MELATI

1.9K 302 5
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Rey berlari-lari kecil di halaman belakang rumahnya sambil tertawa riang.

Sebelah tangannya menggenggam mainan serupa kincir angin, baling-balingnya berputar laju seiring Rey mempercepat langkah kaki. Aku duduk di atas sepetak rumput sintetis, berseberangan dengan rumah tua tak terawat yang tampak lebih menyeramkan di malam hari. Udara ditingkahi aroma apek bercampur melati. Mau tak mau aku jadi teringat ucapan Rey kala itu, tentang sosok gelap yang katanya berdiri di belakang rumah. Ditambah mimpi buruk kemarin, perasaan was-was di benakku kini semakin menjadi.

Suara ayah yang begitu menderita masih terngiang di kepalaku.

"Kak Ela, lihat! Rey bisa berdiri di sini!"

Begitu aku memalingkan wajah, jantungku terasa teperosok jauh ke dalam perut. Rey sedang berdiri di atas tembok yang membatasi rumah ini dengan tanah milik tetangga. Bagaimana ia bisa di atas sana? Aku pun tak tahu.

Aku terlalu panik untuk berpikir.

"Rey! Astaga! Kamu jangan gerak! Tunggu kak Ela naik ke sana!" pekikku sembari mencari tangga atau apapun yang bisa kugunakan untuk meraihnya. Kalau Rey jatuh...kalau sampai dia terluka...

Shit!

Tidak ada benda apapun di sekitar sini yang dapat kujadikan tangga darurat. Aku kembali berpaling pada Rey, sekarang dia malah duduk santai sambil mengayun-ayunkan kincir anginnya, bahagia. Kurasakan darah mulai terkuras dari wajahku.

"Hei!"

Sebuah suara asing menyela kegelisahanku entah dari mana, mengurungkan niatku untuk berteriak memanggil pak Wayan. Aku mencari-cari sekitar, tetapi hanya ada kami berdua di taman belakang ini.

"Loha!"

Suara itu terdengar lagi. Kali ini aku langsung tahu dari mana asalnya. Aku mendongak ke rumah tetangga dimana aku melihat siluet seseorang kemarin malam. Berdiri di atas sana adalah seorang cowok yang mengenakan topi dengan posisi di balik, sepertinya dia seusiaku. Cowok itu sedang tersenyum. Kedua sikunya bersandar pada pagar balkon yang bagian bawahnya ditumbuhi dedaunan yang menjuntai. Sebuah kamera terselip di antara genggamannya.

"Gak usah panik, Rey udah biasa manjatin tembok itu." Ucapnya terdengar santai.

"Heh! Kalo dia jatuh gimana?!" seruku dengan suara terjepit namun melengking. Kalau Rey terjatuh dari tembok setinggi lebih dari dua meter, sudah pasti orangtuanya akan memenggal kepalaku!

"Lo babysitter baru, ya?" tanyanya dengan kepala yang dimiringkan. "Gue belum pernah liat muka lo di sini."

"Iya! Gue orang baru! Lo bisa nolongin dia turun gak?! Kalau nggak gue manggil pak Wayan aja nih!"

Cowok itu berdecak dengan mimik gemas. "Santai aja, non, Rey udah biasa manjat tembok itu, dia juga bisa turun sendiri. Ya gak, Rey?" ia mengangguk pada bocah itu, dan tak kusangka Rey membalas anggukannya.

THE CHOSEN (TAMAT)Where stories live. Discover now