Hujan Sore Itu

107 16 2
                                    

Suatu sore yang basah, Karmila hendak pergi ke acara alumni kampus. Ia diundang untuk menghadiri Halloween sekaligus reuni bulan Oktober ini. Karmila sudah bersiap dengan masker bengkoang yang dibalur ke wajah alakadarnya sebagai make up horor.

Namun, hujan sore itu mengurungkan niatnya untuk pergi. Air yang jatuh sendu itu mengingatkannya pada Jalu, anaknya yang berumur empat tahun. Anaknya yang meninggal merupakan peristiwa yang tak mudah ia lupakan, sebab peristiwa paling menyakitkan selalu yang paling gampang untuk diingat. Karmila bisa lupa hari dan tahunnya namun ia tak akan bisa melupakan rincian kejadiannya. Sekaligus tak akan bisa melupakan penyesalan itu selama ini.

Sore itu, Madi―suaminya―menyeret anak semata wayangnya untuk berpisah darinya karena suatu perselingkuhan yang dilakukan Karmila. Madi memutuskan talak dan membawa paksa Jalu bersamanya. Karmila tak mengijinkannya karena ini semua hanya kesalahpahaman semata. Karmila melempari Madi dengan batu-batu kerikil agar menjauh dari Jalu dan berusaha menguasai situasi. Tetapi, batu itu kemudian menghantam pelipis Madi tanpa sengaja.

Lelaki itu naik pitam, ia bangkit dan merebut Jalu sampai lepas dari Karmila. Pertengkaran hebat itu berlangsung sampai di uar rumah. Tanah yang becek akibat hujan yang deras sore itu, membuat Madi terpeleset dan menindih Jalu sampai mati. Gelagapan Madi mencoba memberi nafas buatan untuk Jalu. Terlambat, nyawa Jalu terlanjur terbang.

Madi memeluk Karmila menyesal. Karmila tak terima penyesalan Madi. Suaminya sudah berbuat konyol, tindakan paling konyol selama ia menikah dengannya. Dengan kesumat, ia meraih batu sebesar kepala bayi dan menghantamnya berulang-ulang ke kepala Madi. Sekonyong-konyong kepala Madi bocor. Darahnya meleleh. Madi sekarat.

Karmila menyeret mereka menuju sungai yang mengalir. Hujan sore itu sangat deras, aliran sungai yang kencang cukup untuk menghanyutkan mereka. Akan tetapi―pikirnya―beserta batu besar tadi―sekaligus menghilangkan barang bukti―kedua tubuh itu harus ditenggelamkan.

Karmila menyusun rencana. Ia mengikatkan batu besar di tubuh Madi yang setengah hidup dan jasad Jalu, untuk kemudian ditenggelamkan bersamaan. Sudah pasti hukum alam, batu itu tenggelam sambil membawa Madi sampai ke dasar sungai. Madi yang sekarat akhirnya mati tenggelam, bahkan tak sempat meronta. Akibat aliran sungai yang membawa lumpur, lama-kelamaan mereka akan tertimbun, terurai―dan menyulitkan orang-orang untuk menemukan jasad itu.

Karmila melewati delapan bulan terakhir tanpa berkabung. Bahkan ia menumpahkan air mata kepura-puraan di depan para tetangga yang melayat, agar nampak wajar Madi dan Jalu tewas hanyut terbawa sungai, tanpa curiga terhadapnya.

Hujan Oktober setahun berikutnya, Karmila absen dari acara Halloween. Hidupnya mulai terganggu setiap mendengar suara tawa riang Jalu di balik dinding kamar mandi sewaktu Karmila mandi. Hampir setiap malam Karmila merasakan dengkuran nafas Madi di telinga. Kadang-kadang berhalusinasi lumpur memenuhi lantai rumahnya. Puncaknya, pintu rumah Karmila digedor sangat kencang. Karmila pikir, ibu RT mengingatkan untuk acara seratus hari, namun aneh, sebab hari ini sudah lewat dari seratus hari.

Karmila terpaksa membukakan pintu tanpa menuruti perasaan anehnya. Karmila memaku di pintu saat tahu di sana hanya berdiri seorang anak kecil berlumpur. "Kamu siapa?"

"Ini Jalu, Bu!"

Jalu sudah mati, pikir Karmila ngeri.

"Jalu datang diantar pulang, Bu!"

Persendian dan tulang belakangnya melemah. Sesaat kemudian tubuh Karmila merosot ke lantai. Wajahnya memucat saat tahu Jalu tidak datang sendirian.

=========

Cerita ini atas kebaikan kawanku Sunnisa yg menulis. 

Lip GlossWhere stories live. Discover now