Natasha mengangguk lagi.

"Terima kasih," ujarnya tanpa suara dan Bian hanya mengangguk.

Setelah Bian pergi, Natasha memilih memainkan ponselnya. Dia mencari berita yang mungkin terlewat olehnya. Sambil membuka laman berita, dia juga memikirkan bagaimana cara mencari Maura.

'Maura sangat pandai bersembunyi. Kalau aku jadi dia, dimana aku akan bersembunyi?' Pikir Natasha.

Terlarut dalam pemikirannya sampai dia tidak menyadari kalau waktu sudah berubah dari menit menjadi jam. Natasha mulai merasakan badannya pegal akibat di peluk erat oleh Arman dan dia sejak tadi masih tetap duduk di pangkuan pria itu.

'Apa dia tidak akan kesemutan nanti?' Tanya Natasha.

Beberapa menit kemudian, tarikan napas Arman membuat Natasha menunduk. Disana Arman sedang berusaha membuka matanya.

'Imut sekali!' Batin Natasha.

Arman menguap kecil dan mengusap sudut matanya dengan sebelah tangannya.

"Jangan digosok, Gio! Nanti matamu sakit," ujar Natasha.

Arman mengangguk. Namun, tangannya kembali terarah ke matanya, sampai-sampai Natasha menahan tangan pria itu. Setelah yakin Arman sudah bangun, Natasha berdiri dan mengambil segelas air. Dia memberikan air itu pada Arman dan tersenyum kecil.

"Sudah?"

Arman mengangguk.

"Bian meninggalkan amplop itu tadi," ujar Natasha sambil menunjuk amplop cokelat di atas meja kerja Arman.

"Jangan berdiri dulu! Aku yakin kakimu kesemutan,"

Arman terkekeh kecil. Dia mengangguk membenarkan ucapan kekasihnya.

"Aku ke depan dulu. Takut ada dokumen di depan yang diserahkan oleh salah satu divisi kita,"

Arman kembali mengangguk. Dengan wajah yang masih sayu, Arman berdiri dan berjalan ke kamar mandinya. Dia membasuh wajahnya dan kembali untuk bekerja.

..........

"Hai, Sen," sapa Arman saat menemui Arsen di rumah sakit.

Sejak Ardan masuk ke rumah sakit itu, sejak saat itu pula Arsen menolak meninggalkan rumah sakit itu. Dia berada di sana setiap hari dan memastikan keadaan Ardan benar-benar berada dalam pengawasannya.

"Kusut kak," ujar Arsen bercanda.

Arman mengangguk. Siapa juga yang tidak akan kusut kalau keadaan kakak mereka semakin memprihatinkan?

"Dia masih tidak mau makan?"

Arsen mengangguk. "Alesha sudah membujuknya tadi,"

Arsen dan Arman berjalan berdampingan menuju ke kamar sang kakak di depan kamar sudah ada Jim yang menunggu.

"Sudah ada kabar dari Maura?" Tanya Arman.

"Tidak ada. Maaf tuan, kami masih belum bisa menemukan nona Maura,"

Arman menghela berat. Badan kakaknya semakin hari semakin kurus. Sedangkan Amanda sudah dikirim paksa ke Jerman untuk berobat. Ancaman Arman dan Arsen benar-benar ampuh untuk paman mereka sekalipun. Alesha membantu mencari Maura bersama dengan kekasihnya, Keannu.

"Cepat temukan dia Jim. Aku tidak percaya dia bisa menghilang tanpa jejak, terlebih Cavalier sekeluarga sudah penjarakan..." ujar Arman.

Jim mengangguk. Mereka terlarut dalam pemikiran mereka sendiri. Suara pintu terbuka membuat ketiga orang itu terkejut dan menoleh. Arman langsung mendekat ke arah pintu.

"Kak, kenapa bangun?" Tanya Arman

"Maura mana?"

Arman dan Arsen saling berpandangan satu sama lain. Ingin bilang belum ditemukan tapi, takut kakak mereka akan berpindah rumah sakit menjadi ke rumah sakit jiwa nantinya.

"Astaga! Kak! Itu tangan berdarah!" Arsen berujar.

Arsen langsung mengeluarkan sapu tangannya dan mengikatnya di punggung tangan Ardan yang tadinya tertancap jarum infus.

"Aku ke ruanganku dulu sebentar," ujar Arsen.

Arman mendumal dalam hati saat sang kakak kini menatapnya dengan penuh tanya dan meminta penjelasan.

"Maura mana?" Tanya Ardan lagi.

"I..itu..."

Terselamatkan oleh suara ponsel Jim, Arman menghembuskan napas lega. Dia menatap ke arah Jim yang sedang menerima panggilan di ponselnya.

"Nona Maura ada di bandara saat ini, tuan," ucapan itu membuat Ardan langsung melebarkan matanya.

"Kak! Kakak mau kemana? Astaga!" Ujar Arman terkejut.

Arman mengejar Ardan yang berjalan terseok. Sebenarnya, dia tahu kemana kakaknya akan pergi. Hanya saja, demi Tuhan! Kakaknya bahkan tidak bisa berdiri dengan tegak dan dia berniat menjemput Maura?!

"Kak!"

"Minggir!"

"Nanti dulu. Kakak yakin mau menjemput Maura cuma pakai baju rumah sakit? Yang ada Maura nggak mau diajak pulang nanti!"

Arman melihat sang kakak mengangguk kecil. Arman memapah kakaknya kembali ke kamar rawat. Dia memberi tanda pada Jim untuk memanggil Arsen.

"Tunggu sebentar! Aku ambilin baju kakak dulu...," ujar Arman setelah Ardan kembali duduk di atas ranjang yang tiga bulan terakhir dia tempati.

Arman beranjak ke lemari kecil disana. Dia mengambil kemeja biru milik kakaknya dan juga celana bahan. Bersamaan dengan itu, Arsen masuk dengan kereta berisi beberapa peralatan. Arsen melepaskan sapu tangannya dan membersihkan luka Ardan dengan terliti. Dia menutup luka itu dengan plester luka. Lalu, dia menyuntikan sesuatu untuk kakaknya.

"Dua jam. Kalau lebih dari itu, aku nggak jamin kakak nggak akan pingsan," ujar Arsen.

"Dua jam?" Ardan bertanya dengan tidak yakin.

"Nih bajunya, sana buruan ganti baju. Helikopter bakal turun di atas bentar lagi," Arman menyerahkan baju yang dia pilihkan.

Ardan mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada dirinya dan Arsen. Arman hanya menatap sang kakak yang memasuki kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Senyum lega terkembang di bibir Arsen dan juga dirinya saat sang kakak nampak lebih hidup dan bersemangat untuk menjemput perempuan kesayangan sang kakak itu.

"Akhirnya, setelah ini aku bisa tidur nyenyak," ujar Arman.

"Benar, setelah ini. Tidak akan ada masalah lagi. Aku bisa tidur dengan nyaman di rumah. Aku sudah muak tidur di rumah sakit,"

Arman dan Arsen saling bertatapan sebelum terkekeh bersama.

"Cafe?"

"Boleh. Mari kita makan yang banyak,"

"Pakai uangmu ya kak?"

"Hn,"

"Yes! Lumayan penghematan,"

"Dasar pelit! Uang di tabunganmu dengan milikku saja lebih banyak punyamu!"

"Ayolah, kak! Itu untuk tabungan masa depan,"

"Seperti kau akan menikah saja!"

Arman merasakan bahunya terasa sedikit linu. Dia menoleh ke arah Arsen yang memasang wajah tanpa dosa, padahal anak itu habis meninju bahunya dengan lumayan keras.

"Aku akan menikah!"

"Iya. Tapi, entah kapan. Sampai saat ini saja belum ada gadis yang menyandang status kekasihmu! Ah! Atau jangan-jangan..."

"Jangan-jangan apa?"

"Jangan-jangan kamu belum punya pacar karena lebih suka bermain dengan "You know what I mean" setiap malam?"

Lagi, Arsen meninju bahunya.

"Sialan kau, kak! Mana mau aku "main" dengan mereka. Aku lebih dari tahu tentang penyakit daripada kau!"

[DS#2] Between Me, You and WorkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang