Part 3

9 1 0
                                    


Siang ini ben mengantarku ke kafe tempatku akan bekerja. Tempatnya di Square yang bukan hanya terdapat kafe tersebut. Selain kafe 'break time'-kafe tempatku akan bekerja- ada tempat serupa juga di sana. Rupanya ini tempat anak-anak kampus melepas lelah dan tempat favorit orang-orang yang mempunyai pasangan.

Tempatnya cukup bagus. Kafe break time adalah kafe kecil yang menyediakan tempat bersantai indoor dan outdoor. Banyak bunga – bunga palsu disekitar ruangan kafe dan di pinggir-pinggir pintu masuknya. Aku suka tempat ini.

"Halo sherrin, apa kabar..." Seorang wanita paruh baya berumur sekitar 30an menyapaku dengan ramah saat ben memperkenalkanku.

"Baik tante. Trima kasih saya boleh kerja di sini tante..." Aku membalas sapaannya dengan sopan.

"Ah, nggak usah begitu. Tante tau kamu pasti masih terpukul dengan meniggalnya mama kamu kan. Jangan terlalu dipikirkan ya sehrrin..." Aku tersenyum sebentar kemudian melirik ke arah ben yang kini terlihat salah tingkah.

" Kamu boleh bekerja disini setelah kuliahmu selesai. Yang penting, dalam satu hari kamu harus bekerja selama 5 jam. Bisa kan sherrin?"

"Bisa tante." Aku tersenyum ramah pada tante emilia yang baik hati ini.

"Kamu mau mulai hari ini?" Aku mengangguk menjawab pertanyaan tante emil.

"Baguslah. Oya, masalah gaji, bagaimana kalau empat ratus ribu sebulan?" empat ratus ribu, bukan jumlah yang banyak bila dibandingkan dengan jumlah yang harus kubayar untuk uang kuliah, tapi lumayan juga. Jadi aku menyetujuinya.

Mulailah aku bekerja di sana. Sebenarnya sangat menyenangkan bisa bekerja di tempat yang indah itu, tapi sayangnya pengunjung kafe ini kebanyakan anak kampusku juga dan mereka mengenaliku. Aku sih, nggak malu harus bekerja seperti ini, tapi mendengar mereka mengejekku sambil berbisik – bisik, bahkan ada juga yang sengaja meledek dengan suara yang keras, aku kesal. Kenapa sih orang kerja jadi pelayan di kafe aja diledekin.

" Kasian ya ashton, dia pasti malu kalo liat. Dasar cewek miskin, mau manfaatin ashton ternyata. Hahaha...Ashton nggak bakal suka sama cewek kayak lu tau!" Yah, dan akhirnya aku tau mengapa mereka sangat membenciku. Ashton memank pembawa malapetaka bagiku.

Aku selesai jam enam sore. Buru – buru aku berjalan pulang kerumah dan membantu mama memasak makan malam.

"Papa, sudah pulang?" Papa tersenyum. Belakangan ini senyum papa makin lesu. Pasti ia belum mendapat perkerjaan baru.

"Pa, hari ini aku mulai kerja di kafe milik teman mama ben. Tempatnya bagus pa, tempatnya dikelilingi bunga – bunga. Aku senang sekali kerja disitu." Aku mulai bercerita agar papa nggak terlarut dalam kesedihannya seorang diri.

"Oya? Dimana itu?" tanya papa sambil lalu.

" Tempatnya deket kampus pa, nama tempatnya Diner Square. Nah, di dalemnya banyak kafe – kafenya pa. Bagus – bagus, tapi paling bagus kafe tempat aku kerja, soalnya banyak bunganya. Café tempatku kerja itu namanya break time." Kami tertawa bersama.

"Kamu selalu suka bunga dari kecil, sama seperti mamamu." Kali ini, papa tersenyum lebar sambil membelai rambut panjangku. Pasti papa sayang sama mama, makanya bisa teringat kesukaan mama. Mama datang membawa segelas teh hangat untuk papa. Hari ini menjadi hari terindahku karena mama dan papa nggak bertengkar. Malah mereka saling bercerita, papa menceritakan pengalamannya tadi siang saat mencari pekerjaan pada mama dan mama mendengarkannya dengan serius. Aku tersenyum melihat keluarga ini kembali rukun, pelan – pelan aku meninggalkan mereka berdua.

Malamnya, aku membaca dongeng kesukaanku saat aku masih berumur tujuh tahun. Dulu, mama selalu membacakan dongeng cinderela setiap aku akan tidur. Selesai membaca dongeng indah itu, aku menutup buku dengan tersenyum bahagia. Ingin rasanya bahagia seperti cinderela yang punya pangeran tampan dan baik hati. Walaupun hidup cinderela menderita karena ibu tiri dan dua anaknya, setidaknya cinderela nggak diganggu oleh ashton setiap hari.

Malam ini ia menyetel lagu the script keras – keras, menyanyi sambil menari – nari nggak jelas menirukan the script yang sedang manggung. Aku menghembuskan angin dari mulutku, poniku bergerak naik dan turun dalam waktu satu detik. Aku menutup gordenku dan mencoba untuk tidur. Tapi suara lagunya semakin kencang. Aku mengambil botol minum di atas meja disampingku, membuka jendela dan melemparkannya ke dalam kamar orang nggak waras itu.

Aku ingin menutup jendelaku, tapi ia menampakkan sosok bertelanjang dadanya di depan jendela kamarnya.

"Lu pengen liat gue? Jangan pake lempar – lempar barang, tinggal panggil aja 'Ashton keren, keluar donk...' gue bakal langsung keluar koq. Kalo perlu, gue lompat ke kamar lu deh. Hahaha..."

Aku mengerutkan keningku hingga kedua alis tipisku bertautan sambil menghela nafas, memandangnya lekat – lekat seakan –akan mataku bisa menelannya bulat – bulat.

" Nih botol lu. Jangan buang sampah ke kamar pangeran." Dia tertawa lagi dan menutup jendelanya. Aku menangkap botol yang ia lemparkan. Walaupun ia berkata hal yang bikin aku pengen muntah, akhirnya ia mematikan lagunya. Syukurlah.

Tapi dia nggak pernah berhenti gangguin aku. Hari ini dia datang ke kafe break time dan meledekku. Katanya, "Cocok banget pake baju pelayan kayak gitu. Jadi pelayan di rumah gue aja deh, mau nggak?" Diakhiri dengan kedipan mata. Aku diam saja, aku nggak mau dipecat gara – gara memukul kepala pengunjung dengan nampan sampai pingsan. Ben Cuma ketawa –ketawa di kursi paling ujung saat melihat ashton menggangguku. Awas kau ben!!

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sudah satu bulan aku bekerja di kafe break time. Betapa beratnya saat aku harus belajar untuk ujian tengah semester dan harus bekerja selama 5 jam setiap hari. Aku yakin wajahku sangat jelek sekarang karna bagian bawah mataku menghitam.

Aku mendapat gaji pertamaku, satu juta. Aku memberikannya pada papa, tapi papa menyuruhku menyimpannya untuk mencicil uang kuliah, dan aku teringat bahwa uang kuliahku beberapa kali lipat dari gaji yang kuterima ini. Papa belum juga mendapat perkerjaan.

"Gue musti gimana ben? Tinggal satu bulan lagi. Masih perlu kerja berapa kali lagi baru bisa bayar kuliah. Beasiswa yang gue dapet paling potongan 10% dari uang kuliah. Nggak ngaruh banget sih...haduh gue pusing banget nih." Ben hanya menatapku serius dan tatapannya memperlihatkan keprihatinan yang mendalam. Dia memank sahabatku yang baik.

" Kenapa lu nggak coba tanya ke kajur aja, lu critain kejadiannya, kalo perlu dihiperbolain kayak crita gue ke tante emil-" Aku memandangnya dengan tatapan nggak setuju.

"Sorry, maksud gue, ya lu critain deh kalo lu lagi kesulitan keuangan. Barangkali aja dia mau bantuin. Kan lu IPKnya bagus, mungkin bisa dapet dispensasi." Aku terdiam memikirkan ide ben.

"Bener juga ya. Apa salahnya gue coba bicarain ke kajur. Kali aja dia mau kasi dispensasi. Gue coba ketemu kajur dulu deh. Thanx ya ben..." Aku langsung beranjak dari tempat dudukku.

"Goodluck sher!!" Aku berbalik dan melambaikan tangan padanya, kemudian berlari ke ruangan kajur.

Sudah setengah jam aku berada di ruangan pak hadi menceritakan masalahku itu. Awalnya pak hadi diam saja seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat serius, kemudian ia berkata dengan ragu, "Saya tidak tahu apakah saya boleh memberi dispensasi kepada adik sherrin, tapi saya akan mencoba menanyakan pada kepala yayasan. Satu minggu lagi, dik sherrin kemari lagi, saya akan memberitahukan hasil rapat saya dengan kepala yayasan."

" Terima kasih pak. Saya permisi dulu." Aku beranjak keluar dari ruangan pak hadi yang sangat rapi itu.

Aku baru saja mau membuka pintu, tapi seseorang dari luar mendorong pintu sampai kepalaku terbentur pintu.

"Aww..." Aku mengaduh pelan. Aku mengangkat wajahku untuk melihat siapa yang membuka pintu, ternyata ashton.

"Ups, sorry, ngrusak muka jelek lu. Jadi tambah jelek ya?" ia tersenyum dengan tatapan yang sangaaaat menyebalkan. Aku mendorongnya dan pergi secepatnya dari hadapan orang sinting itu.

Am I a CinderelaWhere stories live. Discover now