Semi Sebelumnya

12 0 0
                                    

Agustus 2018

Sera bisa menyadari dengan penuh bahwa tubuhnya tak lagi mengikuti perintah otaknya. Sambil terus berjalan lurus, sempoyongan menuju arah yang masih belum jelas. Dengan secepat mungkin, mencoba mengumpulkan kesadarannya untuk memesan taksi online sebelum tubuhnya semakin menolak perintah otaknya. Secepat mungkin juga menelan anti depresan yang diminta mas Harsa untuk selalu ada dalam tasnya.

Beberapa hal terasa menjadi begitu berbeda, setelah melihat Dirga menangis seperti itu. Karena itu bukanlah gambaran yang selama ini dia pahami, Dirga dengan segala keberhasilannya melampaui luka hati yang sama dengan miliknya.

Selama perjalanannya kembali pulang, beberapa bunga mulai bermekaran dan gugur membentuk bintik-bintik yang bercampur antara kuning dan ungu muda. Kota Surabaya mulai bebenah, pikir Sera. Jauh setelah sekitar satu setengah jam perjalanan dari kampus Dirga.

Hingga akhirnya mobil yang membawanya pulang, tiba di sebuah toko bunga yang dulu sering dikunjunginya. Toko bunga yang menjadi alasan baginya untuk tetap pulang kerumah setelah semua keraguan akan rumah merayap dalam pikirannya.

Toko bunga itu masih terlihat sama, tidak berubah dari delapan tahun lalu. Hanya saja, penjaganya sedikit berbeda, lebih muda dan tidak mengenali dirinya. Karena ibu florist yang dulu begitu hafal dengan sosok Sera karena memang Sera sering mampir kesana.

Dari semua kenangan tentang Eva, entah mengapa ingatan tentang bunga-bunga adalah ingatan yang tidak melukai, dan tetap membuat Sera nyaman. Beberapa tangkai tulip berwarna kuning langsung menyita perhatiannya. Tulip yang selalu terlihat anggun seperti biasanya. Atau, mawar oranye di sebelahnya yang terlihat lembut seperti terakhir kali Sera mengingatnya.

Hingga akhirnya, pandangan Sera tertuju pada sosok pria yang tengah menggendong beberapa tangkai tulip dan mawar tengah membayar pada mbak-mbak penjaga toko. Sosok itu terlihat begitu familier seolah Sera sudah sering bertemu dengannya serta memberikan kesan ramah.

"Rayan?" sapa Sera mencoba menebak. Nama pertama yang muncul dalam pikirannya. Sosok itu, sosok yang selalu memberikan kesan ramah selama Sera mengenalnya.

Pria itu menoleh secepat kilat, seolah terkejut mendengarkan suara yang sudah lama tak pernah didengarnya, "Sera?" tanyanya dengan wajah tidak percaya dan senang di dalamnya. Pria itu lalu tak berhenti memperlihatkan senyum di bibirnya, "Sejak kapan kamu balik Surabaya?"

Hal sama yang juga dirasakan Sera, kelegaan bertemu dengan orang yang familier dengan dirinya, "Gak lama sih yan, ya sekitar dua bulanan ini. Lo apa kabar?"

"Aku baik Sera, ya tapi masih gini-gini aja sih. Kamu sendiri gimana?"

Sera tidak bisa melepaskan pandangan dari sosok Rayan yang masih ramah sesuai dengan gambaran dalam ingatannya, serta beberapa tangkai bunga dalam gendongannya, "Sama. Baik juga. Lo sekarang jadi suka bunga juga?"

"Yakan kamu yang ngajari aku soal filosofi bunga. Emang kamu udah gak suka bunga?"

Pertanyaan Rayan masih selalu sama di mata Sera, tidak sengaja tapi mengena. Kemudian jawabannya tidak pernah bukan secara kebetulan, selalu tidak pernah salah. Karena memang Sera yang sekarang sudah tak sesering dulu menghiasi ruangannya dengan beberapa bunga. "Orang rumah uda pada jarang minta dibeliin bunga,"

Rayan menatap Sera dengan tatapan kagum dan lega yang seolah tidak Sera sadari. "Tapi toh sekarang kamu nyangkut di toko bunga juga. Hari ini ada rencana?"

"Heh?"

Rayan mencoba menjawab dengan ragu-ragu, "Yah... kalo ga ada rencana, makan siang bareng yuk, gimana?"

"Lo ga lagi sedang ada kerjaan atau gimana gitu,"

"Makanya, ayo makan siang bareng, sambil cerita-cerita. Banyak banget nih yang perlu kita kabar-kabari setelah delapan tahun kamu ngilang gitu aja," jawab Rayan sambil menuntun Sera untuk berjalan keluar toko bunga.

Selama di dalam mobil Rayan, banyak pemikiran yang lalu lalang dalam alam setengah sadar sera. Tentang Dirga, tentang Surabaya, tentang kebetulan, tentang Rayan, dan tentang Bunga yang tidak lagi diprioritaskan.

Sera berpikir, kembali berarti melangkah pada titik dimana apa yang tak sengaja dilupakan dan ditinggalkan digali lagi dengan segala konsekuensinya. Seperti sosok Rayan yang kini mengemudi di sebelahnya. Saat Sera memutuskan untuk kembali ke Surabaya, nama Rayan tidak ada dalam daftar alasan mengapa ia harus kembali. Rayan tidak pernah terprioritaskan di sana, tapi Surabaya juga tidak akan pernah lepas dari Rayan. Yang begitu hangat dan menenangkan.

"Kamu di Surabaya sendirian apa orang rumah semua pindah sekalian?" tanya Rayan mengembalikan Sera dari lamunannya.

"Sendirian," jawab Sera masih menikmati jalanan Surabaya yang mulai disapa mendung.

"Kamu gak sendirian, kan aku juga ada di Surabaya," kata Rayan sambil lalu membelokkan mobilnya memasuki pelataran sebuah rumah makan.


Januari 2008

Sera berdiri mematung di depan pintu gerbang rumahnya sambil terus memandangi lampu jalan yang semakin terang, karena malam mulai menggantikan siang. Masih lemas, masih kosong, tidak tahu harus berpikir seperti apa.

Bagi Sera, melukai dan terluka adalah hal yang sangat tidak asing. Terlalu sering baginya menemui kedua hal tersebut. Tapi entah mengapa, masih tetap saja tidak mampu berpikir dan bertindak apabila hal itu terjadi. Seperti apa yang terjadi baru saja, Sera harus melihat kedua orang tuanya mengantarkan Eva menuju rumah sakit terdekat karena kembali terluka. Meninggalkan dirinya sendirian ditemani sorot lampu jalan.

"Ngapain berdiri di depan gerbang rumah sendirian seperti ini? Seperti sedang dihukum gak boleh masuk rumah aja," sapa Rayan diatas sepedanya yang baru pertama ini Sera lihat.

"Orang rumah pada keluar semua," jawab Sera masih lemas. "Aku takut sendirian di dalem. Mungkin masih belum akrab sama si penjaga rumah,"

"Mau aku temenin?"

"Gak di cariin mama sama papamu?" tanya Sera sambil membukakan gerbang mempersilahkan Rayan masuk. Memang kadang kalimat yang kita ucapkan tidak sinkron dengan apa yang kita lakukan.

"Tinggal bilang aja kan, lagi main di rumah bu Tirta. Bisa lewat SMS, kok repot," jawab Rayan sambil mengayuh sepedanya memasuki halaman rumah Sera.

Setelah selesai membuatkan Rayan minuman dan mempersilahkan laki-laki itu menonton TV di ruang tengah, Sera mengeluarkan beberapa buku tugas dan buku PR yang belum sama sekali ia kerjakan, "Kita sambil ngerjain pe-er ya," katanya santai tanpa mempedulikan Rayan yang asik menonton TV.

Bapak dan Ibu berakhir tidak pulang malam itu, kondisi Eva lumayan kritis. Luka di pergelangan tangannya kali ini cukup dalam dan lebar. Dan lagi tubuh kecil Eva ternyata sudah beberapa hari ini drop sehingga perlu semalaman ini untuk menginap di rumah sakit.

Rayan pulang tepat pukul sembilan malam. Meninggalkan Sera sendirian dalam ketakutan dan kegelisahan yang tidak pernah meninggalkannya.

Ini juga bukan kali pertama Sera berakhir dengan sendirian di dalam rumah. Tapi entah mengapa perasaan sesak itu tidak pernah membiarkan dirinya untuk merelakan apapun yang sedang terjadi.

"Om dan tante masih belum balik juga?" tanya rayan esoknya saat mereka kedua berjalan pulang dari sekolah.

Sera sedang tidak dalam mood untuk berbicara, hanya mengangguk pada setiap kalimat yang keluar dari mulut Rayan.

"Tunggu di sini bentar ya," kata Rayan menghentikan langkah Sera sontak.

Masih dalam diamnya, Sera memilih untuk memperhatikan bunga-bunga bintik kuning berguguran tertiup angin yang terlihat begitu indah. Sekalipun membuat rambutnya penuh dengan serpihan kelopak bunga, dan jalanan pun juga demikian, penuh dengan kelopak kuning kecil-kecil yang begitu mudah tertiup angin kesana-kemari.

"Ser, jangan sedih aja, ini buat kamu," Sera melihat senyum hangat itu untuk kesekian kalinya. Tapi saat ini begitu berbeda. Rayan terlihat begitu cerah lebih dari biasanya, atau mungkin memang Rayan selalu secerah itu hanya saja Sera tidak pernah menyadarinya. Rayan dengan segala keramahannya, kebaikan hatinya, dan ketulusannya.

"Makasih," jawab Sera sambil menerima seikat tulip kuning yang walaupun belum mekar dengan sempurna. Tapi terasa begitu sempurna berdampingan dengan Rayan yang juga terlihat sempurnanya.

Senyawa [On Hold]Where stories live. Discover now