❄️ BAB 12 - Doa Pasti Bertemu

Start from the beginning
                                    

"Lalu undangan itu bagaimana?"

"Tidak akan. Saya melarang santri saya ikut aksi apa saja kalau memiliki potensi mengusik ketenangan negara. Biarkan yang berkepentingan nanti mengadakan aksinya di alun-alun. Tapi jangan santri-santri saya."

"Baik Kiai."

"Sampaikan saja pada mereka atau siapa pun yang akan mengagendakan kampanye di sini. Pesantren akan menyambut. Kamu sudah tahu batasan-batasan yang saya syaratkan. Sampaikan juga tentang itu. Pesantren ini harus tetap suci dari interfensi politik. Termasuk pemasangan spanduk paslon tertentu, saya melarang. Biarkan mereka datang. Lakukan sosialisasi sebaik mungkin kalau mereka ingin. Kesempatan mereka hanya untuk menyampaikan visi dan misi, juga latar belakang mereka. Tidak perlu mengumbar janji. Santri sudah bisa menilai tanpa harus didikte."

"Baik Kiai."

Hamid kembali dengan nampan. Dia meletakkan secangkir teh celup dan satu wadah gula batu di atas meja, "Monggo, Mas."

"Terimakasih, Mid."

"Sama-sama." Hamid kemudian pamit untuk melanjutkan aktivitasnya dengan sapu lidi.

Suasana hening sesaat di ruang tamu.

"Kamu kok sudah jarang kelihatan ngaji Kamisan, Fur?" tanya Kiai Adam yang sontak membuat Furqan semakin menunduk.

"Belakangan pekerjaan sangat sibuk, Kiai," wajahnya tertunduk ke lantai.

"Kamis juga sibuk?"

Furqan terdiam.

"Sempatkan datang untuk Kamis pekan ini."

"Insya Allah."

Kiai Adam menggilas puntung pada asbak.

"Cincin yang kamu titipkan, sepertinya saya sudah menemukan calon yang sesuai."

Dada Furqan mendadak berdentum. Kedua telapak tangannya nyaris terasa kebas. Dia memang sudah menitipkan cincin itu selama kurang lebih dua tahun pada Kiai Adam. Sudah menjadi hal yang istimewa bagi seorang santri apabila bisa mendapatkan jodoh yang dipasangkan oleh kiai-nya sendiri. Santri memiliki sifat mulia dalam mengagungkan kiai mereka. Bahkan sampai urusan jodoh pun, sangat rikuh kalau mereka belum meminta restu pada kiai. Bagi santri kerelaan atau restu dari seorang Kiai merupakan sesuatu berharga yang disebut barakah; ialah sebuah alasan seorang santri berpijak dalam menuntut ilmu. Ngalap barakah.

"Kalau boleh tahu-," Furqan menahan diri untuk tidak terlalu antusias menanyakan perihal cincin atau siapa saja yang Kiai Adam maksudkan. Dia masih memiliki rasa malu. Sangat malu membicarakan itu di depan kiainya yang sangat dia muliakan.

"Dia alumni santri sini juga. Angkatanmu. Bedanya kamu ke Maroko. Tapi dia ke Ankara. Sekarang dia ngajar di SMAIT."

Perasaan Furqan berdesir. Dia langsung menerka-nerka. Siapa? Dalilah atau Yasmin? Santriwati seangkatannya yang dapat beasiswa ke luar negeri hanya Dalilah dan Yasmin. Dua nama itu juga sama-sama mengabdi di SMAIT sekarang. Dua nama itu saling berteman dengan baik. Dan dua nama itu juga sama-sama pernah berurusan dengan hati Furqan. Yasmin yang pernah mengusik hati masa remajanya. Sementara Dalilah seperti tumpahan misik pada permadani yang aromanya semerbak dari kejauhan antah berantah. Incaran semua santri laki-laki pada masanya namun sulit sekali disentuh.

"Dalilah sedang ikut Astrid ke Praha. Jadi saya tidak bisa mengenalkannya padamu saat ini. Atau ... kamu sudah cukup kenal?"

Jantung Furqon seperti meletup saat mendengar nama itu. Badannya seperti mendadak demam. Telinganya memerah.

"Fur?"

Furqan masih tertunduk.

"Bagaimana?" tanya Kiai Adam sekali lagi.

"S-selagi Kiai memberi restu," jawabnya singkat.

"Lhoo. Saya akan memberi restu kalau kalian berdua juga sama-sama menginginkan. Saya hanya mencoba memenuhi permintaan tolongmu. Kecocokan tetap itu keputusanmu, to?"

"Injih, Pak Kiai."

"Bagaimana?"

"Tapi-," Furqan gugup mengelap pucuk hidungnya, "Bagaimana kalau ... Dalilah tidak mau?"

"Itu kenapa saya bertanya kenapa kamu sudah jarang kelihatan Kamisan di sini," kata Kiai Adam teduh. Benang suaranya selalu seperti memiliki kekuatan magis dalam menggenggam hati santri-santrinya.

Furqan kembali tertunduk. Sebenarnya dia agak menyesal karena sowan ke rumah Kiai Adam saat dia masih memakai setelan kerja. Padahal dia selalu berusaha untuk memakai sarung atau minimal peci agar citra santri dalam dirinya masih ada.

"Sudah sekitar sebulan saya berbicara dengan Dalilah. Sama Bu Nyai Farah juga."

Sudah tidak bisa direm lagi detak jantung Furqan mendengar itu.

"Saya sampaikan seterang-terangnya. Apa maksud cincin yang saya pegang. Dan siapa yang menitipkannya."

Furqan mendongak ragu.

"Meski malu-malu dan baru memberi jawabanya seminggu kemudian, tapi dia menerima."

Furqan merasakan ada tetesan keringat yang mengalir di kulit dadanya.

"Dia bilang ke Bu Nyai Farah sudah mengistikharahi soal itu," Kiai Adam menjeda, "dan jawabannya mengejutkan."

Kiai Adam tahu santri di depannya itu sedang tidak karuan.

"Agaknya Dalilah menyimpan namamu sejak dulu. Dulu sekali. Malah dia sendiri yang bilang ke Bu Nyai Farah kalau namamu sudah seperti wirid, disebut-sebut setiap dia meminta ke Gusti Allah. Ya mungkin cara kamu titip cincin ke saya itu lantaran."

"M-menurut Kiai bagaimana?"

Kia Adam menatap langit-langit, "Kalau kamu siap, ya nanti sepulang Dalilah dari Praha kalian saya ijabkan. Itu pun kalau kamunya mau."

Furqan berkemelut dengan dirinya sendiri. Tapi apa yang dituturkan Kiai Adam sudah cukup untuk membuat dirinya tak bisa berpikir dengan halus lagi.

"Atau nanti Sultan yang melakukannya. Dia pulang nanti harus sudah mau duduk di sajadah imam saya. Dan pengalaman pertamanya akan menarik kalau langsung menikahkan santri. Kamu akan memulai sejarah jadi santri yang dinikahkan oleh Kiai muda. Dalam pengawasan saya tentunya, Fur."

Furqan mengangguk, "Insya Allah saya bersedia. Apapun keputusan yang menurut Kiai terbaik. Tapi kalau memang ini akan berujung positif, saya ingin Kiai yang menikahkan saya. Bukan siapa pun. Gus Sultan memang mumpuni. Tapi saya akan lebih bahagia kalau ... Kiai sendiri yang melakukannya."

Kiai Adam terkekeh, "Ya, itu terserah bagaimana keluargamu melimpahkan kuasa. Tapi kalau maumu begitu ya boleh saja. Karepmu."

"Insya Allah nanti saya coba bicarakan dengan Ibunda di rumah. Ibunda juga sepertinya akan manut apa yang Kiai arahkan. Kalau positif, mungkin saya dan Ibunda akan coba bertamu ke kediaman Dalilah."

"Iya, begitu saja."

"Kalau boleh tahu. Kapan Gus Sultan akan pulang?"

Ditanyai seperti itu luka rindu yang selalu basah terasa lagi perihnya. Kiai Adam selalu merasakan itu setiap kali ada orang yang menanyakan anak lanang kesayangannya itu.

"Tidak tahu," jawabnya pelan "Semoga tidak akan lama."

Dan waktu melempar percakapan itu pada belahan bumi yang lain. Di mana angin bertiup semakin dingin pada apartemen yang sekarang dihuni oleh calon kiai muda itu dan istri serta anaknya. Praha masih membeku. Namun doa kerinduan yang sehangat beludru berusaha membalut dari jauh.

Firasat seorang Kiai tak pernah salah. Benaknya tahu. Ada badai pelik yang menaungi anak lanangnya. Dia melihat. Mendengar. Dan merasakan setiap resah anak laki-lakinya nun jauh di sana.

"Pulanglah," rintih lirih benak Kiai Adam.

******

☺️
Awas, ini ada serempetan kisah lain. Nggak boleh minta macem-macem.

❄️

Bakal ada side story lebih dari satu di SDP. Karena Astrid dan Sultan perlu belajar dari banyak hal.

RENTAN: Semusim di Praha [OPEN PO]Where stories live. Discover now