"Ekspelliarmus!"

Bagai kilat menyambar, setelah tongkat sihirnya lepas iblis itu mencekik leher John. "Jangan mencoba bermain denganku!"

Tangan John meronta, dan kakinya yang sehat berusaha menendang bagian tubuh apa saja yang dapat ia jangkau. Sial, iblis ini begitu kuat.

"Bukankah harus ada pengorbanan jika ingin hidup bersama orang yang dicintai?"

"Le--lepas!"

"Ingin kuceritakan suatu kisah Tuan Johnny Hubert?"

"Jo--johnny bukan nam--namaku!"

"Namamu atau bukan kau tetap mangsaku bedebah!" dibalik tudung jubahnya John tahu iblis itu tengah melotot kearahnya karena cengkraman pada lehernya makin kuat.

Iblis itu mulai bercerita. "Kau tahu John kenapa pohon berdaun lebat lebih disukai daripada pohon yang hanya memiliki sedikit daun?Karena mereka selalu berusaha membuat orang lain merasa nyaman di dekatnya.

Bahkan pohon berdaun lebat itu sampai lupa, bahwa ia juga membutuhkan kasih sayang dan kebahagiaan. Ia juga lupa bahwa selama ini ia selalu berkorban untuk orang lain yang bahkan hanya memanfaatkannya dan pergi tanpa mengucapkan salam perpisahan atau sekedar berterimakasih.

Manusia memang kejam. Mereka selalu merasa bahwa pohon besar dan berdaun lebat tak perlu mendapat perlakuan khusus. Sekedar menyirami pun tak pernah karena mereka yakin bahwa sang pohon telah kuat.

Mereka tak pernah tahu bahwa sang pohon mungkin saja rapuh di dalam. Ia hanya bertopeng dan menunjukkan pada semuanya bahwa ia kuat.

Manusia adalah mahkluk yang diciptakan paling sempurna. Manusia juga lah yang menjadi mahkluk paling sempurna dalam menutupi semua kebusukannya.

Manusia memang memiliki otak untuk berpikir. Namun, tak semuanya memiliki belas kasih. Kadang mereka kejam, biadab, bahkan berkelakuan seperti hewan."

"Le--lepas sialan!" ronta John lagi. Oksigen ditubuhnya mulai habis dan sebentar lagi mungkin ia akan mati dibawah cengkraman sang iblis.

"Jadi menurutmu cukup adilkah dunia ini? Cukup adilkah jika hanya kau yang merasa bahagia sedangkan aku tidak?!"

Iblis itu tetap saja marah meski John tak lagi meronta meminta belas kasihnya untuk melepas cengkramannya. Bahkan sekarang iblis itu nampak begitu murka.

"Aku senang akhirnya kau tak bahagia dan merasa dikhianati. Tapi mengapa itu hanya sebentar? Mengapa hanya aku yang merasa bahwa penderitaan itu begitu lama? Dan mengapa hanya aku yang harus kehilangan semua orang yang kucintai?!"

"Jawab John, jawab!" bentak sang iblis.

Sialan! Ia mencekik John sejak beberapa menit lalu dan bagaimana mungkin John dapat menjawab pertanyaannya itu?!

"Semua ini tak adil dan aku menuntut keadilan itu darimu!"

Iblis itu melepas cengkramannya pada leher John. Sembari terbatuk, John menatap lekat sosok berjubah itu. Tangan lemahnya berusaha menggapai tudung jubah sang iblis agar dapat melihat siapa sosok yang begitu membencinya itu.

Namun sang iblis justru dengan sukarela membuka tudung jubahnya sendiri, memperlihatkan wajah yang membuat John begitu terkejut.

"K--kau, apa salahku hingga kau bisa berbuat begitu keji?"

"Aku dipenjara di Azkaban karena dirimu! Kau tak sadar bahwa kau menjerumuskan sahabatmu sendiri ke penjara?!"

"Kau dipenjara karena perbuatanmu sendiri! Bukan karenaku!"

Sahabatnya menangis. "Tidak! Bukan aku, tapi kau!"

Rasa iba yang melingkupi hati John --apalagi didukung pernyataan bahwa semua orang yang ia cintai telah pergi-- membuat hatinya melunak. "Lalu apa yang harus kulakukan untuk menebus ketidakadilan yang kau katakan itu?"

John menyeringai. "Jangan temui orang yang kau cintai."

"Bukankah balas dendammu untuk hal itu sudah tercapai?"

"Kau pikir aku bodoh, eh? Jika dalam hidupku orang yang kucintailah yang mati. Maka dalam hidupmu kaulah yang harus mati."

"Aku sudah mati dalam hidup mereka, maka--"

"Istrimu tahu bahwa kau itu Draco, bukan John Hubert!" bentak sahabatnya. Kini lelaki itu berdiri dengan tongkat sihir tertuju tepat pada wajah Draco.

"Kau harus mati Malfoy agar aku tak jadi orang jahat yang membunuh semua keluargamu. Kau tahu betapa kesalnya aku, bahwa akibat perbuatanku hari itu hanya Astoria yang mati?"

"Jadi kau yang menyebabkan kekacauan di Manor?!"

"Jika hari itu semua keluargamu mati aku tak akan jadi seperti ini. Jika aku membunuh Granger, akulah yang mati. Granger itu kuat ditambah lagi dengan adanya Potter dan Weasley. Jadi jika beberapa tahun lalu istrimu yang mati, maka hari ini suaminya-lah yang mati, bukan begitu Draco Malfoy?"

Manik Draco bergetar, ia tak menyangka benang merah semua ini berasal dari sahabatnya sendiri.

"Jadi teroris itu--"

"Ya, itu aku yang merencanakannya agar kau terlihat mati secara natural. Tapi aku salah, kau justru dikenang sebagai pahlawan yang rela mati demi menyelamatkan seorang anak yang bukan darah dagingnya sendiri. Semua rencanaku gagal, dan hari ini takkan kubiarkan aku menjadi pecundang lagi!"

"Kau harus mati Malfoy!"

Draco tertawa kencang mencoba membuat sahabatnya goyah. Setelah bersusah payah berdiri ia menatap sahabatnya dengan nyalang.

"Tak belajar dari kesalahan, huh? Kau mencoba menyakiti dan membunuhku, tapi lihat justru akulah yang kuat disini. Namun jika hari ini kau berhasil membunuhku, ingatlah bahwa hari ini aku mati dengan sukarela agar sahabatku merasa senang."

Genggaman sang sahabat menguat pada tongkat sihirnya. Ia makin gencar mengarahkan tongkatnya tepat kearah Draco yang sama sekali tak memberi perlawanan.

Ia menyeringai. "Kau akan mati tapi kau tetap angkuh seperti seorang Malfoy?"

Draco tak kalah lebar dalam menunjukkan seringainya. "Aku memang Malfoy. Orang yang mencintaiku-lah yang menunjukkan padaku, bahwa aku seorang, Malfoy."

"AVADA KEDAVRA!"

Sial.















Tbc

⊙﹏⊙

Be My Boyfriend (Sequel A New Wife)Where stories live. Discover now