Chapter 4

24 6 0
                                    

Seberkas sinar mentari menembus ke dalam celah-celah tirai kamarku, membuatku terpaksa harus terbangun karena tidak nyaman dengan pedaran cahayanya yang mulai membiasi mataku. Pagi tadi, selepas sholat subuh dan minum obat, aku kembali tidur karena merasa kepalaku sangat sakit. Dan sekarang, setelah aku terbangun matahari sudah terbit. Ah, sepertinya aku harus meminta izin untuk tidak masuk sekolah hari ini.

Setelah memastikan kepalaku tidak terlalu sakit lagi, aku mencoba mencari handphone untuk menelpon Rara.

Pukul 09:00 WIB, dan 15 panggilan tak terjawab dari teman-temanku.

Aku benar-benar sudah kesiangan, semoga saja Rara bisa menjawab telponku.

Tut,,tut,,tut

"Hallo, Arisha kamu di mana, sih? Dari tadi kita semua udah coba ngehubungin kamu tapi gak diangkat. Kamu di mana? Kenapa belum ke sekolah? Kamu baik-baik ajakan?" Mendengar pertanyaan beruntun dari Rara, reflek membuatku menjauhkan ponsel dari telinga karena suara cemprengnya.

"Assalamu'alaikum, Ra!?" Salamku.

"Ishh,, Wa'alaikumsalam. Kamu di mana, sih?" Jawabnya, dengan sedikit kesal.

"Aku ada di rumah," jawabku, "oh yah, tolong izinin aku buat hari ini ya, aku gak bisa masuk, lagi kurang sehat!?" Pintaku pada Rara.

"Kamu sakit? Sekarang udah baikan belum? Parah gak sakitnya?" Tanya Rara yang membuatku terkekeh karena mendengar dia yang khawatir, "ihh, kok malah ketawa, sih?" Tanyanya kesal.

"Gak, aku gak papa, kok" jawabku, "cuman tadi pas bangun lagi udah siang" lanjutku.

"Makannya neng, kalau udah subuh itu jangan tidur lagi, kebiasaan!" Seru seseorang menimpali, yang bisa kupastikan itu suara Gita.

"Ihh, Gita!" Bisa ku dengar Rara sedang beradu argumen dengan Gita di seberang sana.

"Hey, emang kalian gak masuk?" Tanyaku mencoba menghentikan adu mulut mereka.

"Masuk, tapi bu Tinanya lagi keluar dulu," jawab seseorang lagi di seberang sana, yang bisa kupastikan kali ini adalah Raya, "hari ini kita dikasih tugas ngelukis dan sekarang kita lagi ada di ruang seni. Kamu nanti kalau udah masuk, langsung ikut susulan ya, biar aku yang antar ke bu Tinanya" lanjutnya lagi.

Ah, Raya memang yang paling dewasa diantara kami. Dia yang mudah menyelesaikan masalah seberat apapun itu. Dia juga yang selama ini membantuku menghadang teman-teman kak Nabil.

"Sha?" Tanya Raya yang belum mendapat respon dariku.

"Ah, iy,,," ucapku terpotong, karena panggilan bi Asih dari balik pintu, "ada apa bi?" Tanyaku, sambil menjauhkan telpon dari telinga.

"Enon udah bangun?" Tanya bi Asih, "dokter Arkan udah ada di bawah, mau bibi panggilin biar langsung ke sini?" Tanya bi Asih lagi, yang membuatku bingung.

"Dokter Arkan? Emang siapa yang panggil dia ke sini?" Tanyaku tak paham.

"Bibi!" Jawab bi Asih, "tadi pas mau bangunin enon, bibi liat botol obatnya kebuka dan badan enon juga panas, jadi bibi panggil dokter Arkan buat ke sini" lanjut bi Asih.

"Kok dipanggil ke sini, sih bi? Dokter Arkan pasti sibuk" Tanyaku.

"Ya mau gimana lagi? Dokter Arkannya udah di sini" jawab bi Asih sambil merenggut.

"Ya udah, biar aku yang ke bawah nemuin dia" putusku.

"Gak usah, sayanya juga udah ada di sini" ujar seorang pria tampan yang berada di balik punggung bi Asih.

Dokter Arkan adalah putra dari dokter pribadiku, dokter Surya. Namun setelah dokter Surya pindah tugas ke Singapura, beliau mengalihkan tugasnya pada putranya. Dulu, sebelum dokter Surya berangkat ke Singapur, aku meminta padanya agar dokter perempuan saja yang merawatku, namun dokter Surya menolaknya mentah-mentah. Beliau bilang, putranya sudah sangat tahu tentang perkembanganku. karena sejak dulu dokter Arkan selalu mengikuti dokter Surya saat beliau akan memeriksa keadaanku atau bahkan membantuku terapi.

"Emangnya gak papa ngerepotin doter pagi-pagi gini?" Tanyaku, saat dokter Arkan duduk di kusri yang ia tarik mendekat ke arah ranjangku.

"Ishh, sayakan udah bilang jangan panggil saya dokter, panggil saya kakak" pinta dokter Arkan, mengabaikan pertanyaanku.

"Sejak kapan dokter jadi kakak saya?" Tanyaku mulai menjailinya.

"Emmhh,, kalau gitu, gimana kalau panggil saya mas?" Eh? Hah! dokter Arkan selalu seperti ini, dia selalu saja bisa membalas menjahiliku. Melihatku yang kesal karena ucapannya, ia hanya terkekeh seraya tersenyum mengejekku. "Jangan cemberut gitu dong, jadi makin gemes sayanya!" Ujarnya, yang langsung mendapat tatapan tajam dariku karena tangan jahilnya yang sudah menjulur untuk menarik hidungku.

"Ishh, jangan sentuh-sentuh, bukan muhrim!" Geramku, "inget ya! Enggak ada kontak fisik selain membantu pengobatanku, itu perjanjian kita bertiga. Jika ada pelanggaran, maka kartu merah yang akan bertindak. Dan akanku pastikan dokter perempuan yang akan merawatku, aku tidak perduli jika harus mulai kembali dari nol!" Sergahku, lalu meringis saat rasa sakit kembali meyerang kepalaku.

"Iya, iya, maaf khilaf"

"Khilaf kok kebiasaan?" Tanyaku kesal, mengabaikan wajah bersalahnya.

"Arisha, kamu lagi teleponan?" Tanya dokter Arkan menyadarkanku.

Gawat, bisa bahaya kalau mereka dengar pembicaraanku dan dokter Arkan. Dengan gelisah aku kembali menatap layar handphoneku yang masih tertera nama panggilan dari Rara, yang artinya mereka bisa saja mendengar percakapanku dengan dokter Arkan tadi.

Dengan perasaan was-was, aku kembali mendekatkan hanphoneku ke telinga. Dan berharap kalau teman-temanku tidak mendengarkannya, namun harapanku kandas seketika saat mendengar pertanyaan beruntun yang tak berujung dari teman-temanku. Dengan mendesah pelan, akupun langsung mengucap salam dan menutup telepon secara sepihak tanpa menjawab satupun pertanyaan dari mereka. Biarkan saja mereka penasaran setengah mati, aku sedang tidak ingin meladeni mereka.

"Kenapa?" Tanya dokter Arkan saat melihatku yang mendesah pelan setelah menutup teleponku.

"Tidak ada! Bisa kita mulai sekarang?" Jawab dan tanyaku pada dokter Arkan.

TBC

Jangan lupa vote dan komennya

Terimakasih🤗

Senja yang Membawa CeritaWhere stories live. Discover now