Rahasia Azzam

19.8K 1.3K 12
                                    

Setelah bermalam-malam akhirnya lanjutan cerita ini publish juga. Semoga masih setia menunggu kelanjutannya, ya. Perbanyak komentar biar bisa update setiap hari, ya, hehehehe. Selamat menikmati cerita Sofia dan Bang Azzam. Sampai jumpa di part berikutnya. 


Beberapa bulan sebelum pernikahanku, Cila mulai bersekolah di taman kanak-kanak yang letaknya masih di kawasan Dago Atas. Aku hanya perlu membutuhkan waktu 10 menit menggunakan mobil untuk sampai di sekolah Cila.

Sebenarnya di sekolah itu, kegiatan Cila lebih banyak menggunakan motorik. Kegiatan luar kelas dengan banyak mengeksplor alam. Gadis kecilku menyukainya. Ia menyukai kegiatan menanam sayuran, melukis, hingga bernyanyi di luar ruangan. Memang, sekolah Cila cukup luas untuk melakukan semua kegiatan itu. Kalau di Jakarta, pasti sulit menemukan sekolah seperti ini. Tanah di sana luar biasa mahal.

Awal-awal menjadi istri Bang Azzam, aku mengantar Cila sekolah. Ia biasa masuk jam 8 pagi hingga 12 siang. Tidak lama memang. Minggu pertama, aku senantiasa menunggui Cila sekolah. Ia memang menikmati kegiatannya tapi terlihat kurang bisa berbaur dengan teman-temannya yang lain. Ketika anak usianya berbicara banyak hal dengan teman sebaya dan ibu gurunya, Cila hanya bisa menyimak. Ia ikut tertawa meskipun sedikit. Gadis kecil itu memang senang tapi kurang bisa mengekspresikan perasaannya pada orang lain. Persis seperti ayahnya. Awal-awal aku bertemua dengannya di rumah Kak Diba-kakak Bang Azzam-juga seperti itu.

Kini, sudah beberapa bulan, aku tidak menunggui Cila. Setelah mengantar, aku akan kembali ke rumah. Bukan melakukan kegiatan bersih-bersih seperti biasanya. Hanya berbelanja sayuran dan bahan makanan segar lain untuk kumasak. Hanya masaklah kegiatan "perempuan" yang kusukai. Mungkin karena efek mama yang memiliki toko kue dan suka memasak sehingga menular padaku. Kegiatan bersih-bersih rumah, aku akan melimpahkan ke asisten rumah tangga-Nina. Tugasku hanya mengawasi dan memastikan pekerjaan Nina benar.

"Bunda, kita mau ke mana?" tanya Cila ketika aku menjemputnya. Ia semakin menggemaskan dengan seragam sekolahnya. Kaus bermotif pelangi dan celana rok biru muda.

"Kita akan main sama banyak orang, Sayang," kataku. Aku sedikit mengangkat tubuh puteri kecilku ke jok belakang Fortuner milik Bang Azzam. Tentu saja bukan aku yang menyetir. Saru-satu kendaraan yang bisa kukendarai adalah sepeda roda dua. Aku pernah belajar naik motor dan berakhir jatuh di selokan. Kucoba mengendarai mobil papa yang justru terhenti ketika menabrak pagar rumah.

Bisanya Bang Azzam yang akan antar jemput Cila sebelum kehadiranku. Sekarang, tugas itu dialihkan padaku. Sebagai gantinya, mobil kesayangannya diletakkan di rumah untuk mobilitasku. Ia akan menggunakan mobil kantor. Laki-laki tampanku memang suami idaman.

Mang Ujang-supir pribadi kami-membawa mobil menuju tempat yang kuberitahu. Aku belum terlalu hapal dengan jalan-jalan di Kota Bandung. Sementara Mang Ujang yang menghabiskan lebih dari 40 tahun usianya di kota ini tentu hapal hingga jalan tikus sekalipun.

Kurang dari setengah jam kemudian, kami sampai di tempat yang ingin kutuju. Ketika turun dari mobil, Cila langsung menggenggam erat tanganku. Wajahnya ia sembunyikan di belakang tubuhku.

"Bunda," panggilnya pelan.

Aku berbalik dan berjongkok untuk menyamakan tubuhku. Mataku menatap bola matanya dan tersenyum. "Cila mau, kan, ketemu teman-teman?"

Ia menatapku ragu sebelum akhirnya mengangguk. Aku mengelus pelan rambut hitamnya. Ah, gadis kecil kecintaanku. Aku membawanya masuk.

Rumah Impian. Aku membaca plang kecil di depan rumah tipe 72 ini. Seorang perempuan yang usianya mungkin sebaya dengan Bang Azzam menghampiri kami. Perempuan sederhana yang menggunakan kaus lengan pendek dan celana jins lusuh. Rambut ikalnya ia kuncir kuda. Hanya sedikit polesan bedak dan bibirnya dibiarkan begitu saja tanpa olesan lipstik.

"Sofia adik iparnya Kak Diba, ya?" tanyanya hati-hati. Aku mengangguk menjawabnya. "Ah, aku Dita."

"Sofia," kataku mengulurkan tangan kananku ke arahnya. "Ini puteriku, Cila. Ayo Cila, salam dengan Tante Dita."

Cila terlihat ragu. Ia menatapku sebelum aku mengangguk. Akhirnya gadis kecilku mencium tangan perempuan di hadapanku.

Ia membawaku lebih dalam ke rumah bernuasa warna warni itu. Aku melihat beberapa anak-mungkin anak SD-sedang melukis. Beberapa orang dewasa lainnya membimbing anak-anak itu dengan telaten.

Inilah kegiatan yang dikenalkan Kak Diba padaku beberapa minggu lalu.

Rumah impian sebenarnya rumah pribadi milik Teh Dita. Rumah itu ketika siang digunakan untuk mengembangkan bakat seni anak-anak SD. Kebanyakan dari anak-anak itu bersekolah di sekolah biasa. Mereka pulang sebelum azan zuhur berkumandang. Daripada menghabiskan waktu dengan hal negatif karena orangtua mereka sibuk berdagang, memulung, dan bekerja lainnya, lebih baik diarahkan ke kegiatan posisif. Perlengkapan mereka semuanya sumbangan dari sebuah kampus dan perusahaan. Orang-orang yang mengajari mereka juga mahasiswa kesenian.

"Adik-adik, ayo ke sini sebentar!" teriakan Kak Dita menggema membuat anak-anak itu menghentikan aktivitasnya, termasuk mahasiswa-mahasiswa itu.

Seperti titah, anak-anak berkumpul di depan Kak Dita. "Siapa yang mau mendengar dongeng?" tanya Kak Dita.

Anak-anak itu terdiam dan saling memandang sebelum akhirnya terdengar suara. "Mau, Bu Dita...." Disusul oleh teriakan-teriakan anak-anak lain yang mengucapkan kalimat serupa.

"Kenalkan, ini Ibu Sofia dan anaknya, Cila."

Seorang anak perempuan maju untuk mencium tanganku. Anak-anak lain mengikuti. Ketika akan bersalaman dengan Cila, puteri kecilku terlihat ragu. Ia semakin mendekatkan tubuhnya denganku. "Cila sayang, ayo salaman sama kakaknya," kataku pelan. Dengan ragu, Cila mengulurkan tangannya.

Setelah berkenalan, aku duduk lesehan di beralaskan keramik putih di teras rumah. Anak-anak itu duduk di hadapanku. Cila tentu saja masih menempel terus di sampingku. Aku menceritakan kisah seorang anak yang masuk ke dalam dunia air. Dogeng yang kudapat dari mama ketika aku kecil. Anak-anak itu menyimak dengan saksama, termasuk Cila. Gadis kecil itu seperti tidak pernah ada rasa bosan mendengarkan cerita fiksi yang sering kuceritakan padanya menjelang tidur. Bahkan, anak itu ikut tertawa ketika anak-anak lain tertawa. Semoga dengan begini, Cila menjadi lebih mudah bersosialisasi dengan orang lain.

Kami selesai menjelas sore. Aku tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Tapi, aku berjanji akan sering ke sini. Anak-anak itu berteriak antusias mendengar janjiku.

Aku, Kak Dita, dan seorang mahasiswa-Gladys-duduk di teras. Anak-anak sudah terlebih dahulu pulang. Gadis kecilku sudah tertidur dalam gendonganku. Tenaganya habis seharian ini.

Kami mengobrol banyak hal tentang anak-anak dan Rumah Impian ini. Sampai aku mendengar suara pagar terbuka. Seorang laki-laki tampan menghampiri kami. Mataku tidak berkedip melihat tubuhnya berbalut kemeja cokelat. Raut wajah lelah dan keringat di dahinya sungguh membuatnya terlihat sexy.

Ketika aku masih mengagumi suamiku, sebuah suara Gladys menghantamku. "Lho, Kak Azzam sudah menikah lagi?"

***

Ketika Waktu Kembali (Selesai)Where stories live. Discover now