#3 air merah mancur

26 2 0
                                    

Terlihat Ayah baru balik dari bekerja, telihat tetesan keringat pada kulit wajahnya yang mulai berkeriput.

"Hai Nak,bagaimana sekolahmu hari ini? Apakah kamu mendapatkan nilai sepuluh di sekolahmu?" tanyanya dengan senyumannya yang berharap penuh pada pendidikanku. Sedang aku hanya berlalu didepannya, mengacuhkannya dan menuju ke dalam rumah lalu ke kamar.

Tak berselang lama, ibu telah memanggil.

"Yantoo!!!, mari makan" sorak ibuku dari ruang yang biasanya kutempati makan bersama. Terlihat Nasi, garam, dan telur dihadapan mereka. Beginilah santapan kami sehari-harinya. 

Ibu menyodorkan piring plastik kepadaku dan Ayah, lalu kami melanjutkan untuk menyendok nasi ke arah piring. Ku merenung sejenak,menarik dan menghembuskan nafas, siap-siap, lalu...

"Ibu,Ayah, Kata Bu Yani, sudah waktunya tuk membayar tagihan sekolah yang telah nunggak 3 bulan. Jika tidak, Guru akan mengeluarkanku dari sekolah" pesan Ibu Yani keluar dari mulutku dengan penuh rasa cemas.

"tapi kita belum memiliki apa-apa untuk membayar itu semua,nak" Jawab Ibuku.

"Aku putus sekolah aja,bu. Dan membantu Ibu dan Ayah untuk keperluan sehari-hari kita. Mungkin ini takdir yang sudah ditetapkan sama Tuhan untukku. Biarkanlah ini terjadi dan kulalui", lalu aku diselimuti oleh tubuh mereka berdua,memeluk dengan penuh rasa sayang, dan ku tersenyum sedih dalam dekapannya.


Satu pekan telah kulalui dalam keadaan tak berseragam sekolah lagi, pasti guru dan Bela disana sudah tahu apa yang menyebabkan ini terjadi. Biarlah, biarkan mereka bahagia dengan apa yang bisa mereka lalui disana,dan aku juga. 

Sekarang aku menghabiskan waktuku untuk mengamen di warung-warung makan, pinggir jalan, dan tempat lainnya. duapuluhribuan telah berada pada genggaman ku untuk penghasilan hari ini. 

Sebelum aku balik ke rumah,aku luangkan sejenak beberapa menit tuk mengistirahatkan raga,rasa,dan juga logika dari beban semesta yang ku tanggung ini. Berteduh di depan toko sepatu dari teriknya lampu dunia. Meneguk air dalam botol minuman yang kubawa dari rumah, melewati tenggorkan kering dan mulai menyegarkan.

 Selepas itu aku melanjutkan kembali perjalananku menuju surga kecilku yang disebut rumah. Melewati gang sempit yang dijumpakan dengan serakannya sampah-sampah,,kucing-kucing liar, itu sudah terlalu biasa ku pandang. Namun ada satu hal yang baru kujumpai di gang ini,yaitu 5 anak yang mungkin sepantaran denganku berada tepat di hadapanku, menatap tajam kepadaku, seakan aku akan merasakan mati pada hari ini. 

Tiada angin tiada hujan, mereka tiba-tiba berlari kearahku dengan ekspresi mereka memiliki dendam yang amat tak terhingga kepadaku, aku merasa panik. Berbalik arah dan lari tuk menjauh dari mereka yang super menakutkan itu.

 Namun alhasil, seorang berada di hadapanku, mengawasiku untuk tidak kabur. Tanpa intro, pukulan keras mendarat keras ke kepalaku, aku bangkit untuk melawan, dengan gerakan menghempaskan pukulan-pukulan bodohku kearah mereka yang entah kemana arah tinjuku ini. Mereka menertawaiku, lalu salah satu dari mereka lompat kearahku dengan kaki kanannya lurus kedepan untuk bersiap mendarat ke wajahku, namun aku berhasil menghindar dari serangan itu dan spontan tanganku mendorongnya. 

Hal yang paling tak terduga pun terjadi. Anak itu terjatuh karena doronganku,ia terjatuh ke tempat yang dipenuhi oleh pecahan botol dan barang berkaca lainnya, satu kaca tajam menusuk tepat dibagian lehernya, terciptalah aliran darah baru mengalir deras dari dalam lubang lehernya, seolah itu adalah air mancur yang berwarna merah. 


Alkata : 

' Aku yang telah mengantarmu lebih cepat ke Neraka. apakah mungkin kau menungguku disana?'

Cerita dalam DeritaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora