4. Gadis Kecil yang Tidak Disukai 1

34 7 15
                                    

Pagi mulai menampakkan dirinya. Fajar telah menyingsing di ufuk Timur. Matahari masih malu-malu untuk menampakkan dirinya. Tapi cahayanya sudah cukup untuk mengusir kegelapan. Ayam berkokok dengan semangatnya, menjadi alarm yang cukup ampuh untuk membangunkan orang-orang yang malas untuk bangun.

Satu hari yang menyenangkan dan menyakitkan kini telah berlalu kembali. Hari dan semangat baru kini telah menanti di depan sana. Sebagian orang telah terbangun dari lelapnya tidur, bergegas untuk mandi dan bersiap-siap pergi melakukan aktivitas sehari-harinya. Sebagian orang lagi lebih memilih menarik selimutnya dan kembali ke dunia mimpinya.

Jendela-jendela rumah mulai dibuka. Asap mengepul dan wewangian makanan tercium di setiap rumah. Ibu-ibu sangat sibuk sekali menyiapkan masakan untuk anaknya yang akan sekolah dan suaminya yang akan bekerja. Pagi hari memang waktu tersibuk bagi semua orang. Tapi sebagian orang ada juga yang masih bermalas-malasan, enggan untuk bangkit dari kasur. Sama halnya dengan Mutiara, ia sudah dari tadi dibangunkan oleh ibunya, tapi setiap ia sudah bangkit pasti balik lagi ke kasur. Mungkin kasurnya mempunyai magnet yang mampu menarik kembali gadis kecil itu, sehingga setiap kali sudah bangkit pasti ia kembali lagi ke kasur.

Mbak Inah sangat semangat sekali memasak. Ia bersenandung kecil sambil menggoreng telur mata sapi. Sebelum memasak telur mata sapi, ia sudah memasak beberapa makanan seperti Spageti,roti bakar dan pisang goreng serta ia sudah menyiapkan bekal untuk Layu dan Mutiara. Sesudah selesai memasak telur mata sapi, Mbak Inah pun segera pergi ke kamar Layu untuk membangunkannya. Ia mengetuk pintu kamar Layu dengan semangat.

"Non bangun ! Sarapan pagi sudah siap."

Layu membuka pintu. "Layu sudah bangun dari tadi kok Mbak. Lihat Layu sudah siap pergi ke sekolah." Layu memutarkan badannya. Menunjukkan bahwa ia sudah memakai seragam merah putihnya itu.

"Cantik sekali Non." Mbak Inah seperti biasa mencubit pipi Layu.

"Aw sakit. Mbak Inah kebiasaan deh. Gimana kalau pipi Layu semakin membesar coba, Mbak Inah mau tanggung jawab ?" Layu memegang pipinya yang merah.

Mbak Inah tertawa. "Maaf Non, habisnya gemas sih." Mbak Inah mencubit pipi Layu lagi, tapi kini gadis kecil itu berhasil menghindar dan menjulurkan lidahnya sambil berlari ke dapur.

"Awas ya kau monster kecil."

Mereka berlari, saling kejar-mengejar di rumah yang luas itu. Bibinya yang sedari tadi sedang menyiapkan keperluan Mutiara untuk sekolah pun terlihat pusing gara-gara melihat mereka. Akhirnya ia membentak mereka. Mereka terdiam dan akhirnya segera menuju ke dapur untuk sarapan.

Pagi ini Layu terlihat sangat riang sekali. Walaupun wajah dinginnya itu tak lekas hilang, tapi tingkah lakunya menunjukkan bahwa pagi ini ia sangat bahagia. Mungkin penjelasan Mbak Inah semalam telah sedikit mengobati luka di hatinya.

Layu sangat menikmati makanan yang sudah disiapkan oleh Mbak Inah. Ia terlihat lahap sekali memakan telur dadar kesukaannya. Seperti biasa, Mbak Inah menatapnya dengan tatapan penuh kasih sayang.

Ketika mereka sedang sarapan, Mutiara baru bangun dari tidurnya. Ia tergesa-gesa mandi, takut kesiangan. Setelah mandi, ia tak ganti baju dulu tapi segera ke dapur untuk sarapan. Ia terlihat sangat terburu-buru sekali, karena jam sudah menunjukkan pukul 6.35 WIB, dan ia sama sekali belum siap pergi ke sekolah. Berbeda dengan Layu yang sedari subuh sudah bangun. Layu sudah siap dari tadi.

Mutiara makan sambil dipakaikan baju oleh Mamanya. Mbak Inah dan Layu saling pandang. Mbak Inah menahan tawanya karena kejadian itu sangat lucu, rusuh sekali.

"Mbak, Layu pergi sekolah dulu ya." Layu mencium tangan Mbak Inah.

"Iya Non, hati-hati di jalan ya. Baca do'a dulu sebelum berangkat, jangan nakal di sekolahnya ya, jangan lupa habiskan bekalnya dan –"

"Dan perhatikan guru yang sedang menerangkan. Aku sudah hafal saking seringnya Mbak Inah berkata seperti itu." Layu memotong pembicaraan Mbak Inah. Ia mengambil bekal dari tangan Mbak Inah.

Mbak Inah tertawa sambil memeluk Layu. Layu membalas pelukannya.

"Layu gak mau bareng sama aku dan Mas Jarwo naik mobil ?" Mutiara berbicara sambil mulutnya dipenuhi oleh makanan.

Layu menggeleng. "Tidak, terimakasih."

"Sayang, jangan bicara ketika makanan masih berada di dalam mulut." Mamanya memarahinya. "Benar loh Yu, mending kamu kali-kali ikut bareng saja dengan Ara naik mobil. Daripada jalan kaki, entar kesiangan loh."

"Enggak Bi, terimakasih. Lebih baik jalan kaki saja, biar sehat. Lagipula sekolah Layu dan Ara kan beda, sekolahku lebih dekat. Paling lima belas menit juga sudah sampai kok." Layu mencium tangan Bibi Amel.

Sekolah mereka memang beda. Layu bersekolah di SD dekat rumahnya sedangkan Mutiara bersekolah di SD Swasta yang lumayan jauh dari rumahnya. Sekolah Mutiara adalah sekolah berkelas yang dihuni oleh siswa dan siswi yang kaya raya sedangkan sekolah Layu terkesan biasa saja, tapi sekolahnya adalah sekolah yang berisikan siswa dan siswi yang sangat berprestasi, termasuk Layu.

"Oh yaudah, hati-hati di jalan ya." Tukas Bibinya.

Layu berjalan dengan semangatnya menuju ke sekolah. Di sepanjang jalan ia sudah membayangkan hari-hari menyenangkannya di sekolah yang sudah menantinnya. Hati kecilnya menggebu-gebu. Tak sabar ia ingin segera sampai.

Namun, ketika Layu sudah sampai ia menundukkan kepalanya. Di luar ternyata sangat ramai, dan Layu sangat benci keramaian. Ia menundukkan kepalanya dan segera berlari menuju kelasnya.

Hari yang menyenangkan itu bukan berada di luar sekolah. Bukan pula bercanda gurau dengan kawan-kawannya. Hari yang menyenangkan itu berpusat di sini, di kelas tercintanya. Karena hari yang menyenangkan di sekolah menurut versi Layu adalah ketika guru menerangkan dan ketika ulangan.

Layu duduk di bangku paling depan. Ia membuka buku paket IPA dan membaca halaman yang akan dipelajari hari ini. Ia sudah sangat tak sabar sekali menanti guru yang akan mengajarnya pagi ini.

Teman-teman sekelasnya sih terlihat tidak seantusias Layu dalam hal belajar. Sekarang pun mereka malah terlihat asyik bercanda di belakang. Padahal masih pagi, tapi mereka sudah sangat berisik sekali. Ada yang main kejar-kejaran, ada yang sedang jahil dan ada yang sedang mengobrol. Hanya Layu sendirilah yang asyik dengan dunianya sendiri.

"Layu !" Tiba-tiba teman sebangkunya, Vrika, mengagetkan Layu yang sedang fokus membaca dan tersenyum manis pada Layu.

Layu hanya menolehnya sekilas. Ia tak membalas senyum Vrika. Ia hanya menatapnya dengan wajah dinginnya itu.

"Pagi-pagi kok wajahmu sudah terlihat seram Yu." Vrika terkekeh pelan.

Layu tak menggubrisnya sama sekali. Lagipula ada yang aneh dengan Vrika hari ini, padahal biasanya ia tak pernah sekalipun mengajak Layu bicara. Ia sama seperti teman-teman yang lainnya yang menganggap Layu itu tidak ada. Pasti ia begini karena ada maunya.

"Yu, hari ini kan ulangan Matematika nih. Aku lupa tidak belajar tadi malam, kamu mau kan bantu aku ? Nanti kasih contekan ya, please. Aku tak mau dapet nilai nol, nanti Mama marah sama aku. Nanti aku traktir deh ya." Vrika memelas pada Layu. Sudah Layu kira, ia mengajak Layu bicara pasti karena ada maunya.

Layu menatapnya dengan tatapan tajamnya. "Enggak mau. Usaha sendiri itu lebih baik. Percuma dapat nilai besar tapi hasil orang lain." Ia berbicara ketus.

Vrika mendengus kesal. "Dasar pelit. Pantesan kamu tidak punya teman." Ia mengambil buku di tasnya dengan kasar dan membanting buku itu ke meja saking kesalnya dengan perkataan Layu yang tepat menusuk hatinya.

Luka AbadiWhere stories live. Discover now