23. Solidaritas Tanpa Batas adalah Prioritas.

372 75 22
                                    

Chapter 23 ==> Solidaritas Tanpa Batas adalah Prioritas

Dipublikasikan: 4 Desember 2019
©DeraiAksara

🌌

Hari ini Hari Rabu, hari yang horor bagi kami. Bagaimana tidak, hari ini kami akan dihadapkan dengan ulangan harian MATEMATIKA. Yang membuat lebih horor lagi adalah soalnya. Kami yakin seyakin-yakinnya, soal Matematika yang diberikan nanti pasti beranak, ditambah isian semua, tidak ada yang pilihan berganda, plus wajib BUAT JALAN.

Kan, ngegas terus.

"Keluarkan kertas selembar!" Kalimat paling horor ketika disebutkan oleh guru Matematika.

Kami lekas memasukkan alat tulis serta buku catatan kami dan segera menyiapkan kertas yang sebenarnya dua lembar.

"Buat nama, buat kelas!"

Tanpa Ibu beri tahu, kami juga sudah tahu, Ibu.

"Matanya dijaga, mulutnya dijaga, lehernya dijaga. Jangan ada yang berubah jadi leher jerapah." Mereka tidak akan kemana-mana, Mi. Untuk apa dijaga?

"Tak usah buat soal, langsung jawab."

Mami Gus mulai membagikan lembaran soal.

Aku menatap dalam-dalam lembar soal yang sudah di tanganku.

Ya Tuhan ... ini kenapa soalnya beranak semua?

1. a
b
c

2. a
b
c

Keriting otak saya, macam mie telor!

Kelima soal essay ini benar-benar membuat otakku hampir mendidih. Masalah soal yang semuanya isian, tiada pilihan gandanya bukanlah hal yang asing bagi kami. Sejak duduk di kelas 7.A, setiap ada ulangan harian, Mami Gus tidak pernah memberikan soal objektif. Tapi ini masalahnya, soalnya punya anak.

"Kerjakan dari sekarang!"

Aku memungut pena yang sedari tadi berontak dari jepitan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengahku. Tampaknya, pena hitam ini, pun, tak selera melihat deretan angka di kertas putih itu.

Sudah lima belas menit dilewati. Dan aku baru menyelesaikan nomor satu. Kacau!

"Ibuk keluar sebentar."

"Lame, pun, tak ape, Buk," sela Bambang, membuat orang tua itu menjelingnya tajam.

"Kalau Ibuk balik lagi, tugas kalian udah harus selesai," ucapnya sesaat sebelum benar-benar keluar kelas.

Jerry mengintip Mami Gus lewat jendela. Detik berikutnya, ia berteriak, "rumus panjang busur apa, Woy?"

Semuanya bergeming.

Jerry kembali menggonggong, "Tolong adik, lah, Bang."

"Najis!" Kali ini satu kelas bersuara, termasuk aku.

Jerry memang siswa termuda di kelas ini, atau mungkin termuda seangkatan. Ia lahir bulan Maret tahun 2005. Eh, nggak, ding. Yang paling muda itu Lovely, bukan Jerry. Jerry lahirnya 6 hari lebih cepat dibandingkan Lovely, tetapi masih pada bulan yang sama.

"WOY, PANJANG BUSUR APA RUMUSNYA?"

"AKU LAGI NGINGAT NI, SETAN!" seru Bambang yang sudah tak tahan lagi dengan suara katak kejepit milik Jerry.

"Luas juring per luas lingkaran sama dengan panjang busur per keliling lingkaran," sahut Dimas dengan nada rendah. Sudah kukatakan di awal, Dimas ini memang manusia ter-kalem di kelas abnormal ini.

Aku kembali mengerjakan soal-soal ini dengan berpikir keras. Buntu, sumpah buntu.

"Yul, rumus tembereng apa?"

Yuli diam sejenak. Dalan waktu beberapa detik saja, ia sudah berhasil menciptakan seni kerutan di dahinya.

"Apa, Yul, apa?" desakku karena memang waktu sudah tidak banyak lagi. Sedangkan aku masih saja berkutat pada nomor 2c.

"Kalau nggak salah ... luas juring dikurang luas segitiga."

Aku menatap sejenak lembaran soal itu, berusaha mencerna rumus yang dikatakan Yuli.

"Oke, makasih."

Dengan cepat aku segera menuliskan rumus-rumus di kertas buramku.

Sedetik kemudian, telingaku menangkap suara krasak-krusuk dari sebelah, tepatnya di tempat duduk Yuliani.

"Yul, pinjam kalkulator."

"Yul, cariin lapan kali dua!"

"Yuli, pinjam kalkulator ko! Aku nak cari hasil dua pangkat tiga."

Aku menghantukkan kepala berharga ini ke meja kayu tempat kertas-kertas berisi angka yang memusingkan kepala hotak itu beserak. Benar kata Mami Gus, kalau sudah terdesak, 2×2, pun, tak tahu berapa.

Aku sudah menyelesaikan semua nomor dua, lengkap dengan anak-anaknya sekali. Sedikit peregangan tidak akan membuatku rugi.

Mataku menangkap Azzahra yang berjalan menuju meja guru.

"Oi, aku dah siap ni. Aku letak sini, e."

Aku mengelus dada melihatnya. Saat yang lain misuh-misuh sendiri mencari jawaban, dengan entengnya ia bilang, "aku dah siap"?

Oke, oke. Kuakui Zahra memang pintar, apalah daya otakku yang seperti trenggiling ini.

Tiga puluh lima menit berlalu, akhirnya aku selesai mengerjakan semua soal yang hampir saja membuat otakku meledak. Segera kuantar lembaran lucknut itu ke Chindy. Perihal benar atau salah, bodoamat. Baca, kerjakan, lupakan. Kebetulan bel pulang sudah berbunyi sedari tadi dan kabar baiknya, Mami Gus tidak balik lagi ke kelas.

Chindy dan aku menghampiri Djulia yang terlihat panik sendiri dengan kertasnya.

"Ko ngapain, Ju?" tanyaku.

"Boker!"

Spontan aku memundurkan langkah mendengar jawaban Djulia.

"Lagi ngerjain soal, lah. Pakai nanya lagi," timpalnya tanpa melihat ke arahku. Ia benar-benar sibuk sendiri dengan kertas ulangannya.

"Cepat, Ju." Chindy mengingatkan Djulia. Ia khawatir sang guru Matematika tidak akan terima jika pengantarannya terlambat.

"Nih, nih." Chindy mengambil selembar kertas secara acak, kemudian diberikannya kepada Djulia, "nyontek aja. Cepat, Ju."

Hm ... sungguh kekompakan yang tiada tara.

🌌

Kelas OlimpiadeOnde as histórias ganham vida. Descobre agora