Tomi

78 7 0
                                    

Orang bilang, kita tidak bisa memilih siapa keluarga kita. Namun lain halnya dengan sahabat, kita yang memilih mereka, dan hal itu, yang menjadikan mereka istimewa.

Tapi tidak denganku, aku tak pernah memilih sahabatku.

Tidak, ibu yang membawa dan mengenalkannya padaku.

Semua berawal saat usiaku menginjak enam tahun, ketika ibu membawaku ke taman bermain. Ada banyak anak-anak di sana, mereka terlihat riang, berlari-lari, memainkan bola, atau apapun yang biasanya dilakukan oleh anak-anak di ruangan terbuka. Sedang aku hanya duduk bersama ibu di atas kain putih yang dibentangkannya untuk kami, sama sekali tak tertarik untuk bermain bersama mereka.

"Andra gak mau main sama yang lain?" ibu bertanya. Aku menatap senyum hangatnya, lalu beralih pada segerombolan bocah liar di hadapanku sebelum menggelengkan kepala.

Ibu terdengar menghela napas, tapi tetap menawarkan senyuman padaku.

Iya, aku sedikit berbeda dari bocah kebanyakan. Jika anak-anak suka bereksplorasi, aku lebih suka mengamati. Saat anak-anak seusiaku sibuk melakukan berbagai hal dan selalu berlari ke sana kemari, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya duduk atau memecahkan puzzle.

Aku hanya tak suka keramaian.

Tapi ibu menganggap itu sebuah keanehan.

Sebuah anomali.

Hingga suatu hari ... ibu pulang dengan membawanya.

Tomi, begitu aku memanggilnya. Tomi tak jauh berbeda dariku, dia tak suka bicara dan membuat keributan, dan seorang pengamat yang baik. Sosok teman yang aku butuhkan.

Semakin hari, aku dan Tomi semakin dekat, kadang aku akan mengobrol dengannya walau Tomi tak selalu menjawab, tapi hal itu sepertinya cukup membuat lega ibuku.

Aku mulai suka keluar, Tomi tentu kuajak tiap meninggalkan rumah. Aku mengenalkannya pada tempat-tempat di sekitar tempat tinggal kami. Tomi tampak menyukainya.

Anak-anak di sini tidak terlalu menyukai Tomi, mereka menjauhiku karena bermain dengannya, tapi itu tidak masalah. Aku cuma butuh satu teman, dan itu adalah Tomi.

Suatu hari, aku pulang dengan tubuh penuh lumpur, keadaan Tomi tidak lebih baik dariku. Saat sedang duduk di taman, seorang anak meledekku dan mendorong Tomi hingga jatuh. Aku marah dan memukulnya, membuat teman-temannya yang lain ikut menyerangku dan Tomi. Ibu terlihat tidak senang mendengar penjelasanku.

Malam itu, ibu melarangku tidur bersama Tomi. Aku menangis, menjerit saat ibu menyeret Tomi keluar kamarku. Mata Tomi menatap pasrah padaku, dan itu membuatku menangis semakin keras.

Malam itu aku tertidur karena terlalu lelah menangis.

Besoknya, aku menanyakan tentang Tomi pada ibu, tapi ibu bilang aku harus melupakannya. Aku tidak mengerti, bukankah ibu ingin kami berteman? lalu kenapa sekarang ibu malah memaksa kami berpisah?

Aku marah dan melempar piring sarapanku ke lantai. Ibu berteriak membentakku. Ibu tak pernah marah sebelumnya, dan ini membuatku sedih.

Aku berlari dan mengurung diri di kamar.

Dua hari berlalu, dan ibu masih berusaha membujukku agar mau makan dan bersekolah lagi. Aku tidak menghiraukannya, tidak hingga ibu membawa Tomi kembali.

Pada hari ke tiga, ibu memaksaku ikut bersamanya, wajahnya terlihat sedih tapi bibirnya menampakkan senyuman, jadi aku tidak tau jika ibu sedang sedih atau senang.

Aku mengikuti ibu keluar kamar, dan betapa terkejutnya aku saat melihat Tomi duduk di kursi ruang tamu. Aku berlari dan memeluknya lalu berterimakasih pada ibu. Kami pergi ke kamarku dan aku menceritakan pada Tomi hari-hariku saat dia tidak ada, Tomi mendengarkan semua ceritaku dengan penuh perhatian.

Aku semakin dekat dengan Tomi setelah perpisahan waktu itu, ibu terlihat makin tidak menyukai Tomi tapi setidaknya dia membiarkan Tomi tetap di rumah kali ini.

Hari itu, ibu membawaku keluar, bukan ke sekolah, tapi ke sebuah gedung besar. Di sana kami bertemu seorang pria tua yang terus menanyaiku pertanyaan-pertanyaan aneh, aku tidak menyukainya, tapi menurut ibu pria itu orang baik yang ingin membantuku.

Tapi aku tidak perlu dibantu.

Aku tidak memiliki masalah.

Pada pertemuan ketigaku dengan pria itu, dia menanyakan tentang Tomi. Aku menjawab dengan gembira bahwa Tomi adalah sahabat sekaligus adikku. Pria itu tertawa dan mengatakan ingin berkenalan dengan Tomi. Hari itu, untuk pertama kalinya Tomi ikut bersamaku menemui pria itu.

Tomi tidak menyukai pria itu, dan itu membuatku tidak menyukainya juga.

Aku mulai menolak untuk menemui pria itu, tapi ibu terus memaksaku untuk pergi bersamanya. Aku tau kalau hari ini kami akan kembali bertemu dengan pria itu, aku kembali menolak untuk pergi, karena aku tidak mau membuat Tomi marah.

"Ibu benar-benar muak mendengar apa yang Tomi mau! Sekarang lihat ibu membuang Tomi ke luar." Aku menjerit saat ibu mulai menarik Tomi, aku berusaha memeganginya tapi ibu jauh lebih besar dan lebih kuat.

"Tidak ... tidak ... jangan ...!"

Aku berlari, mengikuti ibu yang menyeret Tomi menuruni tangga. Tubuh kecil Tomi terus membentur anak tangga tapi ibu seolah tidak peduli. Aku panik. Ibu seperti kerasukan, dia begitu marah dan aku khawatir apa yang akan dia lakukan pada Tomi.

Aku berlari ke dapur dan mengambil benda pertama yang kutemukan sebelum mengejar mereka. Kulihat ibu masih juga menyeret tubuh Tomi yang terkulai lemas. Kakiku berlari secepat mungkin, menyergap dari belakang, pisau di tanganku menancap ke punggung ibu, membuatnya melepaskan Tomi karena terkejut.

Matanya menatapku tak percaya, tangannya meraba pisau yang sekarang bersarang di punggungnya. Cairan merah mulai mengotori dress biru bermotif bunga yang ibu kenakan.

Aku tak membuang waktu. segera kuraih tangan Tomi dan berlari secepat mungkin bersamanya di belakangku. Bersembunyi di balik tempat sampah besar di ujung gang, kupeluk Tomi dan menyadari beberapa jahitannya terlepas menyebabkan beberapa kapas di tubuhnya keluar.

Aku kembali menangis.

FearWhere stories live. Discover now