9.

827 116 19
                                    

Permukaan daun-daun yang kemarin terlihat kering kini dihiasi buliran air. Beberapa jatuh melalui ujung daun ke tanah, beberapa yang lain masih sanggup bertengger di atasnya sembari menunggu terik matahari membawanya pergi dalam wujud lain. Hari sudah pagi sementara mataku masih mengelak kantuk untuk sekian kalinya.

Segelas kopi di hadapanku masih mengepul. Tapi itu milik ayah. Milikku sudah habis selepas subuh tadi dan ayah melarangku memesan gelas yang ke dua meski aku memohon. Kami di balkon dari sebuah gedung berlantai 6 dengan dinding warna putih dan abu-abu. Hanya berdua karena yang lain ada di dalam sebuah ruangan berkelambu cokelat susu dan ranjang putih serta bantal berwarna pastel.

"Dia baik-baik saja, kan?" tanyaku pada pria yang kini memegangi gelas kopinya.

"Tentu."

"Sampai kapan?"

"Nggak tahu. Nanti kita tanya ibu."

Aku menghembuskan napas berat setelah menerima jawaban darinya. Ini belum pasti. Ujungnya bagaimana juga belum ada yang tahu. Padahal doaku dari semalam sudah teramat khusyuk dan kencang meski di dalam hati.

"Ayah ke kantin sekarang. Ibu pesan bubur ayam dan nasi soto. Dira mau apa?"

"Mungkin sandwich atau onigiri."

"Memangnya ada?"

Aku mengedikkan bahu, "Entahlah. Semalam aku melihatnya di kios dekat tempat kita beli kopi."

Ayah mengangguk dengan alis yang berkerut. Semoga saja ia tahu bahwa onigiri dan lemper tidaklah sama. Lantas ayah meninggalkanku dengan sisa kopinya, menyuruhku menunggu di bangku depan ruangan di mana ibu dan June berada.

"J-jangan mendekat!"

"Persetan! Aku nggak peduli!" Teriakku sebelum memanggil ibu dan membopongnya menuruni tangga.

Setidaknya adegan itu yang terbayang-bayang dari semalam. Sebelumnya, aku terbangun oleh alarm yang kuatur pukul satu agar bisa ikut pembelian komik baru dengan harga kurang dari setengah harga normal secara online. Tapi setelah melakukan pembayaran, aku lapar dan berniat untuk mengambil segelas susu.

Anehnya, kamar June yang terbiasa oleh lampu yang menyala, malam itu gelap. Lantas aku iseng mengintipnya dari lubang kunci dan membuka pintu buru-buru setelah mengetahui hal buruk apa yang sedang terjadi.

"Jangan dulu mati!" Setidaknya itu yang kurapalkan setelah doa-doa di dalam hati. June tidak boleh menyerah.

Setelah menunggu di bangku sendirian, ibu keluar ruangan dan menemuiku. Ia terlihat lusuh dengan piyama di balik mantel kulitnya.

"Ibu cantik."

Ibu mendekat padaku, mengelus puncak kepalaku dan menarik kepalaku untuk menyandar di perutnya.
"Indi, kamu anak yang sangat baik. June juga. Hanya saja beban pikirannya terlalu berat dan menumpuk-numpuk."

Tangan ibu turun ke bahuku, membelainya lembut di sana. Kami berada di posisi ini beberapa saat sampai ayah datang. Dengan dua porsi soto, seporsi bubur ayam, dan sebungkus roti isi.

"Kata penjual, sandwich hanya datang pukul delapan nanti. Jadi ayah membeli ini karena onigiri yang Dira maksud sama saja seperti lemper dengan tambahan hijau-hijau gurih yang ayah lupa namanya dan harga lebih mahal." Jelas ayah sambil memberiku bungkusan lain dengan sekotak susu cokelat di dalamnya.

"Terima kasih, yah." Kataku yang membuat ayah tersenyum bangga, sebelum mengajak ibu menyantap soto.

"Bagaimana kata dokter?"

Napas ibu berhembus cukup berat setelah mendengar pertanyaan ayah. "Kau harus tahu kalau aku amat menyayangi June."

"Tentu saja."

"Ia membutuhkan waktu lebih banyak untuk menerima bahwa semua ini bukan kesalahannya."

Ayah menatapku setelah memerhatikan ibu. "Baiklah,"

"Sepertinya, membuatnya bersekolah dalam waktu dekat adalah keputusan yang tidak benar. Besok kita harus ke sekolahnya untuk mengurus administrasi June dan membuatnya berhenti setidaknya satu tahun."

Ayah mengangguk setuju setelah mendengar penjelasan ibu. Tak lama, seorang perawat dengan troley yang dipenuhi makanan melewati kami sebelum memasuki ruangan June. Aku mengekorinya setelah mendapat anggukan dari ibu.

Di dalam cukup dingin. Seorang gadis di masih terlelap di atas ranjangnya dengan beberapa lapis selimut. Tangan kirinya terbungkus perban dan menggantung di udara.

"Kau pasti sangat menyayangi adikmu." Kata perawat yang baru saja mengecek alat yang menempel di punggung tangan, selang di hidung, dan berlanjut mencatat di papan dan kertas yang dibawanya.

"Tentu."

Perawat itu tersenyum padaku sebelum mengusap bahuku dan berlalu pergi. Lantas aku menaruh tangan June yang menggantung ke atas perutnya. Aku baru menyadari bahwa kantung mata June sangat terlihat tebal dan gelap. Saat itu juga aku menyadari bahwa selama ini ia tidak baik-baik saja meski ayah, ibu, dan aku berpikir sebaliknya.

"Ini aku, Jyun." Bisikku di dekat telinganya. "Aku di sini. Jangan takut. Aku tak akan pergi barang selangkah pun darimu setelah ini." Tangan June kugenggam erat, lalu kucium setelahnya. "Itu bukan salahmu."

"Ndi," Panggilnya dengan lirih sembari menggenggam lemah tanganku. Aku menunggunya melanjutkan kata-kata yang mungkin akan ia sampaikan setelah ini, tapi ternyata nihil. Sepertinya ia belum benar-benar bangun.

"Aku tak akan pergi meski kamu meminta." Itu adalah janji yang telah kita buat beberapa hari lalu. Semoga ia ingat bahwa ia tak perlu melewati semua ini sendiri.

Entah aku salah lihat atau apa, tapi bibir June kini tersenyum meski sedikit. Semoga apa yang kuucapkan mampu ia dengar meski hanya dalam wujud cicak yang merambat di dekatnya di alam mimpi. Tak apa. Aku bisa mengucapkannya lagi berjuta kali jika memang dibutuhkan.

"Mungkin setelah ini kamar Jyun akan menjadi gudang lagi." Kata ibu saat memasuki ruangan ini.

"Yap. Gadis ayah tidak keberatan, 'kan?"

"Tentu. Jika harus membuntutinya. Sampai ke kamar mandi sekalipun, akan kulakukan."

——

—— Kabuttebal

A Girl Named JuneWhere stories live. Discover now