kakak, kenapa kakak harus tinggal di mansion kakak, ini tidak adil!" Protes Kasey.

Matt tersenyum tipis lalu mengelus puncak rambut adiknya itu.

"Hati-hati, telpon kakak saat kau sudah sampai di rumah." Ucap Matt.

Kasey merengut kesal lalu mengalihkan pandangannya.

Mobil yang Kasey naiki mulai berjalan dan Matt menatap mobil yang mulai menjauh dari pandangannya.

Pria itu berbalik dan di saat ia sudah memegang daun pintu. Suara deru nafas yang berburu terdengar jelas dan Matt berbalik pelan dan senyuman iblis penuh kemenangan tercetak jelas di bibirnya.

"To-long aku, aku bersedia melakukan apapun"

Bersambung...

Medan, 23 September 2019.

SON of a CEOМесто, где живут истории. Откройте их для себя