chapter 5

26 5 0
                                    

Setelah selesai dengan serangkaian pengobatan dan pengecekan, akupun bisa kembali berbaring dengan tenang di atas ranjangku. Ah,, benar-benar nyaman.

"Hey, jangan tidur lagi, gak baik tahu!" Peringat dokter Arkan, sambil melempar bantal kecil ke arahku, "ingat! Tidur di pagi hari adalah kebodohan, tidur di siang hari adalah kemuliaan akhlak, dan tidur di sore hari adalah kedunguan, itu yang dikatakan,,"

"Khowaat bin Jubai R.A" kataku, memotong ucapan dokter Arkan, "aku tahu" lanjutku, sambil melempar balik bantal kepadanya dengan kesal. Sedangkan bi Asih yang sedari tadi memperhatikan kami hanya tersenyum penuh arti.

"Kalau udah tahu, kenapa masih mau tidur di pagi hari?" Tanyanya, seraya terkekeh.

"Cuman baringan doang juga" jawabku, "lagiankan aku lagi sakit, jadi wajar ajakan kalau aku mau istirahat?" Tanyaku sambil cemberut, yang malah disambut tawa ringan dokter Arkan.

Manisnya.. Eh, Astaghfirullah, sadar Arisha, sadar!

"Kamu memang lagi sakit, tapi sakit kamu itu beda" ujar dokter Arkan, membuatku mengalihkan tatapan ke arahnya.

"Maksudnya?"

"Sakit kamu itu,," ucapnya terjeda, membuat aku dan bi Asih menjadi penasaran karenanya, "gak peka-peka sama perasaan saya" lanjutnya, yang membuatku melongo dan membuat bi Asih tertawa terbahak kerenanya.

"Ya Allah, mas Arkan ini bisa aja godain non Arishanya?" Tanya bi Asih, disela-sela tawanya sambil memegangi perutnya yang sakit sendiri. Dan apalagi katanya, mas? Sejak kapan bi Asih memanggil dokter Arkan dengan sebutan 'mas'?

"Bi, sejak kapan bibi manggil dokter Arkan dengan sebutan mas?" Tanyaku, yang membuat bi Asih langsung menghentikan tawanya dan menatap ke arahku dan dokter Arkan bergantian.

"Udah lama, pas pertama kali ketemu juga udah panggil mas" jawab bi Asih.

"Kok aku gak tahu?" Tanyaku yang kesekian kalinya.

"Emangnya kalau bibi mau panggil dokter Arkan dengan sebutan mas, harus izin dulu sama, non?" Tanya bi Asih, yang seketika membuatku kesal dengan pertanyaannya. Aku tahu bi Asih hanya bercanda, tapi kesannya ia seperti sedang mengejekku.

"Udah, mending sekarang kamu mandi, saya mau ajak kamu ke suatu tempat" ujar dokter Arkan, yang membuatku mengalihkan tatapan kepadanya.

"Kemana?" Tanyaku penasaran.

"Ada aja, rahasia!"

"Berdua?" Tanyaku penuh kewaspadaan.

"Enggak, bi Asih juga ikut" jawabnya, sambil terkekeh karena melihat ekspresiku.

Syukurlah. Yah, aku memang tidak terlalu suka saat harus berduaan dengan seorang pria, siapapun itu. Ah, mungkin lebih tepatnya tak nyaman, itu semua karena berawal dari didikan bi Asih yang selalu menasehati dan mengajariku tentang batasan-batasan antara pria dan wanita. Beliau selalu bilang, "sebagai seorang muslimah, kita harus tahu tentang jati diri kita. Kita tidak bisa sembarangan bertindak, tindakan kita harus sesuai dengan qur'an dan hadist. Karena sekecil apapun tindakan kita, semuanya akan dipertanggung jawabkan kelak di akhirat". Yah, itu salah satu yang beliau ajarkan kepadaku. Tapi tak jarang pula aku melanggar nasehatnya, meskipun itu semua di bawah alam sadaraku.

"Tapi, tumben dokter Arkan ajak aku sama bi Asih pergi?" Tanyaku penasaran.

"Jangan terlalu banyak mikir, saya ajak kamu cuman buat cari udara segar" jawabnya, "dan juga, selama setengah tahun ini tidak ada yang aneh denganmu, bisa dibilang kamu baik-baik saja. Karena itu, saya ingin ajak kamu pergi ke suatu tempat" ujar dokter Arkan, membuatku tertegun.

Yah benar, tidak ada yang aneh selama hampir setengah tahun ini. Bisa dibilang, tidak ada hal-hal buruk yang terjadi kepadaku, atau bahkan kepada orang-orang yang berada disekitarku. Aku bersyukur, tapi juga takut. Takut, jika sewaktu-waktu hal buruk kembali terjadi.

Beberapa bulan ini aku memang tidak merasakan apa-apa, bisa dibilang semuanya juga baik-baik saja. Tapi belakangan ini, rasa sakit kepalaku mulai muncul kembali. Dan aku takut semuanya kembali seperti dulu.

"Yaudah atuh, non cepet siap-siap, biar bibi yang siapin perlengkapan enon yang lain" ujar bi Asih, yang langsung kuangguki dan mulai berlalu ke kamar mandi meninggalkan bi Asih dan dokter Arkan berdua.

"Kalau gitu, saya tunggu di bawah ya, bi" pamit dokter Arkan.

***

Setelah siap, akupun segera turun untuk menemui dokter Arkan dan bi Asih yang sudah menungguku di depan rumah. Disana, aku melihat mang Jaja sedang membantu dokter Arkan untuk memasukkan perlengkapan aku dan bi Asih ke dalam bagasi mobil. Tidak terlalu banyak, tapi cukup untuk dua hari ke depan. Dengan santai, aku mengikuti langkah bi Asih untuk segera naik ke dalam mobil.

Selama di perjalanan, hanya di isi dengan keheningan. Aku yang asik membaca novel sambil bersandar di pundak bi Asih, dan dokter Arkan yang fokus menyetir di depan.

Sunyi, lebih baik dari pada suara bising yang memuakkan.

Setelah menghabiskan 1 jam lebih diperjalanan, akhirnya kami juga sampai di sebuah Vila milik keluarga dokter Arkan. Aku tahu, karena ini bukan pertama kalinya aku ke sini. Dulu, saat masih kecil aku juga pernah di ajak ke tempat ini oleh dokter Surya. Dan dengan alasan yang sama, 'untuk mencari udara segar'. Saat itu usiaku baru genap 10 tahun, dan bertemu dengan dokter Arkan yang berusia 20 tahun dan adik perempuannya yang baru berusia 5 tahun. Dan di tempat inilah, untuk pertama kalinya aku merasakan arti sebuah 'keluarga'.

"Kalian sudah sampai? Cepatlah, semuanya sudah menunggu" tanya seorang pria tua yang berdiri di depan pintu dengan pakaian kasualnya, dan tak lupa, senyum ramahnya.

"Assalamu'alaikum dokter Surya, lama tidak berjumpa, bagaimana kabar anda?" Tanyaku, sambil membalas senyum ramah beliau.

"Wa'alaikum salam, Alhamdulillah kabar baik, nak," jawabnya, "aku selalu dengar tentangmu dari putraku, dan aku sangat senang saat mendengar bahwa tidak ada yang aneh selama hampir setengah tahun ini padamu. Dan karena itulah, aku ingin bertemu dan mengajakmu untuk mencari udara segar" ujarnya, dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah beliau yang sudah tidak muda lagi.

"Maaf karena membuat anda repot hanya untuk bertemu dengan saya, dok" maafku.

"Tak apa jika itu untukmu, nak" jawabnya hangat, membuatku tersenyum tulus.

"Ya sudah, mari masuk, semuanya sudah menunggu kalian!" Ajak dokter Surya, lalu berjalan lebih dulu yang diikuti olehku dan bi Asih, lalu dokter Arkan dan pak Dadan yang membantu membawakan barang-barang kami.

Di sana, di Ruang makan yang berhadapan langsung dengan ruang tamu dan taman samping vila, aku bisa melihat sudah ada beberapa orang di sana. Dan aku tahu siapa mereka semua. Tante Sila, istri dari dokter Surya dan putrinya yang lebih muda 4 tahun dariku, Zahra. Dan juga kedua orang tua dari dokter Surya, omah Ela dan opah Wily. Dan ada juga adik dokter Surya, tante Astrid dan putrinya yang lebih tua 8 tahun dariku, kak Ayu beserta suaminya.

Jujur, ada perasaan hangat dan juga iri saat melihat mereka. Bagaimana bisa keluarga mereka begitu hangat, sedangkan aku sendiri tak pernah merasakan itu semua.

TBC

Senja yang Membawa CeritaWhere stories live. Discover now