"Ada Iris, tulip, sama mawar?" tanya Sera segera masih dengan nada bicara datarnya.

Ibu florist itu masih tersenyum dengan ramahnya, "Mau yang warna apa?" tanya si Ibu sambil mengarahkan Sera melihat-lihat bunya yang sedang ada dalam stoknya.

"Yang itu, itu, dan itu," jawab Sera sambil menunjuk ketiga bunga yang dia inginkan.

"Bu, Dirga hari ini main ketempat mas Harsa lagi ya," serobot seorang laki-laki yang menyerondol Sera yang berdiri di Lorong deretan bunga dalam toko tersebut. "Kamu?"

"Eh?" kata Sera menyadari anak laki-laki itu tiba-tiba mengajaknya bicara.

"Oh. Sorry. Aku pikir temen baru aku di tempat Bapak, ternyata bukan," kata laki-laki itu sambil menyomot dua tangkai Iris dari toko ibunya.

"Maksudnya?"

"Kamu saudara kembarnya Eva kan?" tanya laki-laki itu membuat Sera terperangah. "Sampai ketemu nanti. Kalau ketemu sih, aku Dirga. Sorry aku buru-buru banget," dan detik berikutnya hanya punggung laki-laki yang bernama Dirga itu yang mampu Sera lihat.

Perjalanan ke tempat Eva berlanjut meninggkan Sera kembali duduk diam di dalam mobil sambil memangku beberapa tangkai bunga yang barusaja dibelinya. Percakapan singkat dengan laki-laki bernama Dirga barusan membuat Sera jatuh memikirkan hal-hal selama ini tidak diperhatikannya. Tentang bahwa Rayan masih menganggap gadis di balkon subuh-subuh itu adalah dirinya, padahal itu adalah Eva, dan Rayan sudah mengenalnya beberapa minggu. Sementara laki-laki barusan, yang hanya pernah melihatnya sekali dan dalam hitungan sepersekian detik, mampu menyadari bahwa dia bukanlah Eva ataupun sebaliknya.

Sera tidak menyangka bahwa kalimat ibu tentang di tempat Eva yang baru terdapat banyak Iris, ternyata memang sebanyak itu. Sebuah tempat dengan bangunan-bangunan tua sisa peninggalan masa colonial belanda, dengan taman penuh bunga Iris di tengah, dan pohon trembesi besar membuat taman itu semakin rindang, indah, dan menyejukkan. Seperti sebuah kompleks tua yang sengaja dibangun untuk menenangkan siapapun yang berkunjung ke sana.

Awalnya Sera berpikir, mobil ayah akan berhenti di salah satu bangunan tua itu, tapi nyatanya masih melaju menuju sebuah jalan diantara gedung menghadap pohon trembesi, menuju sebuah kompleks lain yang berisikan berjajar pondok-pondok kecil yang masih berdesain bangunan peninggalan masa colonial belanda, ada yang menghadap tebing, ada juga yang menghadap satu sama lain.

Mobil ayah berhenti tepat disebuah pondok yang memiliki beberapa pot pohon kaktus di pintu masuknya, pohon kaktus dalam pot yang berbunga dengan warna yang berbeda-beda. Detik berikutnya, dua orang dokter keluar dengan blazer putihnya, langsung berbicara dengan ayah. Satu dokter seperti seumuran ayah, dan yang satunya masih muda.

"Hai, Sera ya," sapa dokter yang muda akhirnya, saat Sera berdiri di sebelah Ayah. Lalu dokter itu memperkenalkan dirinya sebagai Harsa, dan meminta Sera untuk memanggilnya mas Harsa saja, bukan dokter Harsa, "Eva udah sering nanyain kamu, udah sana main sama Eva," kata mas Harsa kemudian memberikan senyum paling ramahnya.

Sementara Sera bisa melihat dokter yang satunya hanya melirik dirinya dari balik kacamata tanpa bingkai, yang entah mengapa seolah dokter itu tidak menyukai dirinya.

"SELAMAT DATANG!" urai Eva sangat ceria dilengkapi dengan senyum paling lebar yang tidak pernah Sera lihat sebelumnya. "Bagaimana kamarku? Bagus kan?"

Sera sontak melihat berkeliling, isi pondok yang hanya sebuah kamar, dengan dinding yang berdasar cat warna putih, beberapa jendela berbingkai putih di beberapa tempat, dan juga tirai putih tertutup angin yang menutupi jendela tersebut. Semuanya serba putih, hanya dua tangkai iris di atas meja tepat sebelah tempat tidur yang berwarna ungu.

"Putih semua, membosankan," jawab Sera sambil langsung menata beberapa tangkai bunga yang di bawanya, bersebelahan dengan Iris yang sudah ada di atas meja. "Dapet dari metik di taman di luar?"

"Bukan, tadi DIrga yang bawa,"

"Dirga?... Oh!" Sontak Sera mengingat laki-laki yang ditemuinya di toko bunga tadi.

"Kamu kenal Dirga?" tanya Eva sambil naik ke atas tempat tidurnya untuk duduk.

"Tadi ketemu waktu beli bunga," jawab Sera tidak bisa menyembunyikan nada senang dalam bicaranya karena akhirnya bertemu dengan Eva setelah beberapa hari sendirian di rumah.

"Oh ya? Dia ramah kan ya," cerita Eva dengan nada bicara yang tidak kalah senangnya. "Aku pas pertama kali ketemu Dirga pas main di taman tengah trembesi itu. Sambil memainkan beberapa Iris yang aku takut tidak boleh aku petik. Senja-senja waktu itu,"

Sera duduk di sebelah eva setelah selesai menata bunga yang di bawanya. "Dirga kok tahu soal dua tangkai Iris?"

"Ya karena aku cerita banyak sih sama dia. Habisnya gak ada yang bisa diajak ngobrol selain Dirga... padahal aku pengen ngobrol sama Sera. Aku kangen banget sama Sera."

"Aku juga,"

"Dokter bilang aku akan segera sembuh sehingga boleh main sama Sera lagi,"

Sera melihat perban yang melilit tepat diatas pergelangan tangan kiri Eva. Membuatnya merasakan sayatan tak terlihat dalam dadanya. Perban itu cukup lebar, berarti lukanya bukan hanya cukup dalam tapi juga cukup lebar, pikir Sera.

Sera spontan memeluk Eva dengan eratnya, "Kenapa?" tanya Eva lalu.

September 2018

Mas Harsa sudah menunggu dengan senyum paling lebarnya di depan pondok tempat Eva dirawat dulu. Masih sama, serba putih, dan beberapa kaktus dalam pot yang tidak berubah. "Mau masuk?" tanya Mas Harsa yang diikuti anggukan oleh Sera.

Di dalam pondok juga sama, tidak berubah. Masih penuh dengan warna putih. Hanya saja tanpa vas bunga yang terisi di atas meja. Mas Harsa lalu mempersilahkan Sera duduk di dalam pondok sendirian, merasakan apa yang selama ini dia lari dari itu. Rasa bersalah, dan terluka yang selalu dia abaikan.

Dan tanpa Sera sadari dia sudah menangis sesenggukan sendirian di dalam pondok yang hanya ada gema tangisnya.

Hingga akhirnya Sera mendengar suara berlari yang Sera pikir dari mas Harsa yang menunggunya di luar, membuatnya berhenti menangis. Dan Sera tidak salah. Mas Harsa dan Alena tengah berlari kencang menuju taman bulat. Sera spontan ikut berlari mencoba mencari tahu apa yang terjadi di sana.

Sera berhenti berlari saat jarak pandangnya mulai tak lagi samar. Saat ia bisa melihat dengan jelas, ada Hayu di sana, salah satu teman masa lalunya, di sebelah mobil yang terparkir, yang tengah meminta tolong karena seseorang tengah pingsan di hadapannya.

Seseorang yang Sera akhirnya tahu siapa yang tengah pingsan, saat Mas Harsa dan beberapa tenaga medis berhasil membopong seseorang itu. Dan itu adalah Dirga.

Dirga yang terakhir kali dilihatnya di bawah pohon trembesi, sendirian, terluka seperti dirinya.

Senyawa [On Hold]Where stories live. Discover now