4. Kin- Who?

1.5K 214 29
                                    

Rasanya tidak enak jika harus merepotkan orang tuaku. Aku tak punya pilihan lain.

"Aku akan mengantar dan menjemputnya." kataku.

Kulihat Jyun menatapku dengan matanya yang membulat, seperti terkejut dengan ucapanku.

"Okay then. Ayo berangkat. Macet akan jadi dessert sehari-hari untukmu setelah sarapan." kata ibu yang diikuti tawa darinya.

"Mmm tante atau Indi tak perlu mengantarku jika kerepotan. Aku bisa pergi dengan angkutan kota kan." kata Jyun tiba-tiba.

Ibu mendekat padanya, sedikit menunduk untuk melihat wajahnya. Tangan ibu menangkup kedua pipinya. Ibu menatapnya dengan hangat.

"Nak, sejujurnya om dan tante ndak keberatan. Tapi ndak tahu yaa kalo Indi." balas ibu sambil melihatku dengan tatapan jahilnya.

"Aku tidak keberatan. Ayo." kataku singkat. Terus saja jahil, bu! Tunggu balasanku.

Aku mencium tangan ibu, mengambil kunci motor dari tangannya lalu bergegas keluar sambil menjinjing tas dan memakai sweaterku.

Vespa hitam sudah kunaiki dan helm sudah kukenakan. Motor ini sedikit terguncang saat kurasakan ia naik dan duduk di belakangku.

Kami berangkat, menembus jalanan kota yang senantiasa ramai. Tak banyak percakapan yang keluar dari bibir kami. Hanya pertanyaan basa-basi darinya dan jawaban ya atau tidak dariku. Bukan maksudku untuk bersikap dingin.

Tapi aku yang memang payah dalam memulai kedekatan. Padahal, secara teknis, dia anggota keluargaku.

Benar kata ibu tentang kemacetan kota yang akan kuhadapi. Meski sudah kelewat sering ku alami, ini pertama kalinya aku mengalaminya secara langsung. Pertama kalinya aku mengendarai dengan seseorang di belakangku.

Beberapa kali tubuhnya menubruk punggungku saat aku harus mengerem tiba-tiba. Aku yakin ia juga berkali-kali membenahi helmnya setelah terbentur helmku. Kasihan.

"Kenapa nggak pegangan aja?" tawarku.

"Memang boleh?" tanyanya.

"Aku si pengemudi, situ penumpangnya. Kenapa enggak?" balasku penuh penekanan. Bahkan yang kutahu, tukang ojek juga melakukan ini pada penumpangnya.

Ia tidak menyahut dan tidak melakukan apa yang telah aku tawarkan, sampai di menit berikutnya aku harus menikung cepat dan mendahului beberapa mobil di depan. Saat itulah kurasakan remasan yang tertahan di sweaterku.

"Jangan sungkan." kataku sedikit menjerit agar suaraku tak kalah dengan hembusan angin atau kendaraan yang kini makin ramai.

Lalu tangan-tangannya merambat maju, hampir melingkar di perutku. Senyumku mengembang. Merasa senang karena saranku didengar.

Begini ya rasanya punya saudara?

———

Aku sudah sampai di sekolah yang hanya memiliki sisa beberapa menit sebelum bel masuk. Motor ini hendak kuparkir di parking area dalam sekolah, yang celakanya sudah penuh. Bergegas aku menuju taman kota yang jaraknya hampir setengah kilometer dari sekolah.

Parkir, lepas helm dan cabut. Berlari kencang aku dari sana, memburu waktu yang kian tipis. Celakanya di tengah perjalanan, aku baru ingat kunci motor masih menggantung rapi di lubangnya.

A Girl Named JuneWhere stories live. Discover now