6. Jagung Bakar

1.5K 209 14
                                    

Sore itu aku berniat untuk menata buku untuk pelajaran besok. Tapi saat ku rogoh tas untuk mengeluarkan isinya, aku menemukan komik yang aku kira tidak kembali ke tanganku. Aku senang kalau ternyata gadis bernama Kinan itu cukup tahu diri untuk mengembalikannya dengan rapi.

Kubuka beberapa halaman sekaligus untuk melanjutkan bacaanku yg terakhir, "Eh?" sebuah lipatan kertas yang cukup tebal jatuh dari halaman yang lain. Aku pungut benda itu dari lantai dan mulai membuka lipatannya. Kudapati sebuah permen kenyal dengan bentuk teddy bear dan sebuah sticky note persegi kecil warna oranye tertempel disana.

"Maaf telah merusak Hari Seninmu."

Wajahku yang seharian ini terlipat, kucel, juga kusut baru saja merekah tanpa kusadari. Kinan ternyata tidak seburuk itu.

Buru-buru kusimpan pemberiannya karena Jun melesat masuk sesaat setelah mengetuk pintu kamarku beberapa kali tanpa dipersilahkan. "Aku keluar, belanja pesanan ibu, boleh?"

"Boleh." sahutku mengizinkan.

Ia tetap berdiri di hadapanku tanpa bergeming sedikitpun. Ya, aku kira dia akan benar-benar pergi setelah aku setujui.

"Apa?" tanyaku.

"Eh eumm.." gumamnya dan mulai memainkan kuku di jari-jari tangannya. "Aku kan belum hafal jalan."

"Terus?"

"Ya kamu harus ikut, dong. Aku yang bonceng, deh. Tapi pakai sepeda kayuh." Ia yang mendapat gelengan kepala dariku sebagai penolakan kini berusaha membujukku lagi, "Nanti aku beliin Indi jagung bakar serut."

Mendengar itu, keputusanku mulai goyah. Jagung serut memang tidak bisa terkalahkan. Aku pun menimang-nimang keputusanku. Karena bagaimanapun, aku seorang kakak untuknya dan harus 'jual mahal' untuk menjaga kehormatanku. Huft.

"Pakai mentega pedas." tambahnya.

Aku mendongak, mendapati wajahnya yang tersenyum jahil padaku. Ia pasti tahu kesukaanku dari cerita-cerita ibu.

"Plus.. Sekotak susu rasa French vanilla."

"Arrghh.." Aku buru-buru bangkit berjalan menghentak-hentak, mengambil dan memakai sweater abu-abu yang tergantung di dinding. Aku melihatnya yang masih berdiri di tempat asal dan tertawa puas, mulai kesal. "Tunggu apalagi? Atau aku berubah pikiran, nih." ancamku

"Iya iya." katanya sambil berlalu dari kamarku, menuju kamarnya.

————

Sebuah catatan berisi apa-apa yang harus dibeli dari ibu, dibawanya mengelilingi super market yang kami tempuh 10 menit lamanya dengan sepeda kayuh. Sebenarnya untuk hal belanja, ibu selalu menyuruhku. Hanya saja saat ibu kuberi kabar kalau kesehatanku kurang baik, ibu mulai mengoper tugas itu ke Jun. Ya, baguslah. Tugasku jadi berkurang.

"Kamu lihat buncis?"

Tanyanya padaku yang tengah asyik mendorong trolley dengan sebuah permen loli di mulut. Sontak aku memindai rak dingin berisi sayur-mayur. Ketemu! "Ini, 'kan?" Kataku menyodorkan sebungkus buncis padanya.

Tanpa aba-aba, tangannya mendarat di kepalaku cukup keras. "Ini kacang kapri! Gitu aja ga bisa bedain." hardiknya disusul dengan tawa keras mengejek.

"Eh? Bukan, ya? Salah lihat dong. Maklum, ga pake kacamata." Sahutku membela diri. Sekilas isi bungkusan itu memang seperti buncis. Jadi, aku tak sepenuhnya salah.

"Bodo ah. Bilang aja emang salah." Dengan nada yang masih mengejek dan berlalu mendahuluiku dengan cepat.

"Hey, kamu kebelet poop? Kenapa buru-buru gitu deh? Tungguin ih." Aku melaju sedikit cepat untuk menyamai kecepatannya.

A Girl Named JuneWhere stories live. Discover now