#4 Rumah Baru

21 1 0
                                    

Salah satu temannya membuka ponselnya lalu memanggil aparat kepolisian untuk bergegas ke tempat yang ia sudah jelaskan. Tak lama polisi pun tiba, bergegas tuk mengamankan jenazah dan mengidentifikasi tempat kejadian. Aku semakin panik, keringat dingin bercucuran tak hanya dikepalaku,namun pada badanku pun. Aku merasa wajahku memucat, merasa aliran darah yang tadinya mengalir lancar,tiba-tiba berhenti, angin tak lagi berhembus lembut kearahku. Alam seakan tak berpihak kepadaku.

Aku dan anak-anak tadi dibawa ke kantor untuk dimintai penjelasan. Saat aku diberi pertanyaan oleh seorang petugas, aku hanya membungkam, kata-kata sudah macet didalam mulutku,air liur bergelombang dalam mulutku,tangan bergetar cepat.

Dalam hati berkata "aku tidak salah,bukan aku yang membunuhnya,tolong jangan tahan aku". Petugas paham jika aku syok saat ini, lalu ia melempar pertanyaan itu ke anak-anak tadi, dan salah satu dari mereka menjelaskan,

"anak itu mendorong temanku ke tempat yang dipenuhi pecahan botol, ia melewati gang itu, melihat kami dan tiba-tiba saja ia mendorong temanku. Coba lihat dia, ia tak dapat bercerita sebab ia salah, ia telah membunuh teman kami" ia menjelaskan dengan penuh percaya diri, berusaha membuat polisi ini akan percaya kepadanya.

"Tidak,tidak,tidak. Ia berbohong, cerita yang keluar dari mulutnya adalah dusta. Ia menjebakku. Bukan aku yang salah, merekalah duluan yang menyerangku" kataku didalam hati,sebab satu kata pun tak dapat keluar dari mulutku.

"Naak, bagaimana cerita sebenarnya?? Bagaimana ini bisa terjadi?", Ibu tiba datang lalu menghampiriku dan memelukku serta air mata yang kini terjun ke pelipisnya. Sedang aku masih saja membisu.

Setelah aparat telah mengumpulkan berbagai informasi, dan juga tuduhan dari orang tua korban dan anak-anak tadi, tanganku tibalah untuk berada di belakang punggung dan diamankan. aku melihat ibu merengek tangis tak terima dengan takdir ini, dan Ibu jatuh pingsan.

Ketika aku dan petugas telah berada didepan ruang tahanan, borgol yang melekat pada tanganku dilepaskan, dimasukkanlah aku kedalam ruang itu. Aku sendiri,tak ada siapa-siapa yang menemaniku. Aku baru bisa menangis dibalik jeruji besi, memanggil Ayah dan Ibu didalam hati yang tak kunjung datang.

Esok hari tiba. Untuk kali ini, aku tak dapat melihat mentari mengintip dibalik cakrawala. Hanya jeruji besi yang berjejeran dihadapan mataku. Lalu tiba seorang petugas ke arah selku, memasukkan kunci yang ada pada genggamannya ke dalam gembok pintu. Lalu tangannya seolah menyuruhku untuk keluar.

Bergegaslah aku dan berdiri untuk keluar dari ruangan neraka ini. Apakah ini berarti aku telah bebas? Hanya sehari? aku begitu bahagia, dapat kembali ke surgaku, makan bersama keluarga lagi, membantu Ayah dan Ibu, melihat mentari, dan hal menyenangkan lainnya.

Petugas tadi memegang kedua tanganku, lalu dimasukkannya lagi ke benda yang disebut borgol. Ternyata tidak, tidak, aku belum bebas. Lantas untuk apa aku dikeluarkan dari sel tapi dalam keadaan tanganku yang kini terpenjara.

Aku lalu dibawa ke suatu ruangan. Telah menunggu Ayah,Ibu, dan juga temanku satu-satunya. Ekspresi mereka berbicara tentang kekhawatiran nan gelisah. Ayah Ibu sontak memelukku kala aku baru melewati pintu ruangan.

Bela menyusul, menatapku dengan penuh rasa cemas, meneteskan beberapa air matanya untukku. Aku hanya mengusap kepalanya dan tersenyum untuk memberitahukan bahwa aku baik-baik saja.Aku duduk berhadapan dengan mereka dengan perantaranya meja. Aku tak tau harus berbicara apa.

"Nak, esok hari kamu akan menjalani sidang. Mereka (Keluarga Korban) telah menyewa seorang pengacara yang handal untuk mewakili mereka atas tuduhanmu, ayah minta maaf sebesar-besarnya karena Ayah tidak mampu melalukan hal yang sama. Kita hanya bisa menyerahkan ini kepada Tuhan, semoga Tuhan senantiasa membantu kita", Ayah membuka percakapan. Aku mengangguk mengerti

" Tidak apa-apa, aku akan menjalani ini semua, ini adalah ketetapan Tuhan. Aku minta maaf Ayah,Ibu, karena aku masih saja menjadi anak yang menyusahkan, masih menjadi anak yang belum membahagiakan. Kalian tidak perlu khawatir mengenaiku, sebab aku belum dapat memberi apapun yang berarti di hidup kalian. Aku sungguh minta maaf. Jika Ayah Ibu ingin tak mengurusiku disaat begini, aku pun tidak apa-apa, aku tak akan dendam ataupun marah. Karena aku benar-benar anak yang tidak tau.....", Ibu langsung memelukku kembali beberapa detik untuk membuatku diam dan tidak berbicara yang tidak ingin ia dengarkan.

"Ingat apa yang telah katakan dulu nak. 'mungkin ini adalah takdir yang telah diberikan Tuhan kepadaku,biarkanlah ini terjadi dan kulalui',gitukan?",aku cukup mengangguk paham. Terimakasih ibu, seseorang yang memiliki surga untukku.

Cerita dalam DeritaWhere stories live. Discover now