09 | Tanpa Suara

19.2K 3.1K 308
                                    

Kala cinta akhirnya membuat seseorang menyakiti yang lainnya, masihkah ia patut dipertahakan?

•••

Malam jatuh sejak beberapa jam yang lalu. Pada trotoar komplek perumahan Nadine, dua orang yang biasanya lebih mirip kucing dan anjing kali ini justru tertawa berkali-kali karena kejadian yang mereka alami seharian ini. Selepas bermain di lapangan sore tadi, Rae dan Nadine memutuskan untuk pulang. Rae sengaja tidak mengambil mobilnya di terminal Blok M, pemuda itu justru mengajak menumpangi angkutan umum seperti sebelumnya lalu menyambungnya dengan berjalan kaki dari depan komplek. Mulanya, Rae mengira Nadine akan protes mengingat jarak tempuh mereka dan betapa lelahnya naik-turun angkutan. Namun rupanya ia salah, alih-alih mengeluh Nadine justru tampak menikmatinya.

Cewek itu bahkan ikut bernyanyi waktu sekelompok musisi jalanan mengamen di bis yang mereka tumpangi.

Hari ini, Rae merasa ia menemukan banyak sisi berbeda dari Nadine Wisesa. Satu sisi yang sebelumnya cewek dingin itu tidak pernah tunjukan. Gesture tubuhnya, ekspresi wajahnya, dan tentu saja binar mata Nadine tiap kali menemukan hal-hal baru masih menjadi favoritenya. Rae tidak tahu, bahwa diam-diam bukan hanya dia yang menikmati kebersamaan mereka hari itu.

"Eh, tapi beneran mobil lo beneran nggak apa-apa nggak diambil?" tanya Nadine untuk kesekian kali.

"Dibilang nanti diambil supir."

Nadine berdecih. Ia lupa bahwa pemuda di sampingnya ini tetap saja Rae si anak manja.

Tidak.

Sebenarnya tidak juga.

Ada suara lirih dalam sudut hatinya yang mengakui bahwa segala hal yang mereka lalui hari ini membuat ia tak bisa lagi memandang Rae dengan cara yang sama. Ada bagian-bagian dari cowok itu yang membuat Nadine terhenyak, lantas bertanya-tanya, siapa sebenarnya cowok di sampingnya ini?

Tadi, Rae menepati janjinya untuk menemani anak-anak kecil itu bermain.  Di lapangan tandus depan rumah Aisyah, mereka mengoper-oper bola hingga matahari terbenam. Nadine baru tahu bahwa bergaul dengan anak-anak pengamen itu bisa jadi sangat menyenangkan dan Nadine yakin itulah yang selama ini Rae rasakan.  Mata cowok itu tampak berbinar, tawanya terdengar begitu lepas. Rae kelihatan lebih bersinar daripada biasanya.

"Eh iya, lo belum cerita gimana awalnya lo bisa ketemu mereka?" tanya Nadine saat mereka berbelok ke arah kanan.

"Ck, hari ini lo jauh lebih bawel ya," ujar Rae tanpa nada menyebalkan. Cowok itu menarik tubuh Nadine, menjaganya agar tetap berada di sisi kirinya. "Lo ingat anak Bu Sukma yang pulang pas Maghrib? Yang namanya Ipul?"

Samar-samar ingatan Nadine terantuk pada bocah berusia tiga belas tahun dengan tindikan di telinga kirinya. Bu Sukma memperkenalkan anak itu sebagai putra sulungnya. "Yang katanya bandel itu?"

"Dia dulu pernah nyopet gue di terminal waktu gue abis dari Cianjur," ujar Rae menerangkan. "Eh, sial aja itu anak lagi gue kejar, ketahuan sama Bu Sukma, dari sana deh jadi sering main ke sana."

"Seberapa sering?"

"Hampir setiap hari," Rae menjawab tanpa berpikir.

"Berarti selama ini lo bolos buat ke sana?"

Rae menyengir lebar tanpa rasa bersalah. "Jangan kasih tau ke siapa-siapa, termasuk Gemilang sama Btari, kalau gue bilang manjat nggak bakal ada yang mau nyusulin, tapi kalo cuma ke Bekasi bisa-bisa tiap gue cabut, gue dipaksa balik."

Nadine tidak tahu cerita tersebut berawal dari episode bolosnya Rae yang keberapa, yang jelas sekarang Nadine tahu bahwa Rae tidak seburuk yang ia duga. Meski bolos sekolah setiap hari untuk main ke lingkungan kumuh bukan suatu hal yang baik, tapi setidaknya Nadine tahu, Rae bukan bolos sekolah untuk menghabur-hamburkan uang seperti yang selama ini ia pikirkan.

MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang