5. Nama Ikan Molly

1.4K 182 5
                                    

Bel sekolah berbunyi menandakan satu jam pelajaran telah usai. Itu artinya aku harus berada di sini untuk 45 menit berikutnya. Apa yang akan ku lakukan di sisa waktu yang banyak itu?
Jawabannya, tidak ada. Selain merutuki si bocah tengik bernama Kin-siapa itu.

Aku berjongkok, lalu berdiri lagi. Begitu terus sampai akhirnya rok abu-abu panjangku mulai kumal karena berkali-kali mencium lantai. Tapi aku buru-buru berdiri lagi, menghindari pasukan semut yang tiba-tiba saja datang merambati dinding menuju lantai.

Sialnya, kakiku mulai kebas —hampir mati rasa—, kepalaku mulai berdenyut nyeri, sesaat aku terhuyung, dan aku tentunya menjerit dalam hati.

Badanku menunduk dan membungkuk, mengikat tali sepatuku yang lepas. Belum selesai ikatan simpul di sepatu, badanku terhuyung lagi hampir terjungkal. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja sebuah tangan menggenggam tangan kananku, menarikku dari sana dengan cepat.

Entah siapa, yang pasti kurang ajar betul dia mengajak seorang penderita lelah berlari di sisa-sisa tenaganya. Tubuhku mulai melemah, sangat ingin meluruh ke tanah. Tapi saat itu juga, si penarik memegang bahuku, merengkuhku dengan tubuhnya.

"Huh, B-beratnya-hh." kata orang yang menuntunku. Napasnya terdengar payah tapi sedikit dimanipulasi olehnya agar terdengar baik-baik saja.

Di menit berikutnya, aku didaratkan pada sebuah sofa empuk. Tubuhku yang lemah rasanya tak sanggup menunjukkan reaksi terkejut saat kulihat seseorang yang membawaku adalah si tersangka yang membuatku menderita seperti ini. Tanganku melayang sekuat tenaga ke arah kepalanya.

Puk.

"Dih, colek-colek!" kata orang yang menjadi sasaran pukulan — lemah — ku.

Dalam hati aku berteriak, "Aku bermaksud memukulmu dengan keras, wahai makhluk kurang ajar!"

Gadis itu pun berlalu pergi dari hadapanku beberapa saat, lalu kembali ke hadapanku, menuntunku menuju kamar perawatan. "Sorry, aku minum dulu. Haus." katanya dengan senyuman lebar. Kali ini kubiarkan kau lolos. Ujarku dalam hati sambil berusaha melotot meski sadar diri kalau tidak sanggup.

Seorang wanita paruh baya dengan jas putih yang sedikit kebesaran menghampiriku. Mengecek suhu tubuh dan denyut-denyut nadiku.
"Kamu anemia, nih. Tapi juga kelelahan. Sudah punya obat sendiri?" tanya wanita yang biasa kupanggil Bu Dokter.

Aku menggeleng lemah, "Enggak, bu." jawabku sambil mendaratkan kepala pada bantal dengan pasrah.

"Okay, setelah ini saya beri resep obat sepuluh tablet. Harus diminum teratur. Kalau sudah habis, beli dengan resep yang sama, ya." tuturnya lembut sambil menggelar selimut menutupi tubuhku sebelum beranjak pergi.

Mataku hampir terpejam sebelum kudengar langkah kaki memasuki ruangan ini. "Minum obatnya dulu ya. Ini aku bawain sama teh anget."

Kulihat wajahnya yang tengah menatapku kasihan. "Cuma kelelahan. Bukan serangan jantung." cibirku pelan.

"Duh, malah sewot. Nyesel deh nolongin."

Ku angkat tubuhku ke posisi duduk dengan bantuannya — secara perlahan. Menyodorkanku segelas teh dan sebutir obat yang diberi dokter UKS tadi. Gelas teh yang tadi penuh kini tinggal setengah.

"Istirahat biar cepet sehat. Berat nolongin kamu dari kelas. Untungnya aku kuat." cerocosnya sambil berlalu pergi. "Oh, ya. Tehnya habisin. Biar seger badannya." imbuhnya dengan menampakkan kepalanya dari balik pintu.

'Aku harus sehat secepatnya!' Teriakku dalam hati.

Saat ini, satu-satunya motivasiku untuk cepat membaik adalah sebuah keinginan kuat untuk memukul kepalanya lebih dari sekali. Aku mendengus sebal. Sambil terkantuk, kurebahkan diriku dan terlelap tanpa sadar.

A Girl Named JuneWhere stories live. Discover now