29. Yang Bicara dan Yang Diam

829 162 121
                                    

Sebelum 2019 habis, trio curut mau berkabar dulu nih. Masih pada ingat nggak? Hampir sebulanan nggak berkabar. Actually aku masih sibuk karena ada proker yang belum kelar.

And anyway, Manipulasi rasa supposedly end on the next chapter. So, let's see if these guys getting an happy ending or not. :)

Jangan lupa ramein yaa, barangkali dapat kejutan dalam waktu dekat.

And belated happy birthday for my beloved man, Han Seungwoo. Udah telat tapi yah, anggap aja ini hadiah buat bapake. Love you to the fullest <3

 Love you to the fullest <3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-

Edsel

Doa Ibu adalah hal paling mujarab di dunia. Dan itulah satu-satunya hal yang gue bawa dari Bandung ke Jakarta. Doa dan pesan dari Ibu.

Sepanjang perjalanan, gue terus meyakinkan diri bahwa saran Ibu layak dicoba, bahkan seharusnya gue lakukan dari dulu.

Sayangnya, yang gue dapat begitu akhirnya tiba di Jakarta bukanlah kabar baik. Tapi kabar yang sama sekali nggak gue duga. Rasanya gue seperti dihukum begitu mendengar kabarnya.

Dan dugaan gue nggak salah. Karena begitu sampai di lokasi rumah sakit yang Saka berikan, yang gue temukan justru Saka yang kelihatan jauh dari kata ramah. Gue pikir dia mungkin mau memaki gue.

Tapi ternyata dia hanya bilang, "Adara masih lagi istirahat. Lo jaga dulu, gue mau ngurusin administrasinya."

Belum sempat merespons, Saka sudah langsung pergi, nggak mengatakan apapun. Gue berasa orang asing. Atau mungkin Saka sengaja begini. Dia mungkin marah.

Atau, biar gue perbaiki kalimatnya. Saka memang marah. And I can't do anything about it. That is something I deserve.

Karena Saka sudah lebih dulu beranjak, dan gue juga ragu bisa melakukan apapun kalau menemani Saka mengurusi administrasi rawat inapnya Adara, tetap berada di tempat merupakan pilihan terbaik.

Benak gue sempat bergumul sesaat ketika menatap pintu, menimang apakah sebaiknya gue membuka pintu dan masuk, atau tetap di sini dan menjaga Adara dari luar.

Seharusnya gue nggak perlu memikirkan hal begini. Ini bukan pertama kali Adara pernah di rumah sakit. Dan ini bukan pertama kalinya gue diminta menjaga Adara. Bahkan Tante Nami, ibunya Adara, pernah meminta langsung ke gue dan Saka untuk menginap di rumah sakit.

Jelas semuanya nggak bisa sesederhana dulu, kan? Melibatkan perasaan dalam hal apapun nggak akan membuat hidup terlihat lebih mudah. Technically, life isn't an easy thing to begin with. Dan perasaan seperti menambah kesukaran itu.

But loving isn't hard. The hardest part of it is dealing with its pain afterwards.

Dalam-dalam gue menghela napas, memantapkan hati untuk menggenggam gagang pintu dan membukanya. Gue ragu, jujur saja. Sangat. Tapi kemudian, gue melihat dia. Gue melihat Adara yang tengah terduduk di tempat tidurnya, dan kepalanya menoleh ke arah pintu, ke arah gue.

Manipulasi Rasa & Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang