chapter 3

31 5 0
                                    

Chapter sebelumnya

"Penasaran yah? Tapi sayang, aku tidak menerima tamu sembarangan!" Jawabku. Setelah puas dengan melihat wajah gugup Bella, akupun meninggalkan mereka yang terdiam.

Bella, jika kamu benar-benar sudah mengetahuinya, maka aku tidak akan pernah melepaskanmu

***

Setelah kejadian dua hari yang lalu, aku lebih sering menjauh dari sahabat-sahabatku dan lebih sering menghabiskan waktu sendirian di perpustakaan. Dan hari inipun, saat mereka mengajakku pulang bersama, aku terpaksa menolaknya.

"Arisha, pulang bareng, yuk!" ajak Rara saat aku sedang membereskan buku-bukuku.

"Kalian duluan aja deh, aku mau ke toko dulu" Jawabku, yang membuat mereka menjadi semakin murung.

"Beberapa hari ini kita gak pulang bareng, Sha" Seru Rika.

"Iya, kamu kenapa, sih? Kalau kita ada salah sama kamu, kita semua minta maaf" Timpal Raya seraya memegang pergelangan tanganku.

"Gak, kalian gak ada salah apa-apa. Justru aku yang salah udah bikin kalian khawatir," jawabku, lalu tersenyum untuk menenangkan mereka. "seharusnya aku yang minta maaf sama kalian" lanjutku.

"Terus, kamu kenapa belakangan ini gak bareng sama kita?" Tanya Gita, sambil cemberut.

"Ah, itu,, karena belakangan ini aku sesang ingin... sendiri dulu, maaf,," ah, betapa seringnya aku berbohong kepada kalian. Maaf, tapi belum saatnya kalian mengetahui semuanya.

"Ohh gitu, yaudah, kalau gitu kita duluan, yah" Pamit Rara yang langsung diikuti oleh yang lainnya.

Melihat kepergian mereka, aku kembali duduk di kursiku seraya mengusap wajah lelah. Sahabat, yah? Aku bahkan tidak pernah bermimpi bisa memiliki mereka.

***

Pukul 14:35 WIB

Sekolah sudah mulai sepi, hanya tinggal beberapa orang yang memiliki kegiatan yang masih berada di sekolah. Sedangkan aku? Aku hanya ingin menyendiri sembil menikmati indahnya senja di atas atap gedung sekolah. Tidak banyak orang yang tahu tentang tempat ini, selain tempatnya hampir di ujung, tempat ini juga lumayan tak nyaman karena suasananya yang lumayan sedikit mencekam. Bahkan aku juga tidak sengaja menemukannya saat ingin menenangkan diri.

Sambil meremas botol di tanganku, aku memandang ke arah senja yang jauh di sana. Dalam indahnya senja, aku kehilangan sesuatu yang berharga.

Waktu terus berlalu, siang berganti malam, dan malam berganti siang. Akupun masih bisa merasakan keindahan senja, tapi kenapa tidak bisa merasakan kehangatan yang dulu. Kapan semuanya berakhir?

***

"Arisha?!" Panggil seseorang di balik punggungku, yang sontak membuatku berbalik karenanya.

Ah, kak Rey? Sedang apa dia?

"Tempat yang indah, iyakan?" Tanyanya, seraya berjalan ke arahku, "seperti biasa, kamu selalu menemukan tempat yang baik" lanjutnya lagi.

"Kenapa?" Tanyaku pada akhirnya.

"Bagaimana kabarmu?" Tanyanya, yang malah mendapat senyum sinis dariku, "kamu baik-baik ajakan?" Tanyanya lagi, tidak menghiraukan tatapan tajam dariku.

"Kenapa? Apa kamu perduli denganku? Jika kamu memang perduli, kenapa baru sekarang? Kenapa tidak sejak dulu?" Tanyaku yang muak dengan kak Rey. Dan berbalik untuk pergi meninggalkannya.

"Arisha tunggu!" Hadangnya dengan mencekal pergelangan tanganku.

"Ada apa lagi?" Tanyaku pada akhirnya.

"Kumohon!?" Pintanya dengan tatapan sendu.

"Jangan melihatku seperti itu! Aku tidak butuh belas kasih kakak!" Ujarku yang langsung menghempaskan tangannya dengan kasar, "kenapa? Bukannya kakak tidak perduli padaku? Lalu apa sekarang?" Tanyaku marah, "tetaplah bertingkah seperti orang asing!"Ujarku, kemudian meninggalkannya sendiri di atap.

Kak, hanya kamu yang kumiliki di sini. Tapi karena sikapmu yang selama ini kepadaku, aku merasa tidak ada bedanya kamu dan mereka.

***

Pukul 19: 22 WIB

BRAAK

"Astaghfirullahal'adzim! Bi Asih! Ngagetin aja, sih!?" Seruku kaget saat tiba-tiba pintu kamar yang di tempati bi Asih terbuka secara kasar.

"Allahuakbar! Justru non Arisha yang nakutin bibi! Malam-malam kok baru pulang?" Tanya bi Asih kesal, "Masyaallah, non! Perempuan itu gak baik pulang malem-malem, pamali!" Lanjutnya mulai memarahiku, "nanti gimana kalau masuk angin?" tanyanya lagi.

"Ya Allah, bi, kalau masuk angin tinggal kerokan, ribet banget?!" Jawabku asal sambil berlalu ke dapur untuk mengambil minum, yang malah membuat bi Asih tambah kesal.

"Ihh, si enon! Bukan masuk angin yang itu atuh, non!" Seru bi Asih sambil terus mengikutiku dari belakang.

"Ihh si bibi, iya deh iya, gak lagi, maaf!?" Timpalku, seraya terkekeh kecil.

"Kenapa baru pulang, non? Enon dari mana aja?" Tanya bi Asih yang masih dalam mode khawatir, sambil mengambil alih tas yang sedari tadi kusampirkan di pundakku.

"Bibi gak usah khawatir, tadi aku ada urusan sebentar di sekolah, terus mampir dulu ke caffe, langsung deh ke toko buku." Jawabku tidak sepenuhnya bohong.

"Ohh gitu,," timpalnya, "terus, sholat maghrib sama isyanya di mana?" Tanya bi Asih lagi.

"Udah bi, tenang aja" jawabku yang sudah bosan menjawab pertanyaannya.

"Ya udah, non mandi dulu biar bibi panasin dulu makan malamnya." Seru bi Asih, kemudian berlalu menuju dapur.

Bi Asih adalah salah satu asisten rumah tangga di rumahku yang dulu. Beliau selalu mengikuti kemanapun aku pergi. Bi Asih juga adalah orang yang menjagaku dan merawatku selama ini. Bisa dibilang, bi Asih sudah seperti ibu keduaku.

"Non, tadi dokter Arkan datang buat kasih obat yang baru, bibi udah simpan obatnya deket nakas" ujar bi Asih dari arah dapur.

Bi Asih, hanya bi Asih yang tidak bisa kulukai, itu yang dibilang dokter Arkan. Tapi kenapa hanya bi Asih?

TBC

Bantu dukung cerita ini dengan vote dan komen, yuk..

Terimakasih🤗

Senja yang Membawa CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang