Prolog...

21K 1.1K 149
                                    

Pemandangan di luar kelas sepertinya lebih menarik perhatian Aran dibanding dengan apa yang guru Bahasa Indonesia-nya terangkan di depan kelas. Padahal hanya ada lapangan kosong dan deretan pohon serta bangku-bangku yang juga tidak di huni siswa-siswa yang biasanya nongkrong di sana. Tidak juga diisi oleh kelas lain dengan mata pelajaran olahraga mereka. Itu sudah jam terakhir dari jam formal yang diberlakukan sekolah, hanya tinggal lima belas menit sebelum bel berdering nyaring diiringi hamburan siswa yang berbondong-bondong keluar kelas dengan wajah semringah mereka.

Aran masih di sana, tempat duduknya di dalam kelas dengan pikiran yang entah melayang ke mana. Cewek itu tidak terlihat sedang menunggu jam pulang seperti beberapa teman sekelasnya yang sudah sibuk melirik jam di pergelangan tangan, atau bergerak gelisah seakan kursi yang mereka duduki ditaburi bara api yang secara tidak kasatmata ditaruh di sana.

Tanpa Aran sadari sebenarnya lamunannya sudah beberapa kali menarik perhatian Bu Yana, hanya saja guru baik hati itu menahan tegurannya dan menunggu lamunan Aran usai hingga gadis itu menaruh perhatiannya kembali ke kelas. Aran bukan tipe siswi yang sering mengabaikan pelajaran, cewek itu jelas menjadi salah satu unggulan. Dengan peringkat yang tidak pernah keluar dari tiga besar, keaktifannya di kelas juga bukan hal baru yang sudah diketahui hampir semua guru, apalagi sifat demokrasinya yang selalu dia tunjukan kala ada kekeliruan dalam pelajaran. Singkat kata, Aran adalah salah satu murid teladan, aset sekolah yang tentu saja disayangi beberapa guru yang sudah mengenaalnya, termasuk Bu Yana tentu saja.

Tapi kali ini batas tolerasi yang bisa guru muda itu berikan agaknya sudah dilanggar Aran. Tiga puluh menit berlalu sejak Bu Yana memergokinya sedang melamun, tidak satu pun dari penjelasan beliau membuat cewek itu mengintrupsi untuk memberikan pendapat, atau mengangkat tangan untuk sekedar mengajukan pertanyaan. Murid kesayangannya itu entah atas alasan apa terlalu tenggelam dengan dunianya sendiri, hingga satu-satunya cara untuk keluar dari dunianya adalah dengan menariknya kembali.

Bu Yana menutup buku yang sejak tadi setia di tangannya, meletakan di atas meja dengan suara yang cukup keras hingga muridnya yang lain terkejut dan memasang tubuh siaga. Tidak ada lagi yang melirik jam, atau duduk gelisah, semuanya berada dalam posisi duduk tegak di kursi masing-masing.

"Aran." Panggilan pertama itu membuat semua mata di kelas itu mengarah pada sosok yang di maksud.

Sayangnya si pemilik nama terlalu larut hinga tidak mendengarnya sama sekali.

"Arandia."

Masih sama. Meski suara Bu Yana sudah terdengar menyeramkan di telinga teman-teman sekelasnya, Aran masih setia dengan benaknya yang mengudara. Padahal suara bernada dingin Bu Yana sampai membuat Panji-teman sebangkunya tidak bisa bergerak meski hanya untuk sekedar menyenggol cewek itu agar segera tersadar dari angan-angannya.

"ARANDIA HERMAWAN!" panggilan terakhir yang membuat Panji terperanjat tanpa sengaja membuat pemuda itu melonjak hingga sebelah kakinya menyenggol Aran. Gadis itu akhirnya merubah posisinya yang konsisten sejak tiga pulu menit lalu, melayangkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas yang baru dia sadari mengarah padanya. Saat pandanganya mengarah ke depan kelas, Bu Yana yang biasanya memasang ekspresi ramah kini justru menatapnya datar.

Melihat situasi, Aran sudah bisa menyimpulkan bahwa dirinya adalah objek dari keheningan kelasnya kali ini.

"Ya, Bu?" tanpa sedikit pun merasa bersalah gadis itu bersuara. Nyatanya yang membuatnya sadar dari lamunan adalah tendangan kaki Panji yang mengenai betisnya, bukan suara lantang Bu Yana yang meneriakan namanya.

Berbagai jenis reaksi ditunjukan teman-teman sekelasnya yang sebagian besar meringis prihatin karena sifat Aran yang terlalu santai-tidak, mungkin bisa diibilang cewek itu terlalu cuek atau tidak peka untuk sekedar menyadari bahwa posisinya kini tidak menguntungkan.

"Bacakan salah satu jenis puisi yang kamu tahu dan berikan contohnya."

Dan sepasang mata Aran mengerjap polos. Pusat perhatian masih tertuju padanya. Tiga puluh detik berlalu diisi dengan keheningan yang menunggu, dengan Aran yang menggaruk tengkuknya canggung, teman-teman sekelasnya yang mulai mengalihkan mata mereka dan lebih memilih menundukan kepala di meja masing-masing. Lantas tanpa bisa Aran cegah, bibirnya sudah lebih dulu bekerja dibanding otaknya yang masih berproses mencerna, "Some say, its painful to wait for someone. Some say, its painful to forget someone. But, the worst pain comes when you don't know whether to wait or forget. -unknown."

Mata para saksi itu kembali mengarah pada Aran, dengan sebagian besar yang mengerutkan kening dan tak paham situasi.

Yang mungkin tidak Aran sadari, itu bukan salah satu jenis puisi yang diminta Bu Yana. Yang mungkin Aran tidak tahu, bahkan itu tidak berbentuk sebuah puisi dengan segudang syarat-syaratnya. Dan yang mungkin Aran lupa, mata pelajaran yang sedang dia ikuti itu Bahasa Indonesia bukan Bahasa Inggris.

Hening, untuk beberapa saat sebelum bel tanda jam sekolah berakhir bedering nyaring membuyarkan keheningan yang canggung itu. Bu Yana tersadar dari keterdiamannya, membalikan tubuh dan berjalan menuju meja membereskan peralatan mengajarnya dan mendekap dalam pelukan.

"Kelas selesai," suara Bu Yana menggantung, matanya yang semula mengarah ke penjuru kelas kini kembali pada Aran. "Dan Aran, saya tunggu di ruang guru."

Dear, You... [TRILOGI "YOU" BOOK 3]Where stories live. Discover now