Part 1

940 3 0
                                    

Derap langkah kaki berlari dari lelaki terdengar dari ujung lorong di salah satu ruangan di rumah sakit. Lelaki itu berlari seakan ia tidak boleh tertinggal barang sedetikpun atau nyawa seseorang akan melayang. Tidak, ia bukan seorang dokter ataupun tenaga medis lainnya. Ia hanya salah satu staff bagian departemen marketing di rumah sakit ini. Lalu, mengapa ia berlari? Karena saat ini nyawa sang istri yang sedang di pertaruhkan.



"Agil, tunggu. Sabar" salah seorang perawat menahannya ketika ia tepat sampai di depan pintu dengan tulisan 'ruang observasi'. Lelaki berkaca mata itu hampir saja mendorong perawat itu jika seseorang tidak menarik bahunya. Ia melihat ke belakang, ternyata sahabatnya yang mengikutinya dari ruang rapat tadi.



"Saya mau masuk. Gimana Nayya? Gimana anak kami? Baik-baik saja kan semuanya?" Agil berusaha untuk melepaskan pegangan Doni, sahabatnya, padanya yang sepertinya sia-sia. Tenaga Agil yang bertubuh kurus itu tidak ada bandingannya dengan badan Doni yang hampir tiap hari di tempa di Gym.



"Boleh. Tapi tenang dulu, jangan kayak orang kesetanan begini" suara Doni membentaknya. Agil tertegun. Benar, emosinya sedang bergejolak. Ia malah bisa mengacaukan situasi di dalam dan mengganggu kerja dokter dan perawat yang ada didalam. Agil menarik napasnya dalam sambil menutup mata. Setelah tenang, Agil merasakan tangan Doni sudah melonggar. Dengan langkah pelan, Agil melangkah memasuki ruangan itu.



Nayya. Wanita itu terlihat sangat pucat namun masih tersenyum ketika melihat suaminya. Agil segera mendekatinya dan memegang tangan Nayya dengan erat seolah takut Nayya sewaktu-waktu bisa pergi. Agil membalas senyuman Nayya dan mencium kening istrinya itu. Dalam hati ia sangat was-was. Pasti ada yang tidak beres, ia membatin. Ia merasakan tangan istrinya sedingin es. Meskipun bukan dari latar belakang kesehatan, ia tahu kondisi Nayya tidak baik saat ini.



"Jangan khawatir, sayang. Nayya akan baik-baik saja. Anak kita juga akan baik-baik saja" Tangan es itu kini memegang pipi Agil. Keduanya pun saling menatap, mata dengan mata. Agil hanya mampu mengangguk pelan. Ia miringkan kepalanya hingga kini bibirnya pada tangan Nayya. Keduanya terus berdoa dalam hati agar malaikat maut belum datang secepat ini. Berharap akan masih ada cerita bagi keduanya bersama si calon anggota baru di keluarga kecil mereka. Berharap agar operasi ini berjalan dengan lancar.



Keduanya masih berbagi tatapan dan doa dalam diam. Hingga perawat datang dan mengatakan bahwa semua persiapan operasi telah selesai. Artinya saatnya Agil dan Nayya harus berpisah. Agil melepas sang istri dengan pelukan yang amat erat. Berat baginya untuk menerka-nerka, apakah ini akan menjadi pelukan terakhir bagi mereka.

Bukan AkhirWhere stories live. Discover now