Kapan Malam Berganti?

84 6 0
                                    

Dalam gelap ia selalu menunggu. Ketika azan magrib berkumandang berharap-haraplah hatinya menanti kedatangan. Kedatangan sosok yang selalu ia nanti dalam sunyi. Kehadiran sosok yang selalu ia tunggu di tiap malam yang bisu.

Malam ini kembali ia tak menyerah. Dipakainya gaun terindah yang selalu ia cuci paginya dan ia setrika sorenya. Tak pernah ia lalai akan penantian itu. Meski berulang-ulang kali getir melanda harapannya, tak pernah harapan itu pupus. Selama ada bintang dan bulan, aku akan terus menunggui malam, begitu batinnya berkata.

Ada kabar-kabar tak mengenakkan hati yang mulai terdengar. Entah tetangga mana yang memulai, entah orang luar mana yang menyebarkan, orang-orang bilang yang ia tunggu hanyalah kenangan. Malam yang selalu ia tunggu hanya akan jadi penantian semu. Orang-orang bilang ia hanya menanti angan. Angan yang hanya akan selalu dihempaskan angin tiap malam. Angan yang hanya berupa ingin yang tak akan pernah terkabul.

Gunjingan tetangga makin lama makin membuat ia gusar. Apakah benar selama ini ia hanya menanti angan yang tak akan pemah ia dapatkan. Apakah benar ia hanya menunggu kenangan yang sebenarnya telah mati sejak lama kepergiannya.

Meskipun gusar, ia selalu kembali menunggu dalam setiap malamnya. Di bangku beranda rumah, ia duduk bergaun indah. Hingga kemudian di ujung malam ia tertidur di ruang tamu setelah kedinginan dan memutuskan masuk untuk menunggu di dalam kamar. Selalu begitu, ia selalu menunggu setiap malam.

Kemudian setiap malam-malam berikutnya, setiap kali ia menunggu selalu saja ada cibiran dari orang-orang yang melewati jalan depan rumahnya. Makin lama ia merasa bisa gila dibuatnya. Namun, harapan untuk menunggui malam selalu mampu membuatnya lebih tenteram menghadapi cela-cibir itu. Orang-orang lewat yang mencibir mulai lelah memainkan lidah, mulai letih memicingkan mata. "Wanita itu sudah gila, tak usah kita hiraukan lagi," kata mereka.

Malam masihlah kelam seperti sebelum-sebelumnya. Setelah sekian tahun menunggui harapan setiap malam yang tak pernah datang, harapan itu masih belum padam. Malam masihlah pekat seperti sebelum-sebelumnya, tapi ia masih dan akan selalu percaya angan akan semakin dekat untuk menemuinya.

Hening dan sepi telah menjadi karibnya setiap malam. Sesekali tangis bayi tetangga yang lapar atau lolong anjing yang gusar ikut menemani meski singkat. Sesekali bunyi pentungan peronda malam menjadi ritme musik penghibur tersendiri yang ikut menemani penantiannya.

Adalah bulan puasa lalu yang sedikit merubah suasana malamnya. Malam tidak terlalu sepi seperti bulan lainnya. Ada suara takbir dan ayat-ayat suci berulang-ulang dari ritual salat tarawih dalam mesjid-mesjid di awal malam dan ada teriakan yang keterlaluan membangunkan sahur di tiap ujung malamnya. Namun, penantian itu masih belum membuahkan hasil. Yang ia nanti belum kunjung datang. Yang ia harapkan juga belum hadir. Jiwanya selalu meradang dan hatinya getir ketika pagi mengganti malam. Namun, harapan dan angan itu kembali tumbuh setiap kali malam membentangkan kembali jubahnya.

Suatu sore, saudari jauh dari seberang pulau datang bertamu. Di rumahnya, wanita yang selalu menunggui malam itu menyuguhinya dengan berbagai cerita tentang kenangan, cerita tentang angan dan harapan yang masih belum mau menemuinya. Saudari jauhnya itu langsung mengerti dan cepat memahami apa yang sedang terjadi oleh wanita itu. Ia segera saja bisa ikut bersimpati dan berempati. Ia merasa iba pada wanita itu.

Di malam harinya, wanita penunggu malam itu kembali duduk di beranda rumahnya untuk menunggui malam. Saudari jauhnya telah pulang kembali ke tempat asalnya di luar pulau. Si saudari jauh itu, dalam perjalanan pulangnya, menempelkan poster-poster pada tiap papan-papan pengumuman atau pada tiap tiang listrik yang ditemuinya. Ia menyebarkan kabar ke seluruh pelosok negeri bahwa ada seorang wanita yang selalu menunggui kenangan, harapan, dan angan.

Kenangan, harapan dan angan itu adalah seorang pria, suaminya yang menikahinya sepuluh tahun lalu. Pria itu telah pergi dan tak kunjung kembali. Ia yang telah berjanji akan pulang pada saat musim hujan tiba dengan membawa sejumlah harta untuknya. Ia pun berpesan bahwa akan pulang pada malam hari.

Si saudari jauh itu ingin agar suami si wanita itu membaca salah satu poster-poster yang ia tempel di seluruh pelosok negeri. Atau setidaknya ada orang lain yang tak sengaja mengenalnya dan mengetahui keberadaan si suami wanita penunggu malam itu, yang membaca salah satu dari poster-poster yang telah ia sebarkan ke seluruh pelosok negeri. Agar kemudian orang itu menyampaikan isi poster tersebut kepada suami dari wanita yang selalu menunggui malam itu.

Usaha si saudari jauh akhirnya membuahkan hasil. Suatu hari, suami dari wanita yang selalu menunggui malam itu dipertemukan dengan poster yang telah tersebar ke seluruh pelosok negeri itu. Orang-orang tak dikenal menemuinya sambil membawa poster itu ke pangkuan si suami. Mereka membisikkan sebuah kalimat dari poster itu sebab si suami tidak bisa membaca. Matanya sudah buta. Matanya telah dicongkel keluar secara paksa oleh segerombolan laki-laki berpakaian hitam-hitam saat ia akan pulang menemui isterinya.

Si suami hanya bisa menjerit keras ketika matanya dicongkel keluar. Setelah itu ia dibuang, tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Tak ada yang menolongnya atau menanyainya. Kemudian ia hanya bisa menengadahkan tangan untuk dapat bertahan hidup mendapat pangan. Hingga akhirnya orang-orang yang melihatnya setiap hari di jalanan mengenali si suami dan membawakan sebuah kabar itu.

la ingin sekali pulang ke rumah, kembali kepada istrinya. Namun bagaimana mungkin ia bisa pulang, ia tidak tahu arah tujuan. Ia tidak dapat melihat jalan. Tak ada yang mau menuntunnya. Hanya kenangan, harapan, dan anganlah yang bisa ia tunggu di dalam hari-harinya yang gelap. Tak ada lagi cahaya yang bisa ia lihat. Tak ada lagi warna yang bisa ia bedakan. Setiap saat baginya adalah malam.

Setiap saat adalah gelap. Pagi, siang, maupun sore tetaplah kelam. Setiap hari ia hanya bisa menunggui malam yang tak kunjung berganti pagi. Kapankah cahaya pagi itu akan tiba? Kapankah sinar mentari akan datang?

Di bangku beranda rumah, wanita itu senantiasa menunggui malam. Apabila malam telah berganti pagi, ia kemudian berharap dan terus berharap kapan malam akan datang lagi. Sedangkan di pinggir sebuah jalan, suami dari wanita yang selalu menunggui malam itu justru senantiasa menunggu kapan malam yang teramat panjang baginya ini akan segera berakhir, kapan malam akan segera berganti pagi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 18, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Lip GlossWhere stories live. Discover now