Vc terakhir.

Mulai dari awal
                                    

"Kenapa enggak lo anter, Gail?!" ketusku yang merasa kalau di usia yang tak lagi muda, seharusnya Omah dijaga dan diantarkan ke tempat tujuan dengan baik.

"Huh? Lihat dulu, dong! Pasarnya di sana!" Ia menunjuk ke arah selatan. Pemandangannya agak jauh, tapi dapat kulihat suasana ramai di sana.

Aku terkekeh malu sembari mengangguk kecil. Kukira pasarnya jauh.

"Lo mau mampir ke taman bunga dulu, gak?" Tawarannya berhasil membuatku sedikit menimang-nimang ajakannya. Kebetulan aku masih penasaran dengan sesosok anak yang kutemui kemarin sore. Siapa tau anak itu ada di sana.

"Boleh." Aku menyahut ringan sembari berjalan terlebih dahulu di depan Abigail.

Mataku terasa begitu segar karena melihat bunga-bunga yang sangat mempesona. Ditambah dengan suasana sejuk khas di pedesaan yang jarang akan polusi.

Abigail mengarahkanku untuk duduk di sebuah gubuk kecil yang berdiri kokoh di sudut taman bunga.

"Ini kan baru jam tujuh. Biasanya kalau sudah jam setengah sembilan, banyak orang ramai ke sini." Aku tersenyum mendengar penuturannya.

"Oh ya? Pasti gratis, ya?"

Gail tersenyum sembari mengangguk-angguk kecil. "Omah selalu selalu punya caranya sendiri untuk menjadi orang baik."

Ucapan Abigail itu membuatku tersenyum bangga akan sosok Omah yang benar-benar baik hati dan penyayang itu.

"Oh iya, gail .... " Aku menoleh ke arahnya.

Ia tersenyum sembari menunggu kelanjutan dari ucapanku.

"Soal yang kemarin .... " Tanganku malah iseng mencabut rerumputan liar di sekitar gubuk. "Lo tau dari mana kalau gua indigo?" Netraku tertuju kembali ke arahnya. Ia sedikit menaikkan alis dan tersenyum.

"Oh, soal itu? Bagi gua udah ketebak, sih. Kelihatan juga dari mata lo. Dan gua bisa bedakan orang indigo dengan orabg gila. Jadi Lo tenang aja." Aku melotot dibuatnya. Namun, akhirnya kami sama-sama tertawa karena ucapannya itu.

"Tapi sebentar, deh, kenapa lo bisa menebak dengan semudah itu? Atau jangan-jangan lo indigo juga?"

Pertanyaanku langsung dibalas dengan gelengan kepala olehnya. "Eis, amit-amit! Jangan sampai, deh. Jadi, gua bisa sedikit menerawang dari sorot mata seseorang. Selain itu, gua juga bisa tau keberadaan makhluk astral. Dan bedanya sama kemampuan lo, ya, gua enggak bisa lihat. Hanya bisa sedikit merasakan."

"Oh." Aku mangut-mangut sebagai artian mengerti

"Kayak yang sekarang ini. Gua ngerasa kalau di depan sana ada makhluk lain, 'kan?" Tangannya spontan menunjuk ke arah Utara.

Aku menoleh dan mendapati kakek tua sedang mencangkul. Sepertinya ia tak sadar jika dirinya sudah tiada. Entahlah, sudah berapa puluh kali aku melihat banyak arwah yang tidak sadar kalau dirinya sudah sejak lama meninggalkan alam ini.

"Lo tau juga tepatnya "Mereka" ada di sebelah mana?" Aku sedikit takjub dengan kemampuan anehnya.

"Hah? "Mereka"?" Matanya menatap ke arahku seolah-olah meminta penjelasan.

"E–eh, maksud gua si makhluk astral itu. Gua biasa sebutnya dengan kata "Mereka", sih" terangku agak tak terjadi kesalahpahaman.

"Oh, begitu. Iya, gua tau tepatnya dia berada di posisi sebelah mana, tapi gua masih penasaran juga dengan bentuk rupa mereka yang seperti apa." Tangannya terlihat merogoh sebuah benda di dalam kantong.

"Dan ini .... " Dia memperlihatkan aplikasi pencari setan yang sedang sangat nge-trend akhir-akhir ini.

"Hoax. Ketika dia bilang di situ ada makhluk astral, nyatanya gua enggak merasakan apapun, tapi ... ketika aplikasi ini enggak sama sekali menunjukkan keberadaan makhluk halus, ternyata sosok itu ada tepat di belakang gua." Raut wajahnya seketika berubah kesal. Aku terkekeh melihatnya.

Bisikan Mereka ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang