Tres

47 2 0
                                    

Percaya ngga percaya, aku selalu senyum-senyum sendiri kalo aku chatting sama Odi. Every messages make me fly to the moon—ini hal ter-cringe yang pernah aku katakan.

"Ngga usah senyum-senyum." Tegur Riyu.

Ternyata yang sedari memerhatikanku.

Wajahku sedikit merah. "Nggak. Sok tahu."

"Ciee, Mba Dera jatuh cinta." Ledeknya dengan riang.

"Sshhh. Kamu tuh, mulutnya ember niiih!"

Riyu masih tertawa.

Percuma Ri, mau kamu ngeledek aku sampe matahari ngga bersinar lagi, Odi ngga akan pernah ngeliat aku. We are friends, nothing more. Harusnya aku tahu akibatnya mencintai dalam diam seperti ini. Kadang aku ngga tahan dengan semua ini, i went to the club and get drunk. Kalau udah kayak gitu, tetep aja Odi yang setia jemput aku dan membiarkan aku singgah di rumahnya sementara biar mama sama papa ngga ngamuk. Any reason to unlike you? No, Dih. Selama aku masih bisa mengontrol diri untuk itu semua, aku aman, dan selama mulutnya Mas Aji masih bisa di jaga, aku aman. I think to get a simple life is hard, everyone should know your life either you have a serious problem.

"Mas, makasih ya. Jangan pernah berubah rasanya." Kataku meledek.

"Tenang, Mba. I won't let you down."

Aku ternganga. "Wow, bisa bahasa inggris sekarang?"

"Little-little i can." Jawabnya sambil tertawa.

Aku dan Riyu segera kembali ke kedai dan kembali bekerja seperti biasa. Ngga heran kan, kalau sudah banyak orang yang mengantre untuk mendapatkan kopi terbaik di dunia?—I'm kidding. But trust me, banyak banget pelanggan yang sampai aku hafal pesenan dan mukanya. Jadi, aku bisa mengurangi pemakaian kertas karena tidak perlu menulis ulang pesanannya. Yeah, my life could be simple too.

"Dera! Kayak biasa." Kata salah satu pelanggan setiaku.

Aku mengangguk. "Siap. Ditunggu, ya."

"Der! Kayak kemaren, tapi kurangin gula-nya sedikit."

Sedikit perubahan, tapi ngga jadi masalah buatku.

"Dera. Tante minta gula-nya lagi, ya?" Tante ini terbalik dengan aku walaupun dia sudah berumur, tapi jiwanya masih muda. Atau bahkan terlalu muda. Jangan kaget ya, umur sekitar 40 tahun masih bisa menikmati kopi dan sebungkus rokok setiap harinya.

That's crazy, isn't it?

Aku ngga tau itu bener atau engga, tapi ngga ada salahnya percaya sama orang yang lebih tua, kan?

Ngga kerasa karena terlalu rame-nya kedai kopiku, waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB. Aku harus segera pulang dan bersiap-siap bertemu my first love and my best friend also, Odi.

"Ri, aku pulang dulu ya. Aku titip kedai sama kamu ya." Kataku terburu-buru.

Riyu memberi tatapan aneh. "Cie, nge-date terus. Tapi ngga pernah ganti status, ya?"

"Ih! Nyebelin."

"Hehehe. Semoga malem ini ganti status, ya."

Aku tersenyum paksa. "Whatever. Jangan lupa Jujun suruh belanja! Dadah!"

Aku berlari menuju mobil tergesa-gesa. Nggak ingin telat satu menit-pun karena nggak mau ngecewain orang nggak akan pernah ngeliat aku. Sad but true, guys. Don't be like me. Don't be a fool by a man. Aku tancapkan gas menuju rumahku yang memakan waktu sekitar 45 menit dari kedai, itupun kalau tidak macet. You know Jakarta, right? Traffic everywhere. I hate that. Ngga perlu waktu yang banyak untuk aku habiskan di rumah. Mandi, dandan, dan ya berpakaian seperti biasa. Mau aku dandan dan pakai baju apapun, Odi nggak akan pernah komentar. He loves me for who i am, as best friend. Remember. Kemeja kotak-kotak dan ripped jeans sudah terlihat sangat cukup untukku. Say goodbye to dress, tanktop, or everything else.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 02, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Ekspetasi vs RealitaWhere stories live. Discover now