Di tengah pikiran untuk membalas perbuatan Gesang, tiba-tiba saja ada hal yang menganggu pikiran Aira. Semua pikirannya hilang seketika karena dia.

Di balik kaca berembun itu pandangan Aira hanya terpusat pada satu orang.

Hujan dan dia. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Aira pikir ia sedang jatuh cinta.

***

2019

"Teh hangat kesukaan elo, tuan putri."

"Terima kasih, pengeran," balas Aira dan mereka tertawa bersama.

Cowok yang baru saja membelikan teh hangat untuk Aira mengambil kursi dan duduk di depan Aira.

"Hobi elo sejak dulu enggak pernah berubah ya. Kalau enggak bermalas-malasan di tempat tidur lagi hujan gini, ya pasti baca novel ditemani teh hangat."

"Kalau hati elo gimana, masih sama atau udah berubah?" sambungnya.

Aira berhenti membaca novel dan ia menatap cowok berambut keriting di depannya.

"Kenapa lihat gue gitu? Pertanyaan gue susah banget di jawab ya?" tanyanya saat Aira cuma diam dan malah memerhatikannya.

"Kalau gue bilang, hati gue enggak pernah berubah, apa elo akan percaya?"

"Tunggu, biar gue perjelas. Maksud elo enggak pernah berubah di sini itu gimana? Enggak pernah berubah sejak delapan tahun lalu atau enam tahun lalu?"

Aira bukan hanya berhenti membaca, ia juga sudah memutup novelnya. "Sebenarnya elo mau menemani gue atau mau memojokkan gue sih?"

"Tentu saja, gue mau menemani elo," jawabnya. "Gue hanya cuma mau tahu perasaan elo. Gue hanya mau tahu apa gue masih ada kesempatan atau enggak."

"Kan sudah gue jawab tadi. Hati gue enggak pernah berubah. Cuma dia yang ada di hati gue sejak dulu, sejak enam tahun, delapan tahun, atau bahkan sejak beberapa tahun lalu yang tidak sempat gue hitung."

"Walaupun gue lebih ganteng dari dia?"

"Walaupun elo lebih ganteng dari dia."

Delapan tahun atau enam tahun yang lalu, Aira pikir cuma mereka yang bisa membuat hatinya berlabuh, namun sekarang—dalam dua puluh tiga tahun hidupnya—Aira sadar hanya ada dia yang selalu menjadi tempat hatinya berlabuh.

"Jadi, sekarang ini, elo masih pemuja hujan atau penikmat hujan?" Mungkin cowok berambut keriting itu tidak puas dengan jawaban Aira, makanya ia terus melempar tanya.

"Dulu gue pemuja hujan, tapi sejak delapan tahun lalu, gue sadar kalau hujan itu tidak hanya pantas dipuja tapi juga dinikmati, meskipun kosensukuensinya gue bakal sakit."

Cowok berambut keriting itu tersenyum kecil. "Aira Talitha yang gue kenal sudah tidak membenci hujan lagi?"

"Kapan gue membenci hujan? Gue memang punya imun rendah, tapi gue tidak pernah membenci huj—"

"Tidak pernah membenci hujan, Aira Talitha?" Cowok keriting itu memotong ucapan Aira.

"Maksud gue, pernah," Aira melarat kalimatnya. "Tapi, sekarang gue sadar kalau hujan tidak pantas dibenci karena kalau kata Alit Susanto: 'hujan turun ke bumi adalah untuk menghembus rasa rindu di hati para manusia."

"Dan elo sedang rindu?"

"Apa?"

"Apa elo merindukan dia?"

Aira tidak menjawab dengan ucapan, ia menjawab dengan anggukan—anggukkan kepala tanpa ragu.

"Lalu kenapa selalu gue yang harus menemani elo nongkrong di kafe Pelangi tiap hujan kalau ternyata yang ada di hati elo cuma dia? Buat apa gue, Aira, kalau elo rindu dia?"

"Karena gue tuan putri elo. Apa tuan putri tidak bisa menjumpai pangerannya?"

"Elo memang tuan putri gue, tapi gue bukan pangeran elo."

Aira terdiam dan tidak bisa langsung menjawab.

"Aira Talitha, gue tahu pangeran elo cuma dia, dulu, sekarang, bahkan nanti."

"Tapi—"

"Aira, coba elo lihat kaca ini." Ia menujuk kaca yang berada di sampingnya dan Aira mengikuti intruksinya. "Dalam kaca berembun ini, siapa yang elo lihat?"

Enam tahun lalu, Aira duduk di kursi yang sama dalam suasana yang sama, bedanya ia bersama teman sepopoknya—Gesang Pramudya Radhinka. Enam tahun lalu, Aira jatuh cinta. Enam tahun setelah itu, Aira duduk bersama dengan orang yang selalu menganggap dirinya tuan putri.

Kafe Pelangi, kamis, hujan, dan kaca berembun seperti proyektor yang sedang memutar video dokumenter di atas layar putih.

"Siapa yang elo lihat, Aira?"

"..."

"Bukan gue 'kan?"

"Bukan," jawab Aira. Berbohong tidak akan ada guna.

"Cuma dia 'kan?"

"Elo benar, cuma dia," kata Aira. "Cuma dia yang bisa membuat gue kembali jatuh cinta sama hujan dan cuma dia yang bisa menjadi pangeran gue."

Ya, cuma dia, malaikat berpayung gue.

Bersambung.

Bonus:

Bonus:

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Hello, Rain!Where stories live. Discover now