AMANAT SANG FAJAR

24 2 0
                                    

Badan yang cukup berisi membuatku kurang nyaman untuk duduk terlalu lama, apalagi sampai harus tidur duduk seperti anak sekolahan yang pindah tidur dari rumah ke ruang kelasnya. Namun kali ini aku tak mau membiarkan hal itu memagariku dengan Kak Aruna yang sedang terbaring dalam keadaan sebelum titik. Dia terbaring, entah nyaman atau tidak, hanya saja dia tak lagi bernapas dengan paru-parunya. Kalau saja bisa, aku akan membayar berapa pun agar paru-parunya berhenti mogok bekerja agar kakakku tak lagi harus bernapas dengan bantuan benda mati. Sembari membaringkan kepala dan setengah badanku membelakangi tempat tidurnya aku coba untuk berdialog dengannya. Sejak ibu meninggal kami sangat jarang bertukar kata, hanya sebatas formalitas sebagai kakak dan adik. Sampai beberapa waktu lalu kami sempat bertengkar hebat dan nampaknya aku sengaja berkata Apakah aku harus bicara dengan jasadmu atau kamu bicara dengan jasadku? Suara dalam diriku mengatakan ini adalah karma dari kata-kataku saat itu.

"Kak, apa ibu sudah mendatangi kakak dan meminta kakak untuk ikut dengannya?" Tanyaku lirih berharap ia sudah sadar dan aku dapat mendengar jawabannya Belum, Beg. Ibu masih ingin kita saling membersamai. Namun yang kuterima malah belaian ringan di kepalaku.

Aruna, kakakku ternyata yang memberi belaian itu. Serta-merta aku tegakkan badanku, memegang tangannya perlahan dan melihatnya. Ia nampak gelisah, cepat-cepat ku tekan tombol di atas tempat tidurnya untuk memanggil dokter atau siapapun yang berada di ujung saluran tombol itu.

Tak lama pintu kamar dibuka seorang dokter dan suster kemudian Mbah Mud yang paling terakhir masuk dan menutup pintunya. Dokter langsung mengecek dan bertanya padaku "Apakah pasien sudah sadar sedari tadi atau baru saja?" Tanyanya sambil menyoroti mata Aruna dengan senternya yang tidak lebih besar dari sebuah pulpen.

"Kalau saya tidak salah dia baru saja sadar, Dok." Jawabku tak yakin.

"Hanya saja dia nampak gelisah, karena itu saya tekan tombolnya." Tambahku, lantaran itu yang nampaknya Aruna rasakan.

Perlahan dokter melepaskan alat bantu pernapasan dan mendekatkan telinganya ke mulut Aruna dan terlihat olehku kedua bibirnya menutup membuka sangat pelan, dua buah pintu tempat suara meminta izin untuk keluar miliknya itu sangat mirip dengan milik ibu. Sepertinya tak banyak yang ia katakan karena mungkin udara masih terseok-seok di tenggorokannya dan dokter pun kembali tegak dan melihatku.

"Pasien ingin bicara dengan sang adik, sendiri." Ujarnya sambil mengarahkan suster yang mengikutinya sejak memasuki ruangan tadi dan juga Mbah Mud untuk mengosongkan ruangan, untukku dan kakak.

Ruangan ini pun serasa mengedapkan diri setelah orang-orang itu pergi dan bagaikan dua kutub magnet yang berbeda aku dan Aruna sudah menyatukan tangan. Dengan suara yang bahkan angin pun kesulitan mendengarnya ia berkata "Ja, maukah Eja memaafkan kakak?" Untaian kalimat tanya sebagai pertanda dimulainya perbincangan yang menyesakkanku.

"Kakak memintamu untuk menganggap kakak telah mati disaat kamu juga kehilangan seorang ibu." Tambahnya seiring dengan menambahnya sedikit kekuatan dalam genggamannya. Belum ada diksi yang bisa ku berikan padanya sebagai balasan, mereka malah mempersilakan air mataku untuk pergi lebih dulu.

"Jangan menangis, Ja. Berlatihlah mulai sekarang dalam memilah rasa. Jangan mudah membukakan pintu bagi air mata untuk keluar begitu saja." Ucapnya dengan napas tertatih yang berumur lebih tua darinya.

Aku coba menggunakan strategi menyerang balik emosiku, "Apa kakak akan pergi menjumpai ibu?" Tanyaku mencoba memenangkan pertempuran.

"Eja rindu pada ibu, kan? Mungkin Tuhan butuh bantuan kakak untuk menyampaikan pesan rindu Eja pada ibu."

Dengan wajah pucatnya dan kepala yang masih diselimuti oleh perban putih ia mencubit pipiku dan mengatakan "Kakak sayang Eja...Begja." Iring-iringan waktu, udara, dan nyawa lepas landas secara bersamaan dengan tujuan yang berbeda. Waktunya beranjak dari kebosanan, udaranya menuju hirupanku, dan nyawanya ikut dalam barisan menunggu tumpangan ke atas.


Du hast das Ende der veröffentlichten Teile erreicht.

⏰ Letzte Aktualisierung: Jun 28, 2019 ⏰

Füge diese Geschichte zu deiner Bibliothek hinzu, um über neue Kapitel informiert zu werden!

BEGJAWo Geschichten leben. Entdecke jetzt