- 8 -

4.8K 846 358
                                    

Akaashi duduk di kamarnya setelah dia pulang dari taman. Pikirannya tak karuan. Dia takut, sedih, kesal, dan tertekan. Memikirkan perasaannya pada (f/n).

Dia takut, dia takut akan disakiti ketika mengenal cinta. Takut akan rasa sakit yang dialaminya dulu. Rasa sakit yang dialami kedua orangtuanya. Hanya karena cinta.

Akaashi takut akan cinta ---philophobia. Ia takut untuk jatuh cinta dan dicintai. Memikirkannya saja membuatnya tertekan.

"Hah... Cinta itu palsu, indah di awal saja," katanya sambil menenangkan diri.

Seharusnya dia menolak ajakan Bokuto belajar bersama, harusnya dia menolak saat itu. Sehingga, dia takkan bertemu (f/n) dan hal ini takkan terjadi lagi.

Rasanya seperti merobek luka lama yang belum kering.

Akaashi tak kuat, ia berlari ke kamar mandi. Memuntahkan seluruh isi perutnya. Nafasnya tak beraturan. Jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya.

Ia teringat masa lalunya. Masa lalu yang sangat ingin dia lupakan. Jika dia ingat, jadi ingin mati saja.

Saat itu, Akaashi masih kecil. Polos dan tak mengerti apapun. Tapi, dia jenuh. Dia pulang ke rumah selalu disuguhi suara teriakan orangtuanya.

"Berisik," katanya.

Terdengar suara gelas pecah di luar kamar Akaashi. Dia menutup telinga tak acuh.

Kadang dia iri dengan anak lain yang mendapat kasih sayang orangtuanya. Kemudian, bercerita betapa inginnya mereka pulang ke rumah.

Sementara Akaashi sendiri, pulang kerumah sama saja. Malah lebih baik tak pulang. Dia tak pernah menerima sapaan hangat ketika pulang. Tak punya siapa-siapa di rumah.

Ddok....dook...dook

Terdengar suara ketukan pintu yang menggebu di kamar Akaashi.

Dengan malas, dia membukanya. Namun, apa yang Akaashi dapat?

Bogem mentah dari ayahnya untuk Akaashi. Untuk pertama kali dalam hidupnya. Ayahnya, memukulnya seperti ini. Ibu Akaashi? Entah pergi kemana.

"Heh! Anak nggak guna! Liat apa yang ibumu lakukan! Nggak guna sama sepertimu!"

Akaashi bingung. Dia nggak tahu mau ngapain. Pikirannya entah kemana.

"Heh! Kamu bisu ya! Sinting lagi kayak ibumu!"

Akaashi menerima tendangan tepat di perutnya dengan keras.

Akaashi terbatuk dan mual. "Apa?" katanya.

"Apa katamu!"

"Ayah, apa salahku?"

"Banyak!" teriaknya.

"Aku nggak ngerti."

"Kamu lahir aja sudah salah!"

Nggak lama, Ibu Akaashi datang menghampiri anaknya yang sudah sekarat. Dia menangis memeluk anaknya itu.

"Maafkan aku ya."

"Datang juga kau!"

"Kamu boleh menyakitiku! Tapi nggak dengan anakku," Ibu Akaashi berteriak.

Ia menerjang suaminya itu dengan pisau di tangannya. Menusuk kaki suaminya.

Ayah Akaashi tertawa. "Sudah berani kamu!"

Ia berjalan dengan tertatih ke dapur.

Hal itu dimanfaatkan oleh Akaashi dan ibunya untuk kabur. Namun, nasib tak sesuai keinginan.

Ayah Akaashi sudah kembali dengan pisau di tangannya.

Kedua orangtua Akaashi saling bunuh di depan matanya. Ia tak tahu harus apa. Meminta tolongpun percuma, tak ada yang mendengar. Rumah Akaashi besar dan luas. Dia terlahir dari keluarga konglomerat. Meskipun begitu, keluarganya tak pernah menyewa pembantu rumah tangga.

Sejak hari itu, Akaashi jadi takut untuk jatuh cinta. Ia takut cinta akan membuatakan dirinya dan berakhir seperti orangtuanya. Ia takut cinta akan menyakiti dirinya maupun orang lain.

Sejak kematian orangtuanya, perusahaan milik ayah Akaashi dipegang oleh pamannya. Kemudian, Akaashi tinggal di rumah barunya di Tokyo.

Mengingat masalalunya, Akaashi tak kuat. Rasanya sakit. Namun, tak berdarah.

Ia ingin, sakit itu benar ada wujudnya. Akaashi berlari menuju kamarnya. Membuka laci mejanya dan mencari benda silet.

"Hahaha, aku gila lagi," kata Akashi sambil melihat silet di tangannya.

○●○

Hari ini, (f/n) menemani Akaashi latihan voli. Alasannya? Dia gabut.

Akaashi bermain dengan buruk hari ini. Gerakannya sangat lambat. Tak jarang (f/n) memergoki Akaashi yang sedang memegang paha kirinya.

"Keiji kenapa?" tanya (f/n) ke Shirofuku.

Shirofuku mengendikkan bahu. "Mungkin nggak enak badan."

Nggak lama, ada cairan merah yang menebus di celana volinya bagian paha kiri.

"Hey! Hey! Hey! Akaashi, kakimu kenapa?!" tanya Bokuto dengan panik.

Akaashi diam meringis.

"Akaashi itu luka kenapa?" tanya pelatih Fukurodani.

"Nggak, aku baik-baik saja kok."

Pelatih fukurodani menghela nafas pasrah.

"Yaudah, kamu ke uks sekarang. Tolong temani dia," ia menoleh pada para manager.

"Hehehehe, biar (f/n) aja ya."

(f/n) bukan manager Fukurodani, dia cuma ngeliat Akaashi latihan aja. Hal itu sangat disetujui Bokuto.

(f/n) mengangguk mengerti. Dia khawatir pada Akaashi.

"Keiji bisa jalan?" tanya (f/n) halus.

Akaashi mengangguk.

.

.

.

.

Di UKS (f/n) langsung mengambil peralatan di kotak P3K.

Akaashi duduk di ranjang UKS. Sementara, (f/n) duduk di sebelah Akaashi.

"Eh! Ini aku yang ngobati?"

Iyalah (f/n) kaget. Ini lukanya kan di paha. Jadi, ambigu.

Akaashi diam lalau tertawa. "Ahahaha, kamu lucu ya."

"Apaan sih!"

"Sini biar aku aja yang obati."

(f/n) jadi nggak enak. Tapi, dia malu. Yaudah.

Biasanya kalo di novel, cowoknya yang luka diobatin sama yang cewek. Ini nggak, yang cowok ngobatin sendiri. Greget memang.

Eits, jangan salah. (f/n) juga bantuin kok. Iya, bantuin nyediain kapas sama obat merah. Dia juga gak lupa bantu doa. wqwqwq.

"Keiji, itu luka kenapa?"

Akaashi berhenti sebentar dari kegiatannya membersihkan luka.

Ia memikirkan alasan yang bagus, yakali dia jawa habis cutting semalem. Pasti auto diomelin.

Akaashi senyum. "Ini? aku habis jatuh dari tangga licin di rumah."

(f/n) senyum. Dia tau kalau Akaashi bohong.

I can't show you a run-down part of myself

The Truth Untold || Akaashi KeijiWhere stories live. Discover now