2. Topik yang Dihindari

2.5K 340 17
                                    

Denting piring yang beradu dengan sendok dan obrolan ringan yang mengisi makan malam hari itu tidak mengganggu keasikan Aran yang diam-diam melirik dan mengamati sang kakak. Duduk di seberang meja makan, Zillo beberapa kali menaggapi topik yang dibahas sang Ayah. Bukan hal yang baru bagi Aran mengamati sikap Zillo, hal itu sudah berlansung lama, tepatnya sejak seseorang itu pergi jauh dan meninggalkan kakaknya yang selalu berusaha terlihat baik-baik saja.

"Ran?"

Kepala Aran memang tertunduk, seolah dirinya fokus pada piring berisi makanan di depannya, tangannya masih menyendok, masih mengunyah dan berusaha menghabiskan makan malamnya. tapi lirikan dan pikiran cewek itu tidak berada di tempat, melainkan pada sosok di depannya dan setelah itu entah ke mana.

Merasa panggilannya diabaikan, Ayah berdeham sekali, berusaha menarik perhatian putrinya yang masih asik dengan dunianya sendiri. Bukan Aran yang terusik, justru Zillo yang menoleh pada sang Ayah lalu beralih pada adiknya yang masih mencuri-curi pandang ke arahnya. Sebelah alis Zillo terangkat, dia baru sadar dipandangi dengan cara aneh seperti itu oleh adiknya sendiri. Belun sempat Zillo bersuara, Ayah sudah lebih dulu memanggil nama adiknya itu dengan suara yang lebih keras, "Arandia!"

"Eh? Kenapa, Yah?"

"Kamu itu ngapain sih? Makan kok sambil ngelamun. Mikirin apa, hah? Ayah tanya dan panggil dari tadi malah diam aja."

Suara Aran tertahan, makanan yang sedang dia kunyah dan tiba-tiba tertelan saat pertanyaan itu diajukan sang ayah membuat makanannya menyangkut di tenggorokan. Melihat wajah putrinya memerah Bunda segera menuangkan air mineral di gelas Aran, menyodorkannya pada si bungsu agar lekas meminumnya.

"Makasih, Bun," ucap Aran begitu tenggorokannya terasa lega.

"Ada yang mau kamu omongin ke Kakak?" Todong Zillo tiba-tiba, sebelum Ayah mengajukan pertanyaan lanjutan untuk adiknya itu.

"Eh?" Aran hampir saja tersedak lagi, buru-buru dia meredakan tenggorokannya yang gatal dengan air yang masih ada dalam genggaman.

"Kamu merhatiin Kakak dari tadi. Kalau nggak ada yang mau kamu omongin terus apa? Ada sesuatu yang aneh di muka Kakak?"

Cepat-cepat Aran menggeleng setelah meletakan gelasnya kembali di atas meja, membalas tatapan Zillo yang hanya bisa dia tahan beberapa detik, lantas mengedarkan pandangannya ke sembarang, termasuk Ayah dan Bunda yang kini mengamati dengan segudang tanda tanya.

"Eng—nggak kok, anu, Aran cuma mau tanya Kakak punya buku kumpulan puisi? Aku disuruh ngumpulin 50 puisi yang harus diserahin besok pagi." Entah dari mata alasan itu melintas, yang pasti untuk sesaat dia bisa merasa lega, toh apa yang dia katakan juga bukan sebuah kebohongan.

Kening ayah berkerut, "Lima puluh puisi? PR? Nggak biasanya kamu ngerjain PR dadakan gini, harus diserahin besok pagi lagi."

"Eh? Bukan PR sih, Yah. Anu... itu.."

"Kamu dihukum?" sambar Zillo yang langsung disesali Aran, alasan yang dia pikir bisa menyelamatkannya justru menyerang balik sekarang.

Dan tak ada yang bicara untuk lima detik setelahnya. Aran meringis melihat tatapan tak percaya kedua orang tuanya, sementara Zillo terlihat santai, menghabiskan makan malamnya yang tinggal separuh.

"Jadi bener kamu dihukum?"

Baiklah, sepertinya acara makan malam kali ini akan lebih spesial dengan agenda sidang dadakan Aran yang diadakan langsung.

"Dihukum kenapa?" Pertanyaan dingin itu terlontar setelah Aran mengangguk samar. Begini susahnya jadi anak teladan, melakukan kesalahan sedikit langsung menjadi topik yang "wah" seolah melakukan kesalahan besar. Detik itu Aran menyesali mengapa selama 15 tahun hidupnya dia habiskan dengan menjadi anak yang terlampau baik. Meski pada detik selanjutnya Aran sendiri yang menyangkal pikiran konyol itu. Dia diajarkan untuk menjadi anak yang baik, lantas mengapa harus bersikap sebaliknya? Pikiran bodoh.

"Ngelamun."

"Hah?"

"Aran ngelamun, Ayahhh... makannya dihukum."

Ayah dan Bunda bertukar pandang, sebelum keduanya kembali memusatkan perhatian mereka pada putri bungsunya. "Kok bisa? Lagian anak kecil ngelamunin apa sih? Kewajiban anak seumuran kamu tuh belajar yang bener—"

"Aran bukan anak kecil," potong Aran ketus.

"Di mata Ayah kamu tuh tetep masih kecil. Awas aja kalau Ayah tahu kamu mulai macem-macem, mikirin cowok apalagi pacaran. Ayah masukin pesantren baru tahu rasa."

Aran mendengus, mulai sebal dengan sikap overprotektif sang Ayah. "Dulu, waktu masih ada Kak Nadi, Ayah santai aja. Bahkan waktu Kak Nadi sering bolak-balik kamar Kak Zillo juga dibiarin."

"Itu kesalahan Ayah, makanya nggak mau Ayah ulangin. Ayah terlambat sadar kalau Nadi dan Zillo waktu itu udah remaja, dan masih menganggap mereka anak-anak yang memang sering main sama-sama. Makanya sekarang Ayah peringatin kamu dari awal biar kamu nggak kayak kakakmu yang—"

"Ayah!" Bunda menendang kaki Ayah terlampau keras di bawah meja, hingga yang bersangkutan meringis dengan ekspresi tanya.

Menjawab pertanyaan Ayah yang dilempar dengan isyarat, Bunda latas melirik Zillo yang sudah tidak bergerak sejak dua menit yang lalu, tepat saat Aran menyebutkan nama yang paling dihindari di rumah itu. Bukan apa-apa, mereka hanya tidak ingin suasana canggung macam ini terjadi. Tapi kali ini sudah terlanjur kan? Dan Ayah telat menyadarinya.

Ayah meringis, menyadari kesalahan yang baru saja dia buat. Padahal Ayah itu sosok yang berwibawa dan terkesan pendiam, tapi kalau sudah menyangkut putra-putrinya beliau memang terlampau cerewet untuk kategori bapak-bapak.

"Zillo..."

Kursi yang Zillo duduk berderit, bersamaan dengan penghuninya yang bangkit dari sana. "Aku udah selesai." Zillo sudah melangkah diiringi pandangan ketiga anggota keluarganya yang menatap dalam diam punggungnya yang menjauh. Begitu dia berdiri di anak tangga terbawah sebelum melanjutkan naik menuju kamarnya, Zillo berhenti, teringat sesuatu yang sebelumnya dipertanyakan Aran. "Kakak nggak punya bukunya, Dek, coba kamu pinjem ke Noel. Dari genre buku yang biasa dia baca sih kayaknya El punya."

Hembusan napas kasar terdengar begitu sosok Zillo benar-benar hilang dari pandangan. Bunda sudah menatap Ayah sangar karena kalimat suaminya kali ini sudah terlampau keterlaluan. Setelah berkali-kali diingatkan bahwa topik yang satu itu amat dihindari di rumah, Ayah justru mengungkitnya—tidak, sebenarnya sih Aran yang lebih dulu mengungkitnya.

Dan Aran sengaja melakukannya. Dia ingin tahu reaksi Zillo, dia ingin tahu bagaimana perkembangan kakaknya setelah empat tahun Nadi pergi. Dan lihat? Kakaknya tidak pernah benar-benar baik-baik saja.

"Ayah sih, kapan sih mulutnya nggak bocor? Kebiasaan banget deh!"

"Maaf, Bun... Ayah benar-benar lupa."

Diiringi suara kedua orang tuanya yang mulai berdebat, Aran baru memutar tubuhnya yang semula masih memandangi kepergian Zillo, menghela napas pendek dengan pikiran yang sibuk kembali sibuk berdebat dengan hatinya.

Dear, You... [TRILOGI "YOU" BOOK 3]Where stories live. Discover now