"Mana, Dir? Enggak ada siapa-siapa di pojok sana. Halusinasi aja mungkin," sahut Paul.

"I-itu di sana! Kasihan dia kesakitan." Tanganku ikut memegang leher sendiri. Karena mungkin memang terasa sangat sakit mengingat luka di lehernya yang sangat menyeramkan.

"Eh? Tapi-"

"Iya benar itu arwahnya." Sahutan seseorang berhasil membuat kami semua menoleh ke arahnya.

Dahlia Anggraini?

Si gadis misterius dengan pisau kecil yang selalu dibawanya.

"Sialan lo, pembunuh!" Elsa tiba-tiba saja langsung menyerang Dahlia tanpa ampun.

"E-eh! Elsa!" Kami mulai panik saat serangannya seolah-olah membabi buta.

"Argh, le-lepaskan! Aku bukan pembunuh! Aku takkan setega itu! Lepaskan!" Ia sedikit meringis kesakitan.

"Elsa, sadar!" Paul langsung melerai Elsa dari Dahlia yang tak memberi perlawanan apapun.

"Kamu jangan asal nuduh, El!" Hilmi bertindak sebagai benteng di antara keduanya.

"Hah? Apa, Hil? Lo belain dia? Si pembunuh itu? Lo enggak lihat kalau dia selalu bawa pisau ke mana-mana? Lo sendiri kan yang bicara seperti itu! Apa jangan-jangan ... lo suka sama pembunuh itu?!" Dari nada suaranya, Elsa nampak mengeluarkan seluruh emosinya yang sedari tadi telah ditahan-tahannya.

"Eh, nyebut lo! Jangan asal tuduh orang! Lo enggak punya bukti apa-apa. Fitnah jatohnya, bodoh!" Suasana semakin memanas saat Hilmi terlihat terbawa emosi.

"Pisau itu udah cukup jadi bukti! Cuma gara-gara perempuan ini, lo gak percaya gua?" Apa yang Elsa ucapkan seolah-olah benar tanpa ada penyelidikan terlebih dahulu.

"Lo gila apa gimana, sih? Sekalian aja Lo bilang tukang ayam pembunuhnya! Dia juga punya banyak pisau, 'kan? Lebih besar lagi!"

"CUKUP!" Aku mengembuskan napas kasar ketika mendengar perdebatan yang tak buang-buang waktu seperti ini.

"Kita enggak bisa mengklaim dia pembunuh atau bukan! Kita enggak punya bukti kuat! Kalau hanya karena pisau, Mang Halim juga punya kok buat motong sosis gorengnya!" ujar Paul dengan cengengesan khasnya.

"Auh!" Muhzeo mencubit pinggang Paul yang memang jatuhnya sering asal ceplos.

"Aduh, habisnya kalian ribet-ribet segala cari pembunuh. Nanti juga polisi bakal mengungkapkan, kok!" Paul menggeleng-gelengkan kepala seperti orang yang sangat benar di sana.

"BISA ENGGAK LO SERIUS SEDIKIT? INI BERKAITAN DENGAN NYAWA!" Aku berteriak hingga suaraku nampak bergetar.

"M-maaf." Ia menoleh ke arah lain dan enggan membuka mulut kembali.

"Tolong banget, nih. Ini bukan waktunya bercanda atau tuduh-menuduh. Kita harus kerjasama untuk tau siapa pelakunya!" Aku menatap mereka semua dengan penuh Tatapan memohon.

"Kalau taunya dia pembunuh, bagaimana? Bisa aja dong dia bunuh kita sebelum kita ungkap siapa pembunuhnya!" Tatapan Elsa masih menyorot benci ke arah Dahlia.

"ELSA CUKUP!" Aku mulai melotot dan menggerakkan pundaknya dengan sedikit kasar. "Istighfar Elsa, istighfar!" Napasku telah naik-turun tak terkondisikan.

"Coba sekarang kutanyakan padamu. Dari mana kau bisa tau pisau itu yang dipakai dia untuk bunuh, hum? JAWAB EL, GIMANA?!" Tangisku mulai lepas karena terlalu lelah meladeni sifat Elsa yang kalau marah susah untuk diperbaiki.

"Aku bukannya belain dia, El! Tenangi emosi kau dulu! Pikir lebih jernih! Enggak bisa seenaknya kita cap dia sebagai pembunuh. Dia punya perasaan. Kalau taunya dia bukan pembunuh bagaimana? Kau memfitnah dia, loh!" aku menggelengkan kepala dan mengelus dada.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now