27. Dia Yang Terdiam

Start from the beginning
                                    

Ia berjalan keluar melewati Agil ketika teman-temanya mengangguk, “Biar gue anter.” Ucap Agil memegang pergelangan tangan Allesya.

Allesya menghempaskan tangan Agil kasar dan tersenyum sinis, “Gak perlu. Arshi masih kangen lo.” Ia menatap gadis itu, “Iya, kan?”

Arshi hanya tersenyum dan mengangguk.

“Biar gue aja yang anter lo, All.” William mengajukan diri.

“Gak usah. Gue gak pa-pa, kok.” Allesya tersenyum meyakinkan.

Kemudian ia keluar dari rumah Dito, belum sempat masuk mobil, ia melihat ada gadis yang dikenalnya tengah membayar taksi dengan membawa satu koper juga.

Gadis itu berpenampilan kasual layaknya laki-laki. Dengan rambut yang dicepol dengan asal dan bentuk tubuh yang tinggi proporsional menggambarkan jika ia seorang yang tomboy.

Gadis itu berbalik dan menatap Allesya. Ia berlari menarik kopernya dan berteriak, “Allesya!”

Allesya tersenyum dan membalas pelukan gadis itu, “Mafina?”

Masih ingat siapa Mafina? Ia pun sahabat Illa yang dulu membela Allesya ketika sedang diamuk oleh Illa dan Tasya.

Mafina mengangguk, “Gila lo, ya! Gimana bisa imut gitu, sih?”

Allesya hanya terkekeh, “Lo habis dari mana? Dan kenapa lo kerumah Dito?” tanyanya heran.

“Gue udah 3 bulan prakerin di Jogja. Dan gue pulang kesini karena ini tempat tinggal gue.”

Allesya mengernyit bingung, “Terus ini juga rumah Dito, kan?”

Mafina terkekeh, “Dito itu kembaran gue, Alle. Kembar gak identik. Dan gue itu adiknya.”

Mafina tergelak ketika Allesya menunjukkan raut seolah tidak percaya.

“Kenapa lo gak kasih tau gue dari dulu?” tanya Allesya tak terima.

“Gue pikir lo gak terlalu peduliin soal itu, sih.” Mafina mengendikkan bahunya. “lo mau pulang? Mobil lo kece, ya.”

“Iya. Mau ke rumah Abang.”

“Oh, hati-hati.”

Allesya hanya mengangguk dan memasuki mobilnya. Terlihat Mafina yang melambaikan tangannya ketika Allesya sudah keluar dari pelataran rumahnya.

Satu persatu mereka pun pulang. Menyisakan Dito, Agil, Mafina, dan Arshi. Membuat Mafina bingung.

Sedangkan Allesya didalam mobil, ia memukul setirnya dengan keras. Orang yang dicintainya, bahkan tidak melakukan perlawanan ketika dirinya di peluk orang lain.

Ia terus berdecih sinis di dalam hatinya.

Orang yang dibanggakannya, kini menjatuhkannya.

Memang seharusnya ia tak menaruh rasa percaya secepat itu kepada Agil.

***

“Apa kamu bilang, Dek?!” Ilham terkejut dengan penjelasan Allesya. “Jadi ... Mama nyuruh kamu tinggal sama keluarga barunya?” Ilham masih tak menyangka, ia menggeleng tak percaya.

Sedangkan Allesya hanya mengangguk. Ia menyibak poninya, memperlihatkan pelipis yang di plester, “Abang pasti udah tau alasannya, kan?”

Ilham mengangguk. Ia mengamati wajah Allesya dengan seksama, “Hm, lebam di pelipis, goresan di pipi kanan kiri, luka kering di sudut bibir kanan.”

“Pokoknya kamu jangan pernah mau tinggal sama keluarga barunya. Kamu cuma keluarga Abang sekarang. Tanpa orang yang pernah jadi orang tua kita.” Ilham memegang kedua pundak Allesya.

ALLESYA [END]Where stories live. Discover now