s e m b i l a n b e l a s

15.7K 928 35
                                    

Kamu adalah tempat pulang bagi saya. Sejauh apapun saya pergi, tetap saja saya akan kembali ke rumah. Dan rumah saya adalah kamu. Jadi, tidak ada alasan untuk saya pergi dan tidak kembali.

Dear, Ustadz

****

Sudah pukul 16:00 tapi entah kenapa matahari tak juga menunjukkan tanda kalau cahayanya segera redup dan pulang ke persinggahan. Sentakannya masih sungguh menyiksa, membuat pepohonan yang berderet sejauh mata memandang meranggas di pinggir jalan. Daunnya kering, kulitnya mengelupas, rantingnya satu-dua patah tak beraturan, belum lagi tanah yang jadi tempatnya mencengkeram mulai tandus dan pecah. Lengkap sudah untuk membuat suasana ibukota semakin kacau dan pengap.

Apalagi antrean panjang mobil yang mengular sepanjang jalan. Benar sekali, jam ini adalah tepat pulang kerja. Semua berebut hendak pulang, segera tiba di rumah agar dapat melepaskan beban kerja yang melilit seharian. Klakson menjerit sebab ditekan. Makin tak sabar seiring dengan lampu hijau yang mulai berkedip namun kendaraan paling depan belum juga berjalan, masih membeku di tempat. Saat tersadar, pemiliknya segera melongokan kepala keluar sambil menyengir kuda lantas menjalankan mobil cepat-cepat.

"Masih lama banget ya, Pak?" Itu adalah suara salah satu pelanggan taksi yang juga terjebak kemacetan jalan. Seorang perempuan yaitu Maira.

Lelaki yang ditanya itu memutar kaca kecil di atas kepalanya agar mampu melihat Maira, lantas berucap, "Kayanya masih, Mbak. Pulang kerja kaya gini emang suka rame. Harusnya tadi Mbak belanjanya siangan, jam dua-lah. Agak sepi pasti."

Maira mengangguk-anggukan kepala lantas membanting punggung ke jok. Dirinya jadi tak tenang sebab pasti sebentar lagi Zainal sudah pulang, tapi belum tentu dia bisa pulang secepat itu bila masih terkekang di sini. Satu jam lagi bisa keluar saja sudah bersyukur. Menghela napas lelah, Maira menarik ponsel yang ada di tas selempangnya.

"Ck! Ini udah kelewat lama deh," ucapnya kemudian. "Pak, saya turun di sini aja kalau gitu."

"Loh?" Alis lelaki setengah tua tersebut mengumpul jadi satu. "Sama aja Mbak kalau jalan kaki, tujuan Mbak masih jauh."

Tangan Maira yang sudah mengambil uang lima puluhan dari saku, mengulur pada sopir taksi. "Saya mau naik ojek aja, Pak. Kelamaan kalau nunggu terus."

"Pangkalan lumayan juga loh Mbak dari sini."

Jangan menyarankan agar Maira memakai jasa ojol, sebab gadis itu belum mengerti hal-hal semacam itu. Belum genap satu bulan ia memakai ponsel tersebut, bisa mengerti mengirim pesan dan menelepon saja ia sudah mati-matian belajar.

"Nggak papa. Saya duluan ya, Pak. Kalau masih ada kembaliannya, ambil aja," tukas Maira sambil menarik seluruh kantong belanjaannya lalu membuka pintu taksi.

"Makasih ya, Mbak."

Mengangguk singkat, menutup pintu, lantas berjalan menuju trotoar. Sudah ia duga, panas di luar lebih menyiksa. "Duh, ini kemarau belum mau udahan apa? Padahal udah akhir Desember, tapi panasnya bisa bikin dadar telor nih. Mana pohon udah nggak ada yang rindang."

Sepanjang jalan ia terus saja mengomel, melampiaskan kekesalannya pada apa saja yang ia temui di jalan. Emosinya sedang tidak stabil sekarang karena pagi tadi ia baru saja kedatangan tamu tak diundang. Sungguh menyusahkan. Dan yang lebih parahnya, itu terjadi saat ia memakai rok putih dan yang pertama melihat adalah Zainal. Rasanya saat itu ingin sekali menenggelamkan wajah di bak mandi.

Maira menggelengkan kepala cepat, "Udah udah, nggak usah dipikirin lagi, Maira. Anggap nggak pernah terjadi dan Zainal udah lupa. Awas aja kalau dia sampai ingetin gue soal kejadian tadi. Gue tebas juga dia."

Dear, Ustadz (Sudah Terbit)Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon