Hatefully Loving You

18 2 0
                                    

Hatefully Loving You

❤ ⊱┄┄┄┄┄┄⊰ ❤

Istirahat pertama di hari Selasa adalah salah satu waktu favoritku sepanjang minggu. Kantin yang biasanya dipenuhi oleh lautan manusia tidak menjadi sepadat itu, karena waktu istirahat anak-anak kelas 10 tidak bersamaan dengan kami seperti biasa. Entah ada apa dengan mereka, karena pada waktu aku kelas 10 rasanya istirahatku selalu berbarengan dengan para kakak kelas.

"Jadi," ujar Jen sembari mengunyah bakso yang ada di mulutnya, "lo berdua udah berapa hari pacaran?"

Yang ia tanyakan tentu saja bukan aku dan Alva, karena pertama, Jen tau sudah berapa lama kami berpacaran, dan kedua, pastinya bukan dalam hitungan hari. Yang Jen tanyakan adalah Ve dan Erlang, sepasang sejoli yang tengah dimabuk cinta sehingga menjadi bucin—alias budak cinta—yang berlebihan.

"Enak aja, 'hari'! Udah hampir satu setengah bulan, nih!" protes Ve tidak terima.

Kalian harus tau kenapa Jen menanyakannya dalam hitungan hari. Pasalnya, baik Ve maupun Erlang adalah tipe-tipe orang yang jumlah mantannya tak terhitung. Yah, sebenarnya masih terhitung, sih, tapi kami—termasuk Ve dan Erlang sendiri—sudah malas mendata siapa-siapa saja yang sudah jadi korban dua player ini. Aku pribadi menganggap momen di mana mereka berdua memutuskan untuk berpacaran adalah sebuah 'bencana'. Aku tak suka drama, aku menjauhi drama, dan aku tak ingin adanya drama dalam lingkar pertemananku—yang mana bisa saja terjadi ketika Ve dan Erlang putus. Bukankah sepasang kekasih yang putus biasanya berujung pada hubungan yang awkward, tidak baik, dan—jika kasusnya semacam Ve dan Erlang—bisa berdampak pada lingkar pertemanan kami? Jadi ...

"Iya deh, yang udah satu setengah bulan. Gue cuma mau ngingetin, kalo putus nggak usah bawa drama ya," celetukku, yang malah semakin membuat Ve cemberut.

"Jahat banget sih, Nya, doainnya putus," gerutu cowoknya kali ini.

'Nggak usah didoain putus juga bakal putus,' ujarku dalam hati. Tapi kurasa kalimat itu terlalu menusuk untuk kuucapkan. Bukannya mendoakan teman yang buruk-buruk, tapi tentunya kalian pernah punya teman—atau setidaknya kenalan—yang kalian yakini 'belum tiba saatnya' untuk menjalani hubungan jangka panjang, bukan? Itulah yang kurasakan ketika melihat sepasang sejoli yang tengah suap-suapan batagor di depanku ini. Ya ampun, apakah sewaktu awal-awal aku berpacaran dengan Alva, aku sebucin itu? Semoga tidak. Karena jika iya, betapa ironisnya aku yang meringis sendiri membayangkan kebucinanku.

Lagi pula, kami tidak berada dalam satu lingkar pertemanan yang sama sewaktu awal-awal kami berpacaran. Potensi aku menjadi bucin sangat kecil, tentunya. Iya, kan?

"Alva!" panggilku sewaktu sosok yang beberapa detik lalu tengah mengisi pikiranku lewat di depan mata.

Yang dipanggil tentu saja langsung menghampiriku, sementara kedua temannya ngeloyor begitu saja, mengantri untuk membeli makanan. "Kenapa, Nya?"

"Udah belajar TO?" tanyaku, pastinya diiringi tatapan penuh kecurigaan.

"Udah dong!" tukas Alva, yang kurasa terlalu cepat dan ekspresi 'puas'-nya terlalu dibuat-buat.

Aku masih menatapnya sambil memicingkan mata.

"Suer," katanya dengan jari telunjuk dan jari tengahnya yang membentuk huruf V.

"Ben—"

KRUUKKK

"Pftt, anak orang kelaperan tuh, Nya!" tukas Jen mengundang tawa dari teman-teman semejaku.

Aku memutar mataku malas. "Ya udah, sana beli makan. Awas ya sampe kamu boong!" gerutuku, yang terpaksa harus mengalah dengan suara perut Alva yang kelaparan dan malah dijawab hanya dengan cengiran. Dasar Kunyuk.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 06, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Love is a VerbWhere stories live. Discover now