Sejenak

25 0 0
                                    

Agustus 2018

Pagi ini, mungkin akan sedikit berbeda, begitu Sera membatin dalam dadanya tanpa suara sekaligus menguatkan dirinya sendiri. Karena untuk pertama kalinya, ada hal yang ingin dilakukannya di Surabaya. Untuk pertama kalinya, setelah pertemuan tidak sengaja di stasiun dua bulan lalu, yang menyebabkan sebuah sesi intensif antara dirinya dan Mas Harsa. Untuk pertama kalinya juga, Serafina mencoba menantang dirinya sendiri tentang definisi baik-baik saja yang selama ini dia pahami.

Begitu pula dengan beberapa harapan tentang ketidaksengajaan yang mungkin saja, kembali membukakan jalan tentang takdir. Sera tersenyum menghina dirinya sendiri pada bagian ini. Takdir dia bilang, takdir yang seperti omong kosong gadis belasan tahun yang berdoa bertemu dengan pujaannya di dalam sebuah kampus besar yang sudah tidak pernah lagi ditemui setelah lulus sekolah.

Tapi dalam sebagian lainnya. Sera juga mengamini, sekalipun terasa begitu konyol, setiap ucapan adalah doa. Doa yang mungkin terdengar receh tapi bukan tidak mungkin terkabul, menandakan ketidakmungkinan itu adalah sebuah kemungkinan yang lain.

Rasanya begitu asing, saat Sera mulai berjalan menyusuri jalanan beraspal yang di kelilingi pohon-pohon sejuk dan gedung-gedung yang terlihat cukup tua. Asing karena ini bukan kampus tempatnya menuntut ilmu. Asing karena memang ini untuk pertama kali Sera menampakkan kaki di kampus ini.

Beberapa orang bilang, apabila kita ingin memahami bagaimana seseorang berpikir dan merasa, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah mencoba memahami bagaimana lingkungan seseorang itu berada. Memahami bagaimana angin berhembus di sana, atau bagaimana matahari menyinari disela-sela pepohonan yang tidak Sera sangka, cukup lebat untuk sebuah universitas. Sebuah lingkungan yang dulu seolah kabar baik yang bercampur aduk dengan ketidakpercayaan, kelegaan, tapi juga sedikit kekecewaan di sana, karena terasa seolah ditinggalkan sendirian merangkak, sementara yang kau harapkan merangkak bersama ternyata sudah mampu berlari.

Sera menyadari itu, saat kabar itu sampai di telinganya, saat kabar tentang Dirga yang nyatanya mampu tetap kuliah, bahkan di sebuah universitas negeri yang cukup punya nama. Ini bukan seperti Sera marah mendengar Dirga sudah mampu berpijak dan berpindah, tapi ada dalam pikirannya ketika mendengar kabar itu. Ada pertanyaan bagaimana bisa, dan perasaan terkhianati di sana. Karena saat Sera masih tertatih dan merangkak Dirga seolah sudah baik-baik saja dan berlari dengan mudahnya. Walaupun setelahnya, ada semangat dalam diri Sera bahwa dia juga harus segera mampu berlari, dan itu tidak mudah. Karena saat Sera mampu berjalan, ia harus kembali merangkak karena kehilangan lain yang Sera kategorikan sebagai ketidakadilan.

Semalam, Sera memikirkannya hingga pagi buta. Tentang gambaran Dirga waktu itu. Gambaran Dirga yang akhirnya ia lihat setelah delapan tahun berlalu. Gambaran Dirga yang sebenarnya dirindukannya, Gambaran Dirga yang kembali memberikan perasaan tertinggal dalam dirinya.

Dirga pagi itu, di stasiun yang penuh sesak, masih sama dengan tatapan lelahnya. Hanya saja terlihat lebih dewasa dari gambaran Dirga yang jauh tersimpan di dalam ingatan Sera. Lengkap dengan ekspresi yang kosong seperti terakhir kali Sera melihatnya. Tapi kembali memberikan perasaan tertinggal, karena Dirga yang dilihatnya seolah tengah berlari jauh meninggalkannya yang sedang berlari mengejar, tapi masih belum mampu.

Dirga pagi itu, yang mampu membuat Sera kembali terluka selama sebulan penuh, tenggelam dalam perkiraan-perkiraan konyol yang selalu Sera simpan dalam kepalanya dan tak pernah terucap.

Kemudian berhasil membuat Sera berada di sini pagi ini, di sebuah kampus asing yang tak pernah Sera kunjungi sebelumnya. Sebuah tindakan baru yang selalu dengan magisnya Sera lakukan, karena disadari ataupun tidak, itu berhubungan dengan Dirga.

Apabila diruntuk dari cerita Mas Harsa, Dirga perlu terminal dua tahun sejak lulus SMA atau lebih tepatnya sejak tragedi itu terjadi, sampai pada titik kembali berfungsi dengan normal, seperti pergi kuliah, atau berteman, yang kemudian Mas Harsa sebutkan lagi mungkin tidak sepenuhnya normal. Pada bagian itu, Sera akhirnya merasa bahwa sebenarnya selama ini dia tidak pernah tertinggal jauh seperti gambaran dalam kepalanya. Bahwa Dirga juga mengalami kesulitan dan sama berjuangnya seperti dirinya, memulai dari titik nol untuk tetap bertahan.

Sera bisa merasakan bagaimana sepoi angin menerbangkan beberapa helai rambutnya yang terurai. Rambut yang selalu dijaganya untuk tetap sebahu, pendek, mencoba menghilangkan gambaran Eva berambut panjang dari dirinya. Sekali lagi, gambaran-gambaran lama yang entah mengapa, Sera mampu menjaga gambaran itu tetap pada tempatnya dan tak terlupakan.

Beberapa kali, Sera membatin bahwa tempat ini memang menyejukkan, bukan hanya secara harfiah, tapi juga mampu menyejukkan dari beberapa perasaan ketakutan, kesendirian, dan ketertinggalan yang menjadi menghuni tetap kamus hidup miliknya. Menyejukkan, mungkin itu juga yang dirasakan Dirga pada masa-masa kuliahnya sehingga Dirga mampu berlari dengan ringan tanpa beban, kata Sera menjelaskan pada dirinya sendiri.

Hingga kemudian, Sera terpaku di tempatnya, memandang sebuah pohon yang begitu familiar dalam ingatannya, sebuah pohon yang selalu tergambar sebagai pohon besar dengan hujan dibawahnya. Pohon trembesi yang juga memiliki gambaran tak terlupakan dalam ingatannya.

Pohon trembesi, pohon hujan, pohon yang memiliki banyak kenangan dibalik gambarannya, yang mempu menyihir Sera berjalan mendekat tanpa perlu sadar untuk melakukannya.

Sera tentu masih mengingat dengan jelas pohon trembesi lain yang berada di antara lautan bunga ungu, dengan banyak daun berjatuhan karena angin, dan beberapa bangunan tua disekelilingnya. Tempat yang, sampai detik ini Sera belum berani menyebutkan namanya. Tempat yang, sampai detik ini juga begitu riskan untuk dikenangnya.

Di bawah pohon trembesi masih terasa sama, dengan sejuk yang tidak masuk akal, dengan daya magis yang juga tidak masuk akal, membuat Sera merasakan ledakan emosi di sana. Ledakan emosi yang berbeda, lebih banyak bahagianya daripada sedihnya, karena ada rindu di sana. Rindu akan waktu-waktu yang tidak akan terulang, walaupun sebenarnya sudah saatnya untuk direlakan.

Tangis kerinduan itu harus terhenti seketika, sebuah konsekuensi dari doa Sera pagi ini. Doa tentang bertemu secara kebetulan. Karena sosok Dirga, yang masih Sera tidak percaya kebenarannya, tengah berjalan menuju pohon trembesi tempatnya duduk.

Nyatanya, Sera masih tidak seberani itu untuk bertegur sapa pada sosok Dirga yang dia sadari begitu dia rindukan, menyebabkan Sera memilih untuk bersembunyi di balik pohon, merasakan keberadaan Dirga tanpa perlu membuat pria itu menyadari keberadaanya.

Sosok Dirga saat ini, memberikan gambaran baru yang sempurna bagi Sera. Dengan perlahan, diperhatikannya Dirga dari ujung kepala hingga ujung kaki. Masih sempurna seperti delapan tahun lalu, ataupun dua bulan yang lalu. Masih dengan ketampanan yang kadang menyisakan aura dingin dan sinis yang tidak biasa, lalu berubah menjadi aura keramahan yang berbeda saat pria itu menarik nafas dalam-dalam.

Dirga dengan segala detailnya yang masih sama dengan Gambaran dalam ingatan Sera, berhasil membuat Sera perlahan meneteskan airmata entah karena senang ataupun sedih, tapi yang jelas masih tentang perasaan rindu yang tak terdefinisakn itu.

Di saat yang sama, Sera menyadari bahwa Dirga juga sedang pecah, Sera bisa melihat Dirga menangis disana, ataupun mendengar Dirga terisak disana, dibawah pohon trembesi, yang tidak Sera sangka juga memberikan efek magis yang luar biasa pada Dirga, yang selalu diduganya baik-baik saja. Membuat Sera menelan ludah, kembali mempertanyakan apa yang selama ini dia ingat tentang Dirga, tentang Dirga yang sudah baik-baik saja, tentang Dirga yang sudah bisa berlari saat dirinya masih tertatih.

Sera lalu beranjak perlahan dari tempatnya bersembunyi, ingin mengulurkan tangannya untuk Dirga yang tengah menangis di hadapannya saat ini. Hingga ia menyadari, Dirga sudah berhenti dari tangisnya, memandang jauh kesebelah kanan, terdiam cukup lama, yang Sera sadari tidak ada apa-apa di sana, lalu beranjak pergi, sambil menggenggam sesuatu yang tak sempat Sera pahami itu apa.

Meninggalkan Sera yang hanya mampu memandang punggung itu lagi, punggung yang selalu ingin Sera rengkuh tapi tak pernah bisa, karena bukan dia yang seharusnya merengkuh punggung itu. Bukan dia yang seharusnya ada disini menyaksikan Dirga menangis dan mencoba mengulurkan tangan. Dan sekali lagi, entah mengapa Sera mengingatkan dirinya sendiri, bahwa sejak awal, sejak hari pertama, bukan dirinya yang seharusnya bertahan, walaupun memang kadang sejenak terlupakan, sejenak menginginkan, Dirga menyambut uluran tangannya.

Senyawa [On Hold]Where stories live. Discover now