4. Pertanyaan Di Ujung Lidah

2.1K 255 29
                                    

Seiring dengan pintu kamar Nigi yang dia tutup, Aran merasakan oksigennya kembali terpasok dengan cukup. Cewek itu melangkah pelan menuruni tangga, menangkap keberadaan Noel dan Tante Zia yang sedang membicarakan sesuatu di meja makan. Dan tepat ketika kaki Aran menapak pada anak tangga terakhir, keberadaannya disadari Noel yang membawa nampan di tangannya.

Tante Zia mengamati reaksi kedua anak muda itu, tersenyum kecil dan berinisiatif mengambil alih nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh hangat yang baru saja dia siapkan untuk Nigi. Mendapat tatapan tanya dari putranya, Tante Zia hanya mengangkat bahu, menjatuhkan lirikannya pada Aran yang masih diam di ujung tangga. "Take you're time," bisik Mami sebelum berlalu, tersenyum ketika melewati Aran yang membalas canggung. Di hadapannya kini Noel berdiri dengan ekspresi yang sulit untuk dia baca, membiarkan beberapa detik terlewat hanya dengan keheningan.

"Maaf, kakak lupa..." bukan karena tak tahu apa yang harus dia katakan, Noel hanya merasa tak pantas harus memberikan terlalu banyak alasan serupa yang dia sendiri sudah bosan mendengarnya. Tentu beberapa tahun belakangan, sebelum hubungan mereka kadang terasa canggung seperti saat ini.

Aran tersenyum tipis, "Nggak apa-apa, bagaimana pun keadaan Kak Gi memang lebih penting, kan?" tersadar dari ucapannya yang ambigu, serta reaksi Noel yang terlihat tak nyaman dengan ucapannya Aran segera menggelang panik. "Ah, bukan maksud apa-apa kok. Maksudnya, lagi pula bukunya kan udah ada," seru Aran menunjukan buku yang sejak tadi di dekapnya ke hadapan Noel.

"Kalau gitu aku pulang, Kak. Pinjem dulu ya bukunya." Tanpa menunggu jawaban Noel cewek itu segera melesat pergi, berlari menuju rumahnya yang dia rasa kini adalah tempat persembunyian paling aman yang bisa dia gapai.

Napas Aran terseok begitu pintu rumahnya berhasil dia tutup. Ayah yang baru berbelok dari ruang tengah dan mendapatinya bersandar di pintu menatap dengan kening berkerut. "Kenapa kamu? Dikejar hantu?"

Aran menggeleng, melangkah menaiki tangga dengan langkah cepat menuju kamarnya. Pintu kamar dia tutup cukup keras, menghampiri meja belajar yang terlihat amat berantakan setiap kali Aran terlalu tenggelam dengan tugas-tugas sekolah. Gerakannya yang tak sengaja menyenggol laptop membuat layar yang semula dalam mode slideshow kini bergeming menampilkan sebuah halaman yang beberapa waktu terakhir selalu dia pandangi tanpa henti, bahkan sampai beberapa jam lalu.

Cewek itu menggeser kursi, menjatuhkan diri di sana dengan mata yang masih fokus jatuh pada layar laptopnya. Satu hal yang kemudian membuatnya berpaling, keberadaan buku puisi yang masih erat dia pegang. Tanpa pikir panjang Aran menutup layar laptop-nya cukup keras. Menghilangkan sejenak kekacauan yang benaknya mulai rangkai.

"Ngerjain hukuman lo sekarang lebih penting, Ran. Lebih penting!" Aran menggerutu pada dirinya sendiri, mulai membuka buku yang dia pinjam dan mengambil bolpoin yang tereletak di atas buku tulis yang sudah terbuka.

***

Bukan keberanian yang dibutuhkan untuk mengajukan satu pertanyaan yang Aran simpan, pun bukan keengganan yang membuatnya membutuhkan waktu untuk mengajukan pertanyaan itu. Yang dia butuhkan adalah ruang untuk menerima jawaban dari pertanyaannya, ruang untuk bisa mengolah dan memahaminya dengan pasti jawaban yang sebenarnya amat sederhana. Hanya saja rasanya situasi yang orang-orang sekelilingnya hadapi tidak pernah sesederhana itu.

"Makan sop buah di musim panas kayak gini memang surga dunia!" ujar Varo ketika Mang Hamid yang memang menjual berbagai jenis es di dekat sekolah SMA Nusantara memberikan mangkuk ketiga.

"Kalau lapar makannya bukan sop buah tapi nasi! Lagian nggak ada kenyangnya ya lo? Mau ngabisin uang saku gue seminggu?" gerutu Aran kesal.

"Pertama, gue memang lapar karena istirahat siang tadi gue nggak makan. Kedua, kalau uang saku lo selama seminggu abis ya itu memang derita lo."

Dear, You... [TRILOGI "YOU" BOOK 3]Where stories live. Discover now