BEBAN

2.3K 333 65
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Lama aku duduk termenung di sebuah taman yang sepi sebelum senja tiba. Berusaha menemukan solusi yang tak kunjung datang.

Hari ini hari minggu. Sudah seharian ini aku berjalan dari satu toko ke toko yang lainnya, menanyakan berbagai lowongan yang mungkin tersedia. Sayangnya mereka tidak mau menerima pekerja yang masih berstatus seorang pelajar. Dunia memang tak pernah adil. Aku tahu aku ini minim pengalaman, tapi setidaknya aku bisa belajar bagaimana cara bekerja yang baik dan benar.

Kupejamkan mata dan menyandarkan bebanku sejenak di belakang.

Ujian kenaikan kelas nyaris di depan mata. Dan aku masih belum bisa menemukan cara untuk mendapatkan uang dalam sekejap. Cepat atau lambat ibu pasti akan tahu masalah ini. Kulempar sebuah kerikil ke atas permukaan danau yang tenang. Mencoba melampiaskan emosi yang rasanya mulai menumpuk. Saat batu itu tenggelam, sebuah pemikiran gila mulai merasukiku.

Aku bisa menjual diri.

Mungkin saja aku dapat mengumpulkan uang yang kubutuhkan hanya dalam satu jentikan jari. Tak hanya uang sekolah, aku juga bisa memberi ibu uang belanja dengan memasang tarif yang tinggi. Meski ibu dan ayah pasti kecewa, malu, ataupun marah. Tapi kurasa itu tidak akan terjadi jika mereka tidak tahu. Tapi bagaimana jika ada seseorang yang mengenali diriku tahu?

Seakan menjawab kegalauanku, seorang lelaki paruh baya lewat di depanku dengan ditemani oleh seorang wanita berpakaian minim yang tampaknya seusia denganku. Sebelah tangan lelaki itu melingkar dipinggang ramping si wanita yang bergelayut manja. Bulu kudukku merinding seketika.

Kutelan kembali pemikiran gila tentang menjual diri.

Sesuatu di dalam tasku bergetar. Samar-samar terdengar suara nada dering dari hpku. Aku merogoh isi tas dan langsung menemukan layarnya yang sesekali berkedip. Nama ibu tertera sebagai si penelpon.

"Halo, bu?"

"Ela, kamu dimana?" suara ibu terdengar lirih.

"Lagi di taman bu, bentar lagi Ela pulang, ada apa?"

Ada jeda beberapa detik. "Ibu gak enak badan. Perut ibu kayaknya makin kembung, La."

Sejak dua bulan yang lalu ibu sempat mengeluh soal penyakit maaghnya yang sering kambuh. Ibu juga sering merasa mual setiap kali beliau mau makan. Selama ini ibu hanya minum obat lambung dosis ringan yang kubeli dari apotek. Seharusnya sakit lambungnya itu sudah mereda.

"Ibu istirahat aja dulu, Ela pulang sekarang ya."
Kemudian aku memutuskan sambungan dan beranjak dari kursi taman yang membeku.

***

Sesampainya di rumah, aku bergegas menghampiri ibu yang sedang berbaring di kamar.

Ranjang yang luas dan ibu selalu berbaring di sisi kiri. Sisi kanan, tempat dimana ayah biasa istirahat, dibiarkan kosong dan dingin. Lampu yang menyala kuning pada langit-langit kamar hanya menambah kesan pilu pada foto keluarga kami.

THE CHOSEN (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang