Titik Terang

1K 57 12
                                    

Triiiiing

Gawaiku berdering saat aku sedang duduk santai di teras menikmati akhir pekan bersama dua jagoan kembarku.

"Halo," sapa seorang wanita dari seberang.

"Ha-halo." Aku cukup terkejut karena mendapati suara wanita padahal jelas tertulis nama suamiku di layar panggilan.

"Maaf ini bersama Ibu Juli?" Tanya wanita itu.

"I-iya benar, ada apa? Kenapa HP suami saya ada di anda?" Aku mulai cemas.

"Maaf Bu, Bapak sakit saat di pesawat. Sekarang bapak dirawat di Rumah sakit Centra Surabaya. Maaf Bu kami belum bisa mengantarkan Bapak ke Jogja."

Ada banyak lagi penjelasan dari wanita itu. Tapi aku sudah terdiam Sudah tak dengar juga aku. Mataku berair seketika. Sakit? Orang baik itu sakit?

Aku tak boleh berlarut dalam kesedihan. Segera kuajak si kembar untuk berkemas. Ya memang sejak telepon kemarin dan mendengar si kembar di rumah. Juna mengatakan ingin segera pulang. Dia bilang rindu sekali dengan dua jagoannya ini.

Ku kemudikan mobil melaju ke Surabaya. Masih pagi, masih pukul tujuh. Kalau tak ada hambatan aku akan sampai Surabaya dalam lima jam. Sepanjang perjalanan aku memikirkan Juna.

Apa yang sudah aku perbuat hingga membuatnya sakit. Aku tak merawatnya dengan baik. Aku membiarkan dia bekerja di Jakarta dan aku bertahan di Jogja. Aku membiarkan dia sibuk dan kelelahan bekerja sementara aku malah asik menikmati masa-masa kenanganku. Istri macam apa aku ini?

Pukul satu siang kami sampai di Rumah sakit. Aku mencoba menelepon lagi. Masih wanita itu yang menjawab. Dia staf di dewan legislatif. Mungkin sekretaris Juna makanya dia begitu peduli.

Sampai juga kami di paviliun yang disebutkan wanita itu. Aku membuka sebuah kamar. Dan tampak sosok Juna berbaring lemah dengan slang oksigen yang bertenger di bawah hidungnya.
Si kembar berlari memeluk orang kesayangannya itu. Dan wanita itu mendekatiku.

"Saya Santi Bu, sekretaris Bapak."
Aku mengangguk menjabat tangannya dan tak lagi bicara aku langsung mendekati Juna.

Matanya sayu menatapku. Bibirnya masih pucat dan wajahnya pias.

"Sayang jangan menangis," suaranya yang lemah terdengar.

Tangannya ia gerakkan mèmbelai lembut kepala dua bocah remaja itu.

"Papa jangan sakit ... " Suara mereka sahut menyahut mengatakan kalimat itu.

Baru kali ini Juna sakit. Melihat lelaki itu terbaring lemah. Hatiku sakit. Aku tak tega lelaki gagah ini tiba-tiba harus merasakan sakit. Dia yang tak pernah mengeluh. Dia yang selalu tampak kuat. Dia yang sabar bahkan ketika aku malas-malasan. Dia yang menjagaku dan anak-anak dengan baik. Dia yang selalu mengingatkan kami untuk menjaga kesehatan. Memakan makanan yang sehat. Bagaimana bisa dia malah sakit. Semua karena aku tak membalas kebaikannya. Karena aku tak menjaga kesehatannya. Karena aku tak mengingatkannya untuk makan, untuk berolah raga, untuk cek kesehatan. Aku selalu tak peduli padanya. Menganggap kalau semua akan baik-baik saja.

Melihatnya terbaring lemah begitu air mataku pun menetes.

"Maafkan aku Sayang, maafkan istrimu yang bodoh ini."

"Sayang, jangan menangis. Aku tak apa. Ini hanya kecapean saja."

Suara lemah itu terdengar lagi.
Ku belai rambutnya dan kuciumi keningnya.

"Lekas pulih Sayang," bisikku.
Dia mencoba tersenyum dengan bibirnya yang pucat itu.

"Tolong bilang pada Santi, terima kasih dan barang kali dia mau pulang. Sudah sejak pagi dia menungguiku. Mungkin dia lelah." Terbata Juna mengucapkan kalimat itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 11, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tergoda Masa Lalu (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang