"Oke, Pak!"

Setelah menaruh motor di parkiran, kami segera berlari ke arah pintu masuk.

Zleb ....

Aku dan Muhzeo sama-sama berhenti melangkah. Pandangan kami saling bertemu dengan perasaan yang sangat tak mengenakkan.

"Lo ngerasain sesuatu?" Pertanyaan yang kami lontarkan itu hampir sama.

"Euh, kaya aura mistis?" Muhzeo mencoba untuk memastikan.

Aku mengangguk perlahan. Baru kali ini aku merasakan keanehan lagi. Sekolah ini tiba-tiba saja mengeluarkan aura yang berbeda dari biasanya.

"Ze, ini gua enggak salah gedung lagi, 'kan? Gua enggak mau, loh!" Tubuhku langsung mendekat ke arah Muhzeo. Tanganku telah meremas ujung jaket yang dipakainya sembari menatap sekeliling dengan perasaan was-was.

"Kayaknya enggak, deh. Ini tuh seperti ada sesuatu yang baru aja masuk. Ya, hal itu buruk. Makanya aura sekolah jadi berbeda," ungkap Muhzeo.

"WAH, BAGUS, YA, KALIAN TELAT!" Suara killer dari sang guru piket berhasil membuat kami berdua terlonjak kaget. Terlihat ia memukul-mukulkan penggaris panjang ke tangannya.

Cengiran kami hanya bisa mengembang sembari menatap satu sama lain. "Bukannya langsung masuk malah pacaran di sini, ya! Kalian mau hukuman apa, hah?"  Bentakannya membuat anak dari kelas terdekat menoleh ke arah jendela.

"Ih, Ibu, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan, loh, Bu! Jangan shuudzon begitu, ah." Aku terkekeh sembari menyaliminya.

"Pinter saja ngelesnya, ya."

"Bu, saya boleh tanya tidak?" Aku pun mendekat ke arahnya.

Bu Yery—guru piket hari ini—langsung menautkan alisnya karena bingung.

"Ibu, merasakan aura berbeda, tidak?" Pertanyaanku itu langsung membuat beliau terdiam sejenak.

Sepersekian detik lamanya, ia mengangguk tanda setuju. "Kalian juga merasakan? Ibu pikir, ibu lagi sakit atau enggak enak badan. Ternyata bukan karena itu, ya?" Ia menatap kami serius.

"Nah, makanya itu, Bu ... saya belum ke kelas karena ingin coba cari tahu apa yang menyebabkan hadirnya aura gelap di sekolah ini," terangku padanya.

Ia menggerakkan rotannya di udara. "Halah, bilang saja kamu enggak mau masuk kelas, 'kan? Alasanmu basi, cantik!"

Aku mengembuskan napas yang begitu berat. "Ya sudah, deh, kalau ibu tidak percaya, enggak apa-apa, tetapi saya dan teman-teman akan beruasaha mengungkapkan apa yang terjadi, Bu. Assalamualaikum." Aku dan Muhzeo langsung lari menuju ke kelas.

"Hei!" Suara menggelegar milik Bu Yery mampu membuat kepala kami spontan menoleh kembali.

"Iya, Bu?" Kami sudah deg-degan setengah mati. Takut bilamana mendapatkan hukuman.

"Kalau sudah tahu, beri tahu ibu, ya?" Bu Yery terkekeh.

Aku dan Muhzeo bernapas lega. "Siap, Bu!" Kedua jempol kami mengarah padanya.

Setelah sampai di depan kelas, betapa beruntungnya kami saat guru yang bertugas mengajar belum masuk ke kelas.

"E–eh! Dari mana aja lo berdua?" Paul dan yang lainnya menghampiri tempat duduk kami.

"Gua telat. Enggak ada yang bangunin," sahutku.

Elsa tertawa sebentar. "O–oh, jadi lo nunggu dia?" Ia sedikit menyenggol bahu Muhzeo. "Bucin!"

"Heh, sembarangan!" Muhzeo langsung meneguk air mineral yang ada di tasnya.

"Assalamualaikum." Suara dari guru yang baru saja datang membuat semua yang ada di dalam kelas menoleh.

Bisikan Mereka ✔Where stories live. Discover now