30. Luka Menyakitkan

Start from the beginning
                                    

Beliau mulai memeriksa kondisi Allesya dengan teliti.

“Dok, apa yang terjadi sama saya?” tanya Allesya tidak sabar ketika dokter selesai memeriksa dirinya. “Kenapa kepala saya sakit, kaki kanan saya linu, dan perut saya seperti ada yang hilang?” Allesya bertanya ambigu di akhir kalimat.

Dokter itu melihat Ilham, dan mulai menjelaskan ketika Ilham hanya mengangguk, “Anda gagar otak kecil. Tulang kaki kanan Anda  retak, itu yang menyebabkan rasa linu di kaki.” Dokter hanya mengangguk mencoba meyakinkan.

“Anda juga ...” Dokter itu menatap Allesya ragu, “ginjal Anda hancur satu karena tertindih setir.”

Allesya terkejut dengan penjelasan dokter di akhir kalimatnya. Ia meneteskan air mata tidak terima. Ia terkekeh creepy, “Dokter pasti bercanda.” Ia menggelengkan kepala tidak percaya.

“Dokter pasti bohong, kan?” Allesya bertanya parau, ia meradang ketika dokter itu tidak menjawab, “Dokter pasti bohong, kan?!” teriaknya terisak.

“Hidup dengan satu ginjal tidak masalah. Asal Anda bisa menjaga kesehatan.” Dokter itu tersenyum, ia menundukkan kepalanya sedikit. “Saya permisi dulu.”

Ketika dokter telah keluar, Allesya menangis sejadi-jadinya. Ia tidak menyangka jika harus kehilangan ginjal. Memang tidak masalah, setidaknya ... ia ingin organ tubuhnya lengkap.

Supaya ia tidak perlu beristirahat dengan maksimal. Jika sudah seperti ini ... ia yakin bahwa berpeluang kecil untuk melakukan pekerjaan yang berat.

Bagaimana bisa ia mewujudkan mimpinya yang ingin memiliki industri kendaraan sendiri seperti Ilham jika kondisinya seperti ini?

Allesya menangis meraung-raung, membuat mereka yang menemani ikut merasakan pilunya hati Allesya, “Shit!” Ia menutup matanya dengan telapak tangan. “Kenapa, sih, harus aku yang dipermainkan takdir?” Ia mengeraskan rahangnya. Seolah-olah muak dengan keadaan yang ada.

Ya, seperti itulah takdir kehidupan.

Takdir selalu menyatu didalam hidup. Takdir selalu menyamar menjadi serangkaian kebetulan yang terjadi di dalam kehidupan.

Apapun yang terjadi, sungguh tidak bisa mengelak. Didalam kehidupan ini, hanya tercipta dua golongan manusia.

Satu, golongan yang selalu kuat dan senantiasa berusaha meski gagal sekalipun. Dua, golongan lemah yang mudah putus asa, sekali takdir mempermainkan, lebur sudah kehidupan.

Namun, daripada itu ... Allesya lebih memilih manusia golongan pertama. Sekalipun takdir membuat hidupnya terombang-ambing, merasakan sakit nan pilu yang silih berganti, ia akan tetap bertahan.

Tetapi, untuk saat ini Allesya merasa sangat rapuh dan lelah dengan semua yang menyandingi hidupnya.

Ia menutup matanya dengan telapak tangan, dengan mulut mungil yang terlihat bergetar menahan isakkan.

Terlihat tangan yang basah karena lelehan air mata yang membuat hati dan raganya sakit luar biasa.

“Dek?” Ilham mengelus puncak kepala Allesya dengan lembut. Ilham berusaha untuk membuat adiknya tegar. Ia tersenyum dan berkata dengan hangat, “Udah, ya, gak pa-pa.”

Allesya masih terdiam.

“Maafin Bang Ilham yang gak becus jagain kamu, ya.” Ilham mengulum bibir bawahnya, terlihat sangat gugup. Ia mengimbuhkan, “kamu adalah adik kecil Abang yang sangat kuat.”

Ilham mengecup puncak kepala Allesya dengan lembut. Kakak yang beristri satu itu mengangguk meskipun Allesya tak melihatnya, “Abang keluar dulu, ya. Barangkali kamu butuh Agil.”

Setelah mengucapkan itu, Ilham mengajak Rani untuk keluar. Tergantikan oleh Agil yang terduduk di kursi sisi brankar sembari menunduk menatap kekasihnya dengan sendu.

Agil mengelus-elus tangan Allesya yang bebas. Ia tersenyum kecut, “Maafin aku yang gak bisa jagain kamu.”

“Allesya, kamu tau apa yang lebih menyakitkan daripada apapun?” Agil menatap tangan yang menutupi mata Allesya. Berharap agar ia bisa menatap mata gadisnya ketika tangan itu dibuka.

“Yaitu melihat seseorang yang teramat disayangi terbaring lemah dengan beribu rasa lara yang mendera. Apalagi jika itu karena kesalahan diri-sendiri yang lalai dalam menjaga.” Agil mengusap rambutnya. Frustasi.

“Kalo udah kayak gini, sekecewanya kamu, tolong jangan menyalahkan garis takdir yang udah ditentuin Tuhan. Tuhan mengujimu karena rasa sayang. Didalam rasa sakit, akan ada rasa senang setelahnya. Aku percaya itu. Dan kamu pun harus percaya.”

Ya ... Agil sudah dipaksa untuk bersikap dewasa sebelum waktunya. Ketika ia masih remaja labil, ia mencoba untuk tidak terpengaruh oleh lingkungan keluarga dan friendship yang kacau balau.

Dan memang benar. Jika adanya satu kesalahan, akan mendewasakan sikap dengan perlahan.

Allesya menjauhkan tangannya yang digunakan untuk menyembunyikan air mata. Ia menatap Agil sembab.

Agil mengelus-elus pipi Allesya dengan lembut, “Kalo mau nangis ... nangis aja. Kalo pengen marah, marah aja. Kalo butuh pelampiasan, lampiasin aja semuanya ke aku. Asal kamu lega.”

Tangisan Allesya pecah kala itu. Ia menangis meraung-raung.

Ia marah. Sangat marah.

Ia kecewa. Sangat kecewa.

Ia ... sangat rapuh.

“Gue harus gimana?! Gue CAPEK!” Allesya menjerit dikalimat terakhirnya.

“Gue muak!” Allesya menarik kerah baju Agil dengan kasar. “ARGH!!!” Gadis itu meninju dada Agil dengan keras tanpa melihat arah tangannya. Ia menatap langit-langit yang pucat dengan tatapan kosong.

Agil terbatuk-batuk karena pukulan Allesya yang sangat keras. Ia hanya tersenyum sendu. Rasa sakit ini tak sebanding dengan yang dirasakan oleh kekasihnya.

Melihat Allesya yang semakin kacau, Agil lantas memeluk kepala gadisnya dengan perlahan. Menyalurkan ketenangan barangkali bisa membuat Allesya nyaman.

“Kamu segalanya untukku. Maka, bangunlah, tegarlah. Aku akan selalu di dekatmu.”

Tepat dikalimat terakhirnya, Agil meneteskan air matanya, membasahi perban yang ada di dahi Allesya.

Mereka yang menemani berjuang, mereka yang menguatkan ketika diri lemah, mereka yang mengerti ketika diri marah, maka jangan pernah lepaskan genggamannya!

***

Vote, plis!
Makasih, ya:)

ALLESYA [END]Where stories live. Discover now