"Iya, iya, iya, Gesang Pramudya Radhinka, gue paham," kata Aira.

Gesang tersenyum kecil melihat ekspresi kesal Aira, seketika kekesalannya—yang sempat hadir karena Aira meninggalkannya di sekolah sehingga memupuk perasaan khawatir—menghilang begitu saja. Aira tidak pernah suka kalau orang lain mengkhawatirkan dirinya dengan berlebihan, meskipun bagi Gesang perhatian yang ia berikan tidak pernah berlebihan.

Gesang akan sangat merindukan saat-saat mereka bersama nanti ketika Aira benar-benar memutuskan untuk meninggalkannya. Bagaimana pun juga Gesang tahu kalau suatu saat nanti Aira bakal jatuh cinta dan sebagai sahabat Gesang harus melepaksan Aira.

Melepaskan Aira setelah selama ini selalu hidup bersama terasa sangat mengganjal di hati Gesang. Sebagian dari hatinya ingin selamanya bersama Aira, namun Gesang hanya manusia biasa yang tidak punya daya jika semesta sudah berkehendak.

Sejak dua tahun lalu, Gesang menyadari kalau kata selamanya mungkin tidak pernah ada dalam kamus hubungan mereka. Mereka adalah dua orang sahabat yang tidak bisa bersama lagi kalau sudah punya pasangan suatu saat nanti.

Untuk sekarang, biarkan Gesang menikmati kebersamaan mereka. Biarkan Gesang menyimpan banyak kenangan manis bersama Aira.

Pipi mengembung Aira membuat Gesang tidak tahan untuk mencubit pipi dan mengacak rambut Aira.

"Yak, sakit! Jangan rusaki rambut gue, Gesang!" Aira mengeluarkan protesnya dengan teriakan dan pengujung lainnya pada memutar kepala untuk melihat Aira.

"Maaf, maaf," kata Aira dan ia merasa malu karena tidak bisa mengontrol suaranya. Saat ia menatap Gesang, kekesalannya semakin meningkat karena Gesang dengan santainya menyeruput teh hangatnya tanpa permisi.

Aira ingin mengelurkan kekesalannya dengan teriakan lagi, tapi kalau ia teriak, maka ia akan jadi pusat perhatian kembali. Karena tidak mau menjadi pusat perhatian, Aira harus menekan kekesalannya dan ia jadi mendesis.

"Gesang, jangan asal minum teh orang dong! Elo banyak duit pun pelit."

"Gue hemat," ralat Gesang.

Bilang aja kalau elo mau balas dendam! kata Aira dalam hati.

Sumpah, wajah Gesang saat ini benar-benar minta ditimpuk. Oh, atau ia timpuk saja dengan novel Dee yang tebal ini?

"Bilang aja pelit!"

"Hemat!"

"Peli—"

"Hemat! Gue sangat hemat Aira ku sayang," potong Gesang dan Aira tidak tersipu sama sekali dengan kata sayang dari Gesang karena Gesang benar-benar sangat menyebalkan.

Aira mengambil pembatas cerita dan meletakkan di halaman terakhir ia baca sebelum menutupnya dengan keras—dibanting ke atas meja. Gara-gara Gesang, kamis dan hujan hari ini tidak lagi baik.

Bantingan itu tidak membuat Gesang terkejut atau tersentak, Gesang justru tertawa.

"Aira, elo kenapa lucu sekali sih?"

Terserah! Terserah, Gesang!

Gue memang lucu kayak badut dan elo sangat senang kalau gue jadi bahan candaan elo.

Gue sudah tahu, jadi terserah!

Aira membuang muka ke luar jendela dengan cemberut. Aira tidak akan membiarkan Gesang menang. Mungkin benar, Aira harus mematuhi Gesang karena Gesang sudah mengambil peran Faisal kalau Faisal enggak ada, tapi Aira tidak akan menerima kalau Gesang berbuat seenaknya begini. Mungkin mendiamkan Gesang sampai malam adalah pilihan yang baik.

Hello, Rain!Where stories live. Discover now