LAMBANG ITU.

191 14 2
                                    

Adal dan Edel bergegas menuju sumber suara, tempat keramaian tersebut, mengambil arah langkah dengan bergegas, berjalan dengan tak beraturan dan hampir setengah berlari.

“Kamu tahu apa yang terjadi si sana?” tanya Edel.

Adal mengangkat bahu menjawab singkat “Entalah”.

Hingar bingar keramaian semakin lama semakin padat, hanya beberapa meter lagi mereka  berdua akan benar benar sampai ke tempat tersebut.

“Ampunilah kami”.

Mohon wanita  yang masih muda itu, umurnya berkisar antara 25 atau mungkin 2 tahun lebih tua lagi, mengenakan pakaian blush putih, dan rok hitam kecoklatan, yang sangat lekat dan begitu cocok dengan bola mata nya yang coklat muda.
Namun, ada yang tak biasa dari penampilan perempuan ini.

Perempuan ini mengatakan sejenis “Ban” di tangan kanan nya, berlambangkan matahari atau bahkan bulat an hitam sekali pun.
tepat di sebelahnya, terlihat pria yang berusia tak begitu jauh dengan wanita itu, mengenakan stelan celana coklat krem dan kemeja putih agak bercorak abu abu, bermata coklat muda juga, dan berambut hitam kecoklatan coklatan, tak begitu jauh berbeda dengan wanita itu, pria ini mengenakan gelangan “Ban” yang melingkari lengan atas nya dan di tambah timah panas yang bersarang dan darah segar yang bercucuran di betis kanan nya.

“Jangan bunuh suami ku, tuan” perempuan itu menangis.

Ternyata, penyebab keramaian ini adalah ulah dari para oknum polisi dari kota central, asal tahu saja, polisi di kota centra ini kerap sekali berperangai semena mena terhadap orang, terutama kepada orang orang yang bergelang kan lambang hitam di bagian lengan nya.

Adal menerobos keramaian, polisi itu mengangkat tangan nya, bersiap memukuli pria suami dari wanita tersebut, dengan sigap adal menahan tangan nya.

“sudah cukup” kata adal “aku kira kau tidak kekurangan pekerjaan di tempat mu”.

Menepis tangan adal  “diam kau.anak kecil, tau apa kau tentang para darah kotor ini”

Adal agak tersinggung, menahan segala kekesalan nya walaupun muka nya sudah terlihat agak berlipat.

“ah pak polisi” lanjut adal “dengan segala hormat, apa pun itu, maaf kan mereka”.

Terdengar suara setumpuk daging padat bertulang mendarat di pipi kanan Adal dam membua nya terhuyung ke belakang dan menyentuh tanah.

“Diam kamu!” nada polisi itu naik satu oktaf “ ambil, dan terima itu, segala hormat mu”.

Keramaian semakin tegang, Edel yang sudah paham betul akan kenekatan Adal tak berani berkutik, para wanita wanita dan pria pria dewasa yang membuat lingkaran pengap itu hanya melihat dan menyaksikan, seolah itu adalah pemandangan yang bagus untuk di pertontonkan.

“Sudah cukup tuan” bela pria tersebut.

Polisi itu membentak nya “diam kau!”
Sambil melanjutkan “dengar kalian semua, warga penduduk kota central, jika kami kepolisian tidak ada di sini, mungkin kalian tak akan bisa hidup tenang dan penuh glamor seperti ini, dan lihat si bocah ini, berani berani nya dia menentang ku, berapa umur mu nak? Dari mana asal mu? Orang tua mu? Akan aku beri mereka pelajaran setelah ini”.

Keramaian semakin tegang, terlihat, banyak ekspresi mereka yang tak suka akan polisi angkuh tersebut.

Polisi itu semakin menjadi jad, Sambil menodong selongsor pistol ke hadapan pasangan suami istri tersebut.

“Ah ya, sebelum militer datang, aku akan menuntas kan ini, membunuh para darah kotor ini, atas nama tuhan, negara dan apa pun itu” .

Perlahan lahan polisi itu menarik platuk  dengan sigap Adal berlari ke depan dan memumggungi kedua pasangan tersebut, sambil mencoba menahan peluru yang akan keluar dengan tangan kiri nya, walaupun wajah nya berpaling sambil menutup mata.

“sialan!” maki Adal “ jangan membunuh dengan mengatas nama kan Tuhan!”.

Suara menggelegar, khalayak ramai pun panik dan histeris ada yang berteraik tak terkecuali Edel.

“Tidak!!!”.

Peluru melesat, tangan kiri adal berusaha menangkap nya, tiba tiba ada seberkas cahaya dari guratan muatan listrik keluar dari tangan Adal ketika peluru mulai menyentuh telapak tangan nya.

TUMBAL DARAH.Where stories live. Discover now