Sepoi

51 1 0
                                    

Desember 2007

Hampir senja. Sekolah sekali lagi tidak sama. Dunia juga. Sera melanjutkan duduk-duduk di bawah pohon pinggir jalan yang tidak ia tahu namanya, berbunga bitnik kuning, ditemani beberapa hembusan angin yang menenangkan, dan lalu lalang pengendara bermotor yang saling ingin jalan duluan.

Ini kali ketiga, jika hitungan Sera tepat, ia pindah sekolah. Sebagian kecil pindah sekolah, sebagian besar pindah kehidupan. Dan dengan satu hembusan nafas panjang, Sera kembali mencoba membuat dirinya sendiri tegar dengan mengatakan bahwa hidupnya masih cukup beruntung bila dibandingkan dengan bapak-bapak pendorong gerobak sampah yang baru saja lewat di hadapannya.

Sera tidak mengeluh. Hanya saja sebagian dari dirinya ingin kehidupan seperti yang lain. Kehidupan yang tidak penuh dengan berpindah. Karena baginya, pada akhirnya juga sama saja, tidak akan ada hal baru dan asing jika itu sudah melewati seminggu bersama. Dan keluarganya harusnya memilih untuk tetap tinggal, bukannya berpindah.

Tapi Sera tahu, yang bisa dilakukannya hanyalah menelan ludah, menarik nafas dalam, dan menyemangati diri sendiri, karena semua pilihan-pilihan itu bukan ada di tangnnya. Dia hanya ekor, yang mengikuti di belakang, bukan nahkoda yang menentukan kemana kapal ini harusnya berlayar.

Sera tersenyum tipis, kembali menerawang secuil kenangan singkat kenapa dirinya ada di trotoar seperti ini. Duduk-duduk diam, hanya karena tidak ingin pulang. Karena semuanya kembali asing, sekali lagi tidak sama.

Nama Ayah muncul beberapa kali di layar ponsel Sera yang ia acuhkan. Sementara Sera sekali lagi menarik nafas, membatin bahwa yang akan dia dengarkan dari panggilan itu hanyalah ocehan-ocehan kekhawatiran Ayah kenapa dirinya belum juga pulang. Lalu nama Ayah berganti menjadi Ibu, dan Sera sekali lagi menarik nafas dalam-dalam, hingga akhirnya dia melihat sepasang kekasih yang mengenakan seragam yang sama dengan yang ia kenakan, berboncengan erat diatas motor ninja yang terlihat lebih mahal daripada motor bebek.

Sera tersenyum tipis, menyadari bahwa mungkin menjadi remaja sudah ia loncati begitu saja menuju kematangan mental yang belum waktunya. Secara hitungan usia, Sera menyadari bahwa dirinya mungkin hanya lebih muda satu-dua tahun dari pasangan kekasih barusan, tapi mungkin hidupnya sudah jauh lebih panjang dan melelahkan dari pada mereka. Sebagian merasa tidak adil, sebagian lainnya merasa mungkin ini karunia karena dia bisa meloncati masa menjadi remaja penuh drama seperti lainnya.

Tapi sebagian kecilnya Sera juga tahu, bahwa dia ingin menjadi penuh drama seperti itu.

Hah... Sera kembali menarik nafas panjang, menahan genangan air di matanya, memaksa diri berjalan pulang, karena dia tidak terlalu suka petang.

Gerbang itu terlihat dingin dan gelap. Menjulang tinggi di depan Sera dengan warna kayunya yang alami, coklat, dan tidak menua. Gerbang yang menghalaninya menuju titik yang bisa ia sebut sebagai pintu, menuju dunia asing yang kini terpaksa harus dipanggil rumah, dan titik di mana Sera ingin tidak pernah kembali ke dalamnya.

"Hai," sapa sebuah suaranya yang membangunkan Sera dari lamunannya.

"Hai,"

"Mau nganterin ini, dari Mama," kata laki-laki jangkung yang Sera merasa seperti tidak asing, menunjukkan nampan yang tertutup serbet makan.

"Oh," Sera lalu membukakan gerbang rumah, dan mempersilahkan laki-laki itu masuk.

"Sayang, kenapa baru pulang?!" Sera bisa mendengar teriakan khawatir dari suara ibu yang mendengar pintu gerbang dibuka. Sera juga bisa mendengar langkah kaki ibu yang setelah berlari untuk mengecek apakah dirinya baik-baik saja. "Oh," kata Ibu lagi saat melihat laki-laki jangkung yang berdiri di sebelah Sera,

Senyawa [On Hold]Where stories live. Discover now