Uno

30 2 0
                                    

Who doesn't love coffee? Everyone's love coffee. Their have own tastes. For me, sweet coffee is like your moodboster when peoples give a shit to you. Aku dari dulu selalu berusaha untuk mencintai kopi, tapi terkadang, coffee isn't good enough for me. I just need some sweet food to make my mood better. Nggak ada minuman lain yang bisa menandingi dahsyatnya efek dari kopi. It made me stay for five days in hospital because of coffee. Aku punya penyakit maag yang parah atau bisa dibilang sudah akut karena pola makanku yang nggak pernah benar. Nggak pernah. Diet? I don't think so. Aku ngga pernah ngejalanin diet berlebihan, kayak engga makan seharian, makan nggak pake nasi—makan ngga pake nasi itu kayak tidur nggak pake guling! Aku paling nggak bisa makan nggak pake nasi. But, i understand why people out there sometimes eat without rice.

I eat. I do. Tapi, yang aku sayangkan adalah waktu makanku. Waktu makanku mulai kacau karena aku harus dan wajib ngurusin bisnis kopi kecil-kecilanku ini. Bisnis ini bukan sebuah bisnis turun-menurun dari orang tua. Sorry? I made my own business. My parents don't give a shit for my business. They just like, "wow" but no appreciation. Aku sendiri bingung kenapa orang tuaku nggak bangga sama sekali dengan pencapaian anaknya perempuannya. Mereka masih berpikir bahwa menjalani bisnis adalah hal yang sulit dan aku nggak akan bisa ngejalanin itu. But, i can prove it to my parents. We will see, mom and dad. As long as i can manage my time and money, i can handle everything. Aku ngga peduli kenapa mereka nggak mendukungku dalam hal ini. When everyone left me, there is someone who never leaver wherever it takes. There he is, my brother, Aji.

Mas Aji salah satu alasan aku untuk bertahan menjalani bisnis kedai kopi ini. Walaupun terkadang dia lebih sering menasehatiku karena kelalaikanku untuk memberi gaji para pekerja. But that's okay. I love him, very much. I spent my time with read books about coffee and business. Maaf, aku bukan tipe orang suka baca buku dan fokus pada satu hal. Aku lebih suka observasi, dateng ke tempatnya langsung untuk mencari tahu bagaimana dan seperti apa seorang pebisnis itu. Sesekali aku mampir ke toko baju punya temanku, she is a designer, not really good i think. But, she has a good way to make her business wider. Ya, seharusnya aku kuliah soal bisnis, bukan soal bahasa. Sangat sangat menyesal karena mengambil keputusan waktu aku sehabis berantem sama mama. Lagi-lagi mama.

"Mba, mba?" Sapa seseorang sambil melambaikan tangannya.

Aku masih dalam lamunanku.

"Hei?" Katanya lagi.

"Oh, iya. Mau pesen apa?" Kataku sambil memersiapkan buku pesanan.

Dia tertawa.

"Sibuk banget sampe ngga tau gue siapa?"

Aku ternganga. "Ah elo. Iya, sibuk ngelamun."

Ternyata, my first love!

"Dari dulu kerjaan lo ngelamuuuuun terus. Ngga mau ganti hobi? Jadi bengong gitu?" Katanya dengan senyuman tipis di wajahnya.

"Sama aja dong, Didih." Jawabku dengan muka terjutek sedunia.

Didih? It sounds weird, but i love that name. The people too. Didih is nick name from my best-best-best friend, Daniodi. Sebenernya, panggilan aku untuk dia itu Odi, tapi lama-lama manggil dia Didih lucu juga, kayak 'daddy'. Itu hanya sebagian dari mimpi aku sama dia. Entah aku yang bodoh atau gimana, tapi hati aku dari dulu masih buat dia. Oke, i'm stupid girl. My first love since highschool. Dia adalah orang pertama yang ngeliat the most embarassing moment i've ever had. The only reason i love him untill now is, he is the one who make me like the happiest girl in the world. Mungkin itu adalah alasan kuno yang digunakan perempuan buta kayak aku gini. Semua orang bisa bahagia dengan siapa saja dan apa aja, tapi buat aku, ada dekat sama dia aja udah bikin aku seneng.

"Nanti sampe malem nggak?" tanyanya.

Aku menggeleng. "No idea, why?"

"Masa bos ngga tau jam kerja sih?" ledeknya sambil memukul bahuku.

"Pengen lembur, lagi stres."

Dia tersenyum lebar. "Makan malem deh."

"Gitu dong! Stres gue dijamin sembuh." Kataku tersenyum juga.

"Kadang gaji sebulan gue cuma buat traktir lo, Der."

Aku tertawa. "That's what friends for, Dih."

"Okey. See you later, Derana." Aku mulai kehilangan bahunya.

"Tempatnya?" teriakku dari meja kasir.

"Nanti gue whatsapp!" Katanya dengan teriak juga.

Derana? Ya, dia terkadang memanggilku dengan panggilan sayang itu. I told you, i'm the happiest girl in the world when i'm with him. Terdengar sangat membosankan bukan? Kalau bukan karena dia cinta pertamaku, aku sudah menjelajahi semua pribadi semua lelaki, mungkin. Sayangnya, yang aku tahu cuma dia, Daniodi Gibran. Orang yang paling nggak peka (khususnya buat perasaanku), perhatian itu pasti, tapi perhatian ke semua orang. So, wajar kalo cewek-cewek centil dan genit menaruh hati sama sahabatku yang ganteng ini. Begitupun aku. Selain ngga peka dan perhatian, dia adalah orang yang ibadahnya menjadi nomor satu dalam hidupnya. Tidak heran jika orang tuanya juga mengharapkan a good wife too. Ngga kayak aku yang kerjannya kesana kemari, nggak jelas. Ya tapi selama janur kuning belum melengkung, aku masih berharap sama Odi, nggak ada salahnya kan?

-Jangan pernah berhenti berharap. 

Sabtu, 29 Juni 2019

The story begin. 

Please welcome, Derana Rahadin. 

Selamat datang pula di kisah cinta gue yang membingungkan dan jauh dari kata bahagia. 

Tombol vote, like, dan kolom komen menunggu kalian semua. 

Ekspetasi vs RealitaWhere stories live. Discover now