The Atmodjo's - Pembuka dan Penutup

10.8K 1.3K 2K
                                    

Bertahun-tahun silam seorang anak duduk sendirian, menatap teman-temannya berlarian di lapangan. Ia tetap di tepian, pelan-pelan mulutnya mengunyah roti isi telur yang bersumber dari kotak bekal di tangan.

"Coba besok bawa makanan yang banyak, kamu bagi ke temen-temen kamu pas istirahat." Begitu saran kakak perempuannya, Kak Rani setelah ia mengadu bahwa tidak ada satupun teman sekelasnya yang mau mengajaknya bermain. "Siapa sih yang bisa nolak makanan? Gak ada." imbuh Kak Rani sebelum berjanji akan membuatkan adiknya itu roti isi telur besok pagi.

Iqbal kecil yang waktu itu duduk di kelas 4 SD kerap merasa tidak punya teman. Tidak ada yang mencarinya atau ingat padanya waktu formasi pemain bola kurang satu, tidak ada juga yang mau sekelompok dengannya kalau tidak ditentukan guru. Iqbal terbiasa sendirian.

Ia sendiri tidak tahu apa pastinya alasan teman-temannya tidak mau menemaninya dan menganggapnya layaknya debu di sudut kelas. Mungkin karena ia yang terbaik di kelasnya saat pelajaran IPA, mungkin karena dia terlalu banyak bicara tentang sains dan banyak hal lainnya yang membuat teman-temannya bosan. Mungkin ia sok pintar di mata teman-temannya, mungkin juga teman-temannya iri karena guru mereka sering memberikan perhatian ekstra pada Iqbal yang cerdas.

Mata Iqbal mengerjap menatap teman-teman sekelasnya berlarian sambil tertawa menendang-nendang bola. Seperti biasa posisi Iqbal adalah di pinggir, tersisih, menjadi bagian yang diabaikan, bahkan menawarkan makanan bukanlah solusi. Kak Rani salah dalam hal ini, padahal biasanya ia sering benar.

Iqbal tidak menangis, tapi tangannya sedikit mengepal. Ia terlalu kecil untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa agenda bahagia teman-temannya tidak melibatkan dirinya, tidak semua orang bisa menerimanya, seberapa keraspun ia berusaha.

Tangannya menutup kotak bekal berisi irisan roti isi telur yang masih menumpuk lalu berdiri dan melangkah pergi dari lapangan. Langkahnya gontai, memikirkan bagaimana caranya menghabiskan semua roti itu supaya Kak Rani tidak curiga.

Kapan kalian mulai menyadari dan menerapkan konsep realitas 'It's okay, I got myself' dalam hidup? Ketika kalian benar-benar sadar bahwa kalian hanya punya diri kalian sendiri?

Iqbal menyadarinya terlalu cepat. Terlalu dini menyadari bahwa pada akhirnya ia harus berpijak sendiri. He learned it the hard way.

Kotak bekalnya masuk kembali ke dalam ransel. Tidak semua orang suka roti isi telur.

*

Iqbal SMP kembali duduk di pinggir lapangan, kali ini di lapangan kompleks rumahnya yang sepi sore hari. Ring basket menjulang menyisakan bayangan di dekat kaki Iqbal yang memutar-mutar permen lollipop di tangannya.

Pada beberapa sore, Iqbal sering duduk di pinggir lapangan dekat rumahnya ini, menonton anak-anak kecil bermain bola atau asisten-asisten rumah tangga menyuapi balita. Iqbal sudah cukup senang meski hanya menonton dari samping. Ia sering bosan di rumah karena di rumah besarnya yang bergaya Jawa itu dia hampir selalu sendirian, terlebih sejak Kak Rani menikah dan Bang Rama kuliah di luar kota.

Sebuah bola bundar berwarna oranye tiba-tiba menggelinding ke dekat kaki Iqbal, menyusul siluet seseorang menghampirinya, membuatnya tertegun.

"Basket yuk?" Pemilik siluet itu tersenyum seraya memungut kembali bola basket yang tadi ia lempar.

"Kenapa tiba-tiba abang ngajak main basket?" Iqbal tertawa dengan kening sedikit berkerut, karena sejak abangnya kuliah dan hanya kembali ke Solo saat liburan—atau mungkin sudah jauh sebelum itu—ia sudah jarang sekali keluar rumah, menjadikan momen main sepeda dan kasti menjadi bagian dari masa yang tidak terulang lagi. Apalagi basket, Iqbal bahkan tidak tahu itu bola basket milik siapa.

Komet 101Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon