Hari Pertama

44K 175 8
                                    

Hari pertama, Shafiyyah usia 2 hari.

"Lahir normal ya? Di mana lahirannya?" tanya dukun bayi itu dengan nada yang ketus.

"Di rumah sakit ibu dan anak C, sama Dokter L," jawabku sedikit tersenyum, mencoba tetap ramah.

"Kenapa gak di bidan aja? Habis berapa?" cecarnya tanpa menatap dengan tangan sibuk membebatkan kain di perutku.

"Habis sepuluh juta," jawabku.

"Tuh, kan, mahal! Kenapa lahiran di sana? Coba ke bidan, cuma ratusan ribu, gak sampai sejuta!"

Aku terkaget, mulai malas menjawab, tapi masih mencoba ramah. Orang ini akan datang dua kali sehari untuk memandikan anak dan mengurusku selama 40 hari.

"Oh, soalnya kalau di bidan gak dapat reimburse dari kantor suami, kalau di rumah sakit dapat."

"Oh," jawabnya singkat. Lalu melanjutkan omelannya pada dokter dengan tanpa memedulikan apakah aku mendengarkannya atau tidak. "Dokter dan rumah sakit zaman sekarang itu kerjaannya cuma nyari duit! Di kota kita yang kecil saja, normal bisa sampai segitu. Cesar bisa sampai 25 jutaan. Pintar banget mereka membodoh-bodohi masyarakat. Bilang sakit inilah, sakit itulah. Ujung-ujungnya kasih resep mahal-mahal, buat tindakan-tindakan medis yang tidak perlu dan merugikan pasien."

Aku tertegun, masih tidak memahami kondisi kenapa orang ini marah-marah kepadaku yang bukan dokter maupun petugas rumah sakit.

"Kemarin lahiran, usia berapa minggu? Induksi gak?"

"Empat puluh minggu, lebih enam hari, induksi," jawabku mulai ogah-ogahan. Ya, aku harus induksi karena air ketuban sudah keruh dan terbaca sangat sedikit di USG. Untungnya masih bisa dilahirkan secara normal.

"Tuh, kan! Padahal masih bisa, lho, ditunggu sampai 42 minggu gak perlu diinduksi dulu."

Kepalaku mulai pening. Ya Allah, semua informasi yang dia berikan itu sudah kuketahui, dan semua pilihan yang diambil telah dipikirkan bersama suami dengan masak-masak. Kan, tidak harus dikasih tahu ke dukun yang entah siapa ini?! Sejenak, aku ikut emosi.

Beruntung, proses pembebatan bengkung dan pembaluran rempah-rempah entah apa itu telah usai. Si dukun bayi yang entah siapa namanya itu bergegas pulang, katanya masih banyak bayi-bayi lain yang dia dukuni setelah aku.

"Besok sebelum saya datang mandi dulu, pakai daster sajalah gak usah baju-baju yang bagus kayak gini. Baru lahiran juga, memangnya mau kemana, sih?!" Aku terdiam saja mendengarkan ocehannya, kemudian secara tak sadar ikut memperhatikan baju menyusuiku yang memang didesain kekinian supaya tetap bisa menemui tamu dan tidak repot menyusui.

Dukun bayi itu akhirnya pulang juga. Aku menghela napas panjang, melihat ke arah suamiku yang sedari tadi diam menggendong Shafiyyah dengan hati-hati. "Masih mau pakai dukun bayi, Mas? Kenapa, ya, dia itu?" Tanganku meraih Shafiyyah dengan hati-hati, memperhatikan pipi gemasnya yang merah.

"Gak tau juga, Dik. Mungkin pekerjaannya berkurang karena orang lebih percaya dokter, maklumi saja."

"Kalau gak disuruh Mamah, gak usah, deh, panggil-panggil dukun bayi macam itu. Ya Allah, membedong Shafiyyahnya kencang sekali kulihat tadi," ujarku sembari melepaskan bedong Shafiyyah yang keterlaluan kencangnya. Terlihat sesak napaslah anak itu rasanya.

Suamiku mendekat dan mencium pipiku, "Kamu baunya aneh, Dik," ujarnya sambil menutup hidung sok kebauan.

"Ih! Kan, ini gara-gara rempah-rempah yang dia kasih, apa aku mandi lagi aja, ya?"

"Hihi, gak usah. Mas tetap suka kok."

"Gombal!" sahutku sembari tersenyum-senyum.

- - - - -

Hai hai hai, saya sedang belajar membuat cerita bersambung.

Mohon kritik dan sarannya yaa

Saya akan sangat senang jika ada yang mau klik tombol vote, terima kasih banyak 😘

Dukun BayiWhere stories live. Discover now