d u a p u l u h d e l a p a n

17.1K 997 44
                                    

Untuk apa berharap bila 'harap' yang diharapkan tak juga menemukan peraduan?

Dear, Ustadz

(Kalian kalau mau repost quotes Dear Ustadz di ig jangan lupa tag aku ya. Hehe. Sekalian promosi. Ig aku : @rika_rosita2210)

****

Maira menumpukan dagu pada bingkai jendela sembari mengamati gerimis yang sudah beberapa waktu lalu mendera Jakarta. Wajahnya ia biarkan sesekali terkena percikan air. Rasanya dingin, namun menyegarkan. Suasana malam ini benar-benar melucuti kehangatan, ditambah tiupan angin malam yang berembus mengenai kerudung yang ia kenakan membuat kulit Maira yang putih terkesan pucat.

Sudah pukul 21.30.

Sekali lagi ia mengamati pintu kamar yang tak kunjung terbuka. Diamnya pintu itu menjadi tanda bahwa seseorang yang sudah ia nanti sejak tadi tak juga menampakkan diri. Ah, mungkinkah kantor masih perlu peran Zainal hingga lelaki itu tak pulang sampai jam segini? Atau .... mungkinkah lelaki itu sengaja pulang menunggu Maira tidur lebih dulu?

Dia berpikir demikian sebab perilaku Zainal tiga hari belakangan berubah padanya. Lelaki itu akan pulang entah pukul berapa karena Maira sudah tertidur dan akan berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, menghindari berbicara banyak dengan gadis tersebut. Mungkinkah suaminya itu menghindar karena pembicaraan mereka di meja makan waktu itu?

Embusan napas yang cukup kasar terdengar entah untuk keberapa kali. Pikirannya semakin gusar kala mengingat lagi apa yang telah terjadi belakangan. Sejujurnya, Maira sudah terlampau nyaman dengan pernikahan ini. Dia sudah terbiasa tidur berbagi ranjang dengan suaminya, melihat betapa berantakannya Zainal selepas tidur, menyiapkan makan, dan masih banyak lagi. Dia pun sudah terbiasa dengan banyaknya aturan dan larangan yang harus dipatuhi sesuai ucapan Zainal. Rasanya pasti sangat kosong bila ia harus kembali hidup seperti dulu --- selalu sendirian.

Akan tetapi, kini ada Samara. Gadis itu juga butuh perhatian seperti yang sudah ia dapatkan. Apalagi kondisi Samara tak bisa dikatakan baik-baik saja. Dia mengutarakan permintaannya itu bukanlah tanpa sebab. Tidak ada seorang wanita yang ingin dimadu, apalagi dicerai agar suaminya menikah lagi dengan wanita lain --- dan yang lebih berat adalah kali ini sahabatnya sendiri.

"Apa permintaanku waktu itu salah? Apa aku salah saat menginginkan Samara punya kehidupan yang baik?" gumamnya

Pikirannya kembali menerawang. Dirinya pun sejujurnya tidak ingin mengakhiri pernikahan dengan Zainal, dia masih ingin menjadi makmum yang lebih baik bagi lelaki itu. Masih banyak kesalahan yang dia buat dan ia masih ingin memperbaikinya. Namun, kenapa semuanya kembali terasa begitu runyam saat ia sudah nyaman? Saat ia perlahan menerima pernikahan ini, kenapa takdir seakan mempermainkannya?

"Zainal, aku tahu aku egois. Aku terlalu mementingkan inginku, tanpa tahu bagaimana perasaanmu. Tapi tidak ada dari sikapku yang hanya punya tujuan untuk memenuhi egoku. Aku nggak bisa melihat Samara berjuang sendiri dengan komanya tanpa ada yang mendampingi. Rasanya sangat menyakitkan sepanjang hari hanya bisa berbaring di ranjang. Sungguh, aku tahu rasanya. Aku kuat karena waktu itu banyak yang mendukung. Entah itu Ummah, Abbah, Nanda .... dan kamu. Tapi kini Samara sendirian, dia hanya punya aku."

Setetes air mata mengalir. Punggungnya bergetar. Rasanya sangat sakit, hatinya seperti diremas. Semua kejadian ini memojokkannya. Bagaimana bisa ia membiarkan Samara dengan kondisi seperti itu, sedang dirinya punya segalanya yang sejak dulu diinginkan keduanya?

Maira menghapus air mata saat melihat mobil hitam milik Zainal masuk ke pekarangan. Tampak lelaki itu bergegas lari menuju rumah menghindari hujan setelah turun dari mobil. Bagaimanapun juga, dia harus membicarakan semuanya dengan Zainal. Bila hal ini terus dibiarkan, bukannya selesai justru masalah akan semakin lebar.

Dear, Ustadz (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang